f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bibi lastri

Aku dan Bibi Lastri (2)

Waktu berjalan dengan cepat. Aku benar-benar tinggal dengan bibi Lastri. Bibi sudah menyiapkan semuanya. Kamar, lemari kecil, tabungan kecil agar aku rajin menabung, sepeda untuk sekolah, dan lain-lain. Di kota Tua semuanya berbeda. Rumah bibi Lastri jauh lebih megah dari rumahku yang masih beralas tanah. Hari-hari pertama aku masih menangis, merindukan rumah. Tapi aku tidak berani mengatakannya. Bibi seperti menutup segala akses untuk membicarakan hal terkait orang tuaku ataupun keluargaku. Aku maklum. Mungkin bibi takut aku akan meminta pulang.

Saat tahun ajaran baru dimulai, aku didaftarkan di sekolah terdekat. Bibi dengan rajin mengajariku menaiki sepeda agar aku bisa mandiri pergi ke sekolah. Merawatku dengan baik sesuai yang kakek bilang. Terkadang bibi juga berusaha mengucir rambutku, tetapi akhirnya batal sebab tidak rapi. Bibi memberi jadwal keseharian agar aku tetap produktif. Itu semua masih menyenangkan bagiku. Aku sudah berjanji untuk patuh.

Satu bulan terlewat, aku mulai terbiasa dengan semua peraturan yang bibi buat. Seperti, makan harus tepat waktu dan harus dihabiskan. Padahal kalau boleh jujur, lidahku masih membutuhkan penyesuaian. Apalagi porsi makan yang bibi ambilkan terlalu banyak untuk anak kecil sepertiku. Sekalipun lauk-lauknya enak, itu tidak berpengaruh padaku. Sekalinya kenyang, tetaplah kenyang. Terkadang aku sampai menangis saat memakan daging ayam, mengingat keluargaku di rumah. Mengingat betapa jarangnya kami makan daging. Aku bersyukur bibi tidak pernah meihat aku menangis. Aku lebih sering sendirian, sedangakan bibi sibuk di sawah setelah pergi ke pasar dan memberi makan sapi-sapinya.

Begitu seterusnya sampai suatu ketika bibi memanggilku dengan suara kerasnya.

“Laiiil!” Aku dengan cepat berlari mendekat, cemas bukan main. Tidak pernah aku mendengar suara bibi sekeras itu.

Baca Juga  Stasiun Roma Street

“Kamu membuang-buang makanan?” Teriak bibi marah. Aku menggeleng cepat, menunduk karena takut. Bibi Lastri menyeretku ke belakang rumah, membuka tumpukan serpihan genting. Di bawahnya terdapat sisa daging ayam empuk.

“Ini?! Masih tidak mau jujur?” Ucap bibi sambil menunjuk-nunjuk marah. Aku semakin cemas ketakutan, aku tidak membuangnya, aku sengaja menyimpannya untuk kucing orange-ku yang baru aku pelihara dua hari yang lalu. Aku sudah mencoba memakan daging ayamnya, hanya saja mulutku tidak bisa dipaksa, aku sudah begitu kenyang.

“Aku tidak membuangnya, bibi..” Ucapku lirih, masih sembari menunduk.

“Dasar pembohong!” Ucap bibi keras. “Kamu kira bibi tidak tahu, kamu sering membuang-buang makanan?”

Aku menggeleng lagi. Ini baru pertama kalinya. “Kamu kira bibi juga tidak tahu kalau kamu membuang pulsa untuk mengirim pesan ke ibumu, hah?” Timpal bibi lebih keras. Aku menggeleng lagi tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu mengapa bibi Lastri semarah itu. Memang, kemarin aku membalas pesan ibu melalui SMS. Bibi sedang di sawah, jadi aku tidak sempat izin. Toh, aku hanya menjawab pertanyaan ibu sebab menanyakan kabarku saja. Wajar, ibu pasti merindukanku sebab sudah lama aku tidak berbagi kabar. Tapi ternyata itu suatu kesalahan besar bagi bibi Lastri. Bibi orang yang taat aturan.

“Sekali lagi kamu seperti itu, bibi hukum! Tidak ada SMS atau telepon lagi dengan ibumu mulai detik ini. Mengerti?!” Aku kembali tersentak mendengar teriakan bibi. Bibi Lastri pergi begitu saja. Tetangga di sekitar rumah yang sedari tadi ikut menonton juga ikut bubar, menatapku iba. Aku segera masuk ke kamar, menangis dalam diam. Takut bibi akan lebih marah jika tahu aku menangis. Dalam hati aku mengatakan, apa yang aku lakukan tidaklah salah.

Baca Juga  Keberkahan Ramadan

Setelah kejadian itu, hubunganku dan bibi Lastri mulai rmerenggang. Aku lebih banyak diam, memilih lebih patuh dengan segala peraturan yang ada. Jika di sekolah aku masih tertawa lepas, saat pulang sekolah tidak lagi. Tepat di pertigaan jalan menuju rumah bibi, aku selalu was-was. Takut kemarahan bibi apa lagi yang akan aku dengar hari ini.

Entahlah, semakin hari, bibi Lastri semakin sensitif. Seperti sekarang, aku menunduk dalam sebab bibi memarahiku lagi karena memanjat jendela kamar. Seperti biasa, setiap pulang sekolah pintu rumah di kunci. Entah tenagaku yang terlalu kecil atau apa, aku tidak bisa membuka pintu dengan kunci yang sudah disimpan di bawah pot bunga. Aku memilih memanjat jendela kamarku, takut seragamku basah karena keringat, nanti bibi Lastri akan lebih marah jika seperti itu. Ternyata, aku lebih salah lagi. Bibi Lastri kembali memarahiku sebab aku memanjat jendela kamar.

“Kamu anak perempuan Lail! Mau seperti apa besar nanti, kalau kamu berperilaku tidak sopan seperti itu, hah?”

Aku hanya bisa terdiam. Lontaran anak pembohong, tidak sopan, dan lain-lain sudah terbiasa terdengar sekarang. Aku terima saja, walaupun rasanya ingin berteriak bahwa aku bukan anak yang seperti itu. Aku anak baik yang patuh dengan orang tua. Aku Lail, anak rajin yang selalu menduduki peringkat pertama. Tetapi aku memilih diam, tidak mengadu pada siapapun dan memang tidak tahu harus mengadu kepada siapa.

Suatu ketika bibi Lastri lebih-lebih emosi ketika aku pergi bermain tetapi lupa belum mencuci piring. Padahal, seharusnya aku mencuci semua gerabah sebelum pergi bermain. Begitulah, bibi Lastri semakin menjadi-jadi. Esoknya bibi menyuruhku mencari kayu bakar untuk merebus air. Aku mengangguk patuh. Tidak apa, aku juga terbiasa tidak bermain waktu di rumah dulu. Sekarang, setiap sehabis dzuhur aku pergi ke kebun bambu belakang rumah. Banyak nyamuk bernyanyi di telinga, namun aku tidak menghiraukannya. Aku anggap itu sebagai teman pencarian kayu bakarku. Tepat sebelum ashar aku pulang, membawa kayu di punggung. Begitu seterusnya.

Baca Juga  Surat Terbuka: Pengakuan pada Tuhan dan Jodohku di Masa Mendatang

Sekarang setiap malam aku menangis merindukan rumah. Ibuku galak memang, tapi tidak pernah melontarkan kata-kata pedas seperti bibi Lastri. Dulu, saat pertama kali kemari, aku berpikir akan betah-betah saja. Bibi Lastri orang yang baik. Aku dibelikan buku, baju, sepatu, anting, kalung, dan lain-lain yang tidak pernah aku dapat di rumah sebab ekonomi keluargaku yang tidak mendukung. Namun aku keliru. Kasih sayang ibu dan bibi tetap berbeda. Pernah beberapa kali aku berusaha memanggil bibi Lastri dengan sebutan ‘ibu’. Tetapi kenyataannya tidak semudah yang aku pikirkan.

Bagikan
Post a Comment