f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tindak pidana

Hybrid Implementation untuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Setelah sepuluh tahun perjalanan RUU TPKS dengan pro-kontranya, kini sudah disahkan menjadi Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada (12/04). Sekalipun untuk implementasinya akan membutuhkan waktu, dari proses penanganan hingga pemidanaan; karena menunggu peraturan presiden dan peraturan menteri terkait lainnya. Namun hal ini tidak mengurangi harapan para perempuan, kelompok rentan, dan aktivis masyarakat lainnya yang peduli untuk mendorong pemberantasan kekerasan seksual.

UU TPKS yang cukup komperhensif ini menjadi langkah untuk mengurangi kasus kekerasan seksual di Indonesia yang terus meningkat; dengan pengaturan tindak pidana dan hukumnya. CATAHU Komnas Perempuan 2022 menyebutkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan (2012-2021); tahun 2021 tercatat sebagai tahun dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi.

Lebih rigid juga terdapat pengaturan dan penjabaran untuk kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan; melalui kerangka layanan terpadu yang telah disebutkan dalam UU TPKS, berikut juga lembaga-lembaganya. Penekanannya pada pencegahan dan pemulihan, juga rehabilitasi untuk korban dan pelaku.

Pada sisi lainnya, saat pembuatan proses kebijakan, masih terdapat fraksi yang memberikan catatan untuk UU TPKS tersebut; yaitu dalam rancangannya tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif yang meliputi; kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan dalam seksual. Dalam asumsi lain, oleh salah satu komisi III DPR RI saat Tim Rahma.ID mengunjungi kantornya (21/1), perzinaan masuk pada kasus kesusilaan, bukan kasus kekerasan seksual.

Pentingnya Komunikasi Kebijakan dalam UU TPKS.

Keberagaman catatan dari para pembuat kebijakan atau policy maker saat proses legislasi UU TPKS tentu menambah pertimbangan dan kajian akademik yang lebih menyeluruh. Sampai kemudian UU disahkan menunjukan mayoritas memiliki tafsir yang sama atas setiap butir dalam pasalnya. Kalaupun kemudian masih terdapat yang kontra, berarti komunikasi antar policy maker untuk penafsiran pasal per pasal belum selesai.

Baca Juga  Sabar Beruntung Bukan Buntung: Implementasi Q.S. Al-Baqarah: 153

Menurut Hugh T. Miller and Tansu Demir dalam Handbook of Public Policy Analysis, bahwa proses komunikasi kebijakan oleh policy maker ini membutuhkan penguasaan dan penerapan berbagai keterampilan komunikasi. Tujuannya untuk mempersempit kesenjangan yang besar antara intelektual dan dimensi sosial dari pembuatan kebijakan.

Hal lain yang perlu kita ketahui bahwa proses analisis atau pembahasan kebijakan tersebut adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan pembuatan kebijakan yang interaktif dan komunikatif. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan analisis kebijakan adalah berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan dokumen kebijakan dan memberikan pengarahan lisan.

Begitupun komunikasi kebijakan pasca UU TPKS disahkan yang harus dilanjutkan oleh para eksekutor kebijakan. Sifat dan jenis interaksi antar pemangku kepentingan dalam berbagai fase penerapan kebijakan juga mempengaruhi penggunaan informasi oleh pembuat kebijakan lainnya yang terkait.

Sebab kebijakan bukan sekadar proses ilmiah dan teknis; tetapi juga merupakan proses sosial di mana struktur, ruang lingkup, dan intensitas interaksi antar pemangku kepentingan mengatur penciptaan dan penggunaan informasi akan berdampak pada pemahaman masyarakat.

Implementasi UU TPKS dengan Hybrid Theory

Helga Pülzl and Oliver Trei dalam Hanbood of Public Policy Analysis menyebutkantiga pendekatan teori untuk implementasi kebijakan. Pertama, top-down models, yaitu memberikan penekanan utama pada kemampuan policy maker untuk memproduksi dan menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas dan pada tahap pengendalian implementasi.

Kedua, bottom-up critiques, yaitu melibatkan birokrat lokal atau jaringan pelaksana sebagai aktor utama dalam penyampaian dan konsep kebijakan dengan proses negosiasi pelaksanaannya. Ketiga, hybrid theories, yaitu mencoba mengatasi kesenjangan antara dua pendekatan lainnya dengan memasukkan unsur-unsur model teori top-down, bottom-up dan lainnya. untuk menghindari kelemahan konseptual dari pendekatan top-down dan bottom-up.

Oleh karena itu, pembuat kebijakan harus mulai dengan mempertimbangkan instrumen kebijakan dan sumber daya yang tersedia. Dalam UU TPKS, sumber daya yang tersedia mencakup peraturan pemerintah, elektoral, dan pelaksana lainnya sebagaimana tersebut dalam UU TPKS. Selain itu, mereka harus mengidentifikasi struktur insentif dari pelaksana dan kelompok sasaran.

Baca Juga  Siapa Bilang UU TPKS Hanya di Indonesia?

Instrumen Kebijakan Lain dan Sumber Daya yang Harus Disegerakan

Sejak disahkannya UU TPKS, maka aturan sudah bisa diberlakukan untuk diproses secara hukum oleh polisi dan instansi penerima laporan lainnya yang disebutkan dalam UU TPKS. Mereka tidak bisa menolak jika ada pelaporan. Pun, kita sebagai masyarakat awam atau aktivis masyarakat bisa memberikan dorongan untuk pelaksanaan UU TPKS agar lebih implementatif dan responsif dengan prinsip interaktif dan komunikatif.

Pertama, sosialisasi UU TPKS sebagai upaya penyelenggaraan pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual(Pasal 79). Pelaksanaan ini harus menyeluruh untuk sektor, a. pendidikan; b. sarana dan prasarana publik; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi dan ketenagakerjaan; e. kesejahteraan sosial; f. budaya; g. teknologi informatika; h. keagamaan; dan i. keluarga.

Kedua, Peraturan Presiden Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 84), untuk merigidkan ketentuan lainnya yang berkenaan dalam UU TPKS. Tujuan utamanya jelas untuk pencegahan dan koordinasi TPKS, sebab hal ini membutuhkan penyegeraan implementasi segera dari pihak atau sumber daya lainnya, seperti pemerintah pusat, kementrian, dan instansi lainnya yang terkait. Termasuk juga pemerintah daerah, lembaga sosial, dan satuan pendidikan.

Ketiga, pelatihan penanganan perkara TPKS untuk menjadi pendamping korban (Pasal 26). Yang mana disebutkan dalam pasal, yang dapat menjadi pendamping korban yaitu: a. petugas LPSK; b. petugas UPTD PPA; c. tenaga kesehatan; d. psikolog; e. pekerja sosial; f. tenaga kesejahteraan sosial; g. psikiater; h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; i. petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan j. Pendamping lain.

Sehingga, kita sebagai masyarakat pun dapat menjadi pendamping korban dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang disyaratkan. Pelatihan ini harus segera diadakan oleh pemerintah pusat dan daerah (Pasal 81) dikoordinasikan oleh Menteri dan bekerja sama dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Yang tentunya perlu diperjelas dengan peraturan presiden.

Baca Juga  Literasi Media Sosial untuk Penguatan Narasi Moderasi Beragama
*

Meski butuh penyesuaian waktu dan kebijakan lainnya. Tapi dengan perhatian dan kerjasama dari berbagai sumber daya tersebut di atas, maka tindak pidana kekerasan seksual dapat kita berantas bersama.

Bagikan
Post a Comment