f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pelecehan

Harus Berpakaian Bagaimana?

Pelecehan seksual menjadi isu yang penting untuk dibahas secara serius baik di kalangan pemerintah maupun aktivis gender.  Mengingat  masih begitu banyaknya jumlah pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, terkhusus pada perempuan. Dalam riset L’Oréal Paris secara nasional melalui IPSOS Indonesia, sebanyak 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Bahkan dalam survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan bahwa perempuan 13 kali lebih rentan terhadap pelecehan seksual. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan masyarat Indonesia masih belum ideal bagi perempuan agar dapat beraktivitas dengan nyaman.

Berbagai argumen muncul dalam perdebatan terkait kasus pelecehan yang terjadi. Banyak di antaranya mengkambing-hitamkan cara berpakaian perempuan hingga pada akhirnya memicu kasus pelecehan seksual. Seolah hal tersebut terjadi semata-mata adalah kesalahan korban itu sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti, “makannya jangan pakai baju terbuka kalau ga mau dilecehkan!” atau pun “lah baju mu aja sengaja memancing” banyak beredar di sosial media.

Di sisi lain, muncul kecaman serta tuntutan mutlak bagi pelaku maupun laki-laki yang dianggap selalu berpotensi menjadi pelaku utama kekerasan seksual untuk mengekang dirinya di manapun dan kapan pun dia berada. Banyak juga beredar tuntutan, “Anda yang ga bisa menahan nafsu masa saya yang diminta menutup diri” atau “kalo gabisa menahan diri ya jangan lihat”. Hingga perdebatan terus berlanjut dan belum kunjung menemukan titik temu.

***

Pada tulisan isi saya tidak akan mengambil kesimpulan sepihak mengenai benar-salah pada setiap argumen yang muncul. Akan tetapi mari kita coba bedah satu per satu hingga dapat bersikap sebijak mungkin.

Secara umum masih banyak kesalahpahaman masyarakat terhadap konsep sex (jenis kelamin) dan gender. Jenis kelamin yang sejatinya berdasarkan pada aspek-aspek bawaan biologis seperti hormon, kromosom, maupun bentuk kelamin seolah tidak ada bedanya dengan konsep gender yang sebenarnya terbentuk dari tatanan budaya masyarakat. Gender sendiri secara khusus berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggung jawab, serta tingkah laku yang melekat pada jenis kelamin tertentu serta kemudian masyarakat amini. Sehingga pemaknaan terhadap gender di satu tempat dengan tampat lainnya dapat berbeda-beda bergantung pada budaya yang melekat. Termasuk di dalamnya kelayakan seorang laki-laki dan perempuan dalam berpakaian.

Baca Juga  Setara (Dimulai) dari Hati

Menutup Diri atau Menutup Mata

Perlu kita pahami bahwasannya perbedaan gender menyebabkan hadirnya ketidakadilan dalam masyarakat. Golongan dengan gender tertentu kerap kali harus menerima strereotip khusus sehingga perbuatannya pun akan mendapat penilaian berdasarakan stereotip tersebut. Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender dan Trasformasi Sosial” menyatakan bahwa dalam kasus pelecehan seksual. Umumnya perempuan yang bersolek adalah tanda upaya untuk menarik perhatian lawan jenis.

Stereotip tersebut berakibat fatal mana kala terjadi kasus pelecehan terhadap perempuan. Masyarakat akan cenderung menyalahkan korban karena telah berlebih ketika memancing perhatian. Hingga akhirnya stereotip terhadap perempuan yang bersolek tersebut telah menjadi momok bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Oleh karena itu, ungkapan “makannya jangan pakai baju terbuka kalau ga mau dilecehkan!” dapat diidentifikasi sebagai sentimen yang muncul dari masyarakat dengan budaya patriarki cukup kuat. Argumen serupa tentunya tidak dapat kita benarkan karena berlandaskan pada paradigma yang sejatinya tidak adil.

Upaya penyangkalan lebih jauh sering kali berbunyi bahwa pelecehan seksual sangatlah bersifat relatif, karena kadang kala standar terhadap pelecehan seksual dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kedekatan seseorang. Bahkan guyonan berbau seksual cukup banyak dengan dalih usaha untuk bersahabat. Padahal dengan respon yang tidak menentu dari setiap orang tersbut, kita malah harus lebih berhati-hati lagi dalam berbicara dan bersikap terhadap orang lain.

***

Sebagai seorang manusia, pada dasarnya kita memiliki hak kebebasan individu baik dalam kebebasan berpendapat maupun kebebasan berekspresi. Dalil tersebut menjadi landasar dasar untuk berpakaian sesuai keinginan. Akan tetapi, apakah benar menusia memiliki kebebasan seluas-luasnya dalam bertindak? Karena kebebasan tidak dapat kita pungkiri tentu akan terhalang oleh kebebasan orang lain, sehingga kebebasan individu pada dasarnya tidaklah mutlak.

Baca Juga  Nasihat untuk Pengantin Baru, Pengingat bagi Pengantin Lama

Seperti halnya ketika kita berada di rumah mendapatkan keheningan dan kenyamanan untuk mengerjakan tugas, akan tetapi tetangganya sedang nggrendo sambil memainkan lagu dangdut keras-keras. Kebebasan untuk mendapatkan suasana nyaman terhalang oleh kebebasan untuk nggrendo sambil musikan. Oleh karena itu muncul aturan-aturan masyarakat untuk menengahi persoalan tersebut seperti tidak boleh bising pada malam hari.

Begitu pula dalam kasus berpakaian, kita memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri sesukanya akan tetapi hal tersebut juga terhalang oleh kebebasan orang lain untuk mendidik anak berpakaian tertutup misalnya. Sehingga aturan standar berpakaian sopan muncul untuk menengahinya. Oleh karena itu kalimat serupa, “kalo ga bisa menahan diri ya jangan lihat”, tidak serta merta dapat kita benarkan karena dalam berpakaian pun juga harus sesuai dengan konteks tempat dan waktu di mana seorang berada.

***

Pentingnya memahami konteks tempat dapat kita analogikan seperti ketika seorang meninggalkan motornya di tengah jalan dengan kunci yang menggantung. Apabila akhirnya motor tersebut tercuri, tentu pencuri tersebut mutlak telah melakukan kesalahan karena mengambil hak orang lain. Akan tetapi secara dialektis orang tersebut juga melakukan kesalahan atas diri sendiri karena membiarkan kunci menggantung di daerah yang rawan pencurian motor.

Sampai titik ini dapat terpahami bahwa kesalahan mencuri motor adalah mutlak dan kesalahan meninggalkan kunci motor bergantung pada konteks tempat di mana motor itu berada. Begitu pula dalam kasus pelecehan seksual, pelecehan tentu menjadi kesalahan mutlak. Akan tetapi sebagai individu, kita juga harus memahami konteks waktu dan tempat dalam berpakaian untuk menghindari kejadian yang tidak kita inginkan terjadi.

Dis claimer:

Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh di lingkungan dan budaya jawa, tentu saya tidak mampu menggambarkan dengan presisi pengalaman yang perempuan Indonesia alami terkhusus perempuan jawa terhadap ketidakadilan karena perbedaan gender. Terlebih masih begitu kontrasnya tugas, tanggung jawab, serta keharusan dalam bertingkah laku antara laki-laki dan perempuan pada budaya jawa. Oleh karena itu, saya memohon maaf apabila dalam tulisan ini saya belum mampu menempatkan argumen secara adil dan moderat.

Bagikan
Post a Comment