f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
film horor

Mengapa Orangtua Sebaiknya Tidak Mengajak Anak yang Masih Kecil Menonton Film Horor

Orangtua mana sih yang tidak ingin membahagiakan anaknya? Orangtua paling cuek sedunia pun pasti ingin melihat anaknya senang, kan? Tapi, cara orangtua menyenangkan anak ternyata tidak selalu membuat sang anak menjadi anak paling bahagia di dunia; contohnya momen kecil yang pernah saya alami bertahun-tahun lalu namun entah mengapa sampai hari ini masih melekat dan sulit saya lupakan.

Masa kecil saya habiskan di sebuah kota kecil yang terkenal dengan keindahan gerbang tolnya; sebut saja Salatiga, kota kecil yang memang tidak terlalu gegap gempita.

Waktu itu hanya ada 3 buah gedung bioskop (yang saat ini ketiganya bahkan sudah tutup permanen) yang menjadi andalan mencari hiburan bukan hanya bagi muda-mudi yang sedang pacarana; namun juga bagi keluarga muda yang belum puas mereguk indahnya masa remaja (waktu itu banyak pasangan yang menikah di usia muda; di mana hal ini sangat perlu kita maklumi mengingat Salatiga adalah kota di lereng gunung yang berhawa sejuk cenderung dingin).

Ibu saya adalah salah satu dari sekian banyak pengusung aliran menikah muda sekaligus penggemar film Indonesia; memang sangat mendambakan untuk mencari hiburan di antara keremangan gedung bioskop di Salatiga kala itu.

Tetapi Ibu saya juga seorang perempuan yang sangat mencintai keluarga dan cita-cita tunggalnya adalah melihat anak-anaknya bahagia; maka kesenangannya menonton film di bioskop pun ia bagi dengan anak-anaknya. Mungkin Ibu agak prihatin dengan anak-anaknya yang memang kurang mendapat hiburan.

***

Waktu itu film Indonesia sedang mati suri, kalau tidak mau disebut hidup segan mati tak mau. Dengan pilihan yang sangat terbatas, pokoknya era sebelum film Ada Apa Dengan Cinta-nya Nicholas Saputra yang merupakan kebangkitan dari film Indonesia secara masif sekaligus mulai berkembangnya kelompok NicSap garis keras alias pemuja fanatik Nicholas Saputra.

Baca Juga  Cilaka Mama Papa yang Abai Bahasa Anak

Saya masih duduk di kelas 5 SD waktu itu. Langit sore belum menjingga ketika Ibu mengumpulkan anak-anaknya, menyuruh kami semua mandi dan berpakaian rapi; kemudian menggiring kami berjalan kaki ke bioskop terbaik di Salatiga, Madya Theatre; yang di belakang gedungnya sampai saat ini masih ada penjual pecel legendaris.   

Kami empat bersaudara (adikku terkecil masih balita dan digendong Ibu) berdesak-desakkan di lobby bioskop yang padat, menunggu pintu teater dibuka. Jangan bayangkan lobby bioskop yang luas, nyaman, berkarpet tebal hingga bisa kita pakai menari balet. Lobby bioskop di masa lalu hanya serupa emperan toko yang dindingnya penuh dengan poster film dengan pedagang kaki lima berseliweran di mana-mana.

Setelah pintu teater dibuka, kami kembali berdesakan mencari tempat duduk. Ada pembagian kelas 1, 2 dan 3 sesuai harga tiketnya. Kelas 3 yang terdekat dengan layar adalah tiket dengan harga yang paling murah. Ke sanalah tujuan kami.

Film yang kami tonton adalah Beranak Dalam Kubur yang diperankan oleh Suzana Sang Ratu Horor Indonesia dan berwajah mirip Luna Maya. Meskipun ada kata anak di judulnya, tontonan itu jelas tidak ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Tapi kami semua yang masih anak-anak ini ternyata dibolehkan saja nyelonong tanpa sensor usia oleh penjaga loketnya. Mungkin karena target pembelian tiket hariannya belum tercapai.

***

Filmnya sebenarnya biasa saja, tipikal film horor Indonesia pada umumnya yang tujuannya memang menakut-nakuti penonton dengan hantu berwajah seram. Tapi melihat visual itu dari jarak dekat dengan layar lebar dan ilustrasi musiknya yang merasuk tentu berbeda dengan melihat film horror dari Netflix di ruang keluarga.

Adegan demi adegan kemunculan hantu yang beragam dan semuanya terlihat seram membuat saya, anak yang sebelumnya tidak mengenal takut,  menjadi sangat penakut. Karena ada adegan hantu yang muncul di bawah tempat tidur, setiap kali masuk kamar, saya harus melongok terlebih dahulu ke kolongnya sebelum berani masuk kamar. Di kamar pun tak berani sendiri, harus ada yang menemani, duh…

Begitu juga ketika masuk kamar mandi, karena ada adegan hantu yang keluar dari toilet, sejak menonton film itu saya selalu mandi dengan posisi membelakangi toilet. Itupun hanya mandi kilat dengan hati kebat-kebit takut ada hantu.

Baca Juga  Meliterasikan Zakat Sejak Dini

Anehnya, adegan Suzana sebagai pemeran utama yang juga menjadi hantu justru tidak membangkitkan rasa takut. Malah lucu karena Suzana menjadi sundel bolong yang rakus, makan krupuk satu pikulan pun habis.

Meskipun film itu sangat signifikan mempengaruhi perilaku saya, tentu saja saya tidak berani protes pada Ibu. Bagaimana mau protes? Kan Ibu memang berniat tulus ingin menyenangkan hati anak-anaknya. Berkaca pada pengalaman buruk di masa lalu itu, kini seberapa pun kuatnya keinginan saya nonton film Pengabdi Setan yang horornya estetik atau film James Bond yang memang berkategori  tontonan orang dewasa di bioskop bersama keluarga; selalu saya tekan kuat-kuat, khawatir anak-anak mengalami trauma yang sama.

Bagikan
Post a Comment