f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kehilangan anak

Belajar Ikhlas Dari Ibrahim

Sebagai seorang perempuan yang telah  menikah, mendapatkan kabar bahagia sebuah kehamilan merupakan impian setiap pernikahan. Menikah dan punya anak menjadi impian saya saat itu, yah tentu saja punya anak juga menjadi impian suami saya dan keluarganya. Impian menimang cucu pertama dari kami.

Saya menikah pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Januari 2017. Saat itu saya masih bekerja pada salah satu institusi pendidikan di Makassar dan suami mengabdi pada salah satu rumah sakit daerah di Kota Sorong. Saya tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan teman sendiri sewaktu SMA. Sama-sama kelahiran Kota Sorong Papua, yang memaksa saya untuk segera kembali ke kota kelahiran setelah betah selama 10 tahun menjadi warga Kota Makassar.

Setelah 6 bulan kami mengarungi kehidupan berumah tangga, akhirnya kabar gembira tentang kehamilan pun dating. Perasaan yang teramat sangat bahagia. Bagi kami kehadiran seorang anak adalah berkah luar biasa dari Tuhan. Saat itu saking bahagianya seolah tidak ada satupun kata yang mampu mewakili rasa bahagia kami. Hari demi hari kebahagiaan kami makin bertambah dengan isyarat dari alam rahim dengan gerakan-gerakannya yang aktif. Kenyataan bahwa ada kehidupan dalam rahim saya sendiri, membuat saya semakin mensyukuri nikmat dan besar kasih sayang-Nya.

***

Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama kami rasakan. Ketika memasuki trimester kedua dalam kehamilan, anak kami dinyatakan “meninggal” dalam kandungan pada usia 27 minggu. Karena saat USG tidak terdengar lagi bunyi detak jantung janin sebagai tanda kehidupan dari alam rahim.

Air ketuban pecah dini karena merembes. Itulah diagnosa dokter terhadap penyebab kehilangan anak kami. Menurut dokter, air ketuban merembes dalam jumlah sedikit dan tidak terlalu sering memang hal yang normal. Namun, berkurangnya air ketuban dalam jumlah banyak akan menimbulkan risiko yang fatal bagi bunda dan janin yang ada di dalam kandungan.

Baca Juga  Pendidikan Emosi sebagai Pondasi  Karakter Anti-Bullying

Air ketuban merembes atau bocor pada trimester pertama dan kedua dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti keguguran, cacat lahir, lahir prematur, hingga yang paling fatal adalah kematian bayi. Sementara itu, kehilangan air ketuban dalam jumlah besar di masa trimester ketiga akan menyebabkan kesulitan selama proses persalinan.

Kabar itu membuat duniaku runtuh dan hancur. Selama berhari-hari jiwa saya merasa sangat terguncang. Saya belum siap dengan “kehilangan” ini. Berbagai penolakan atas kejadian tersebut saya ajukan kepada Tuhan. Mengapa harus saya Tuhanku? Mengapa kau ambil kembali setelah kau memberinya?

***

Saya benar-benar memberi signal penolakan, bahwa kenapa harus saya yang mendapatkan ujian “kehilangan”. Lalu kenapa juga saya dipaksa harus mengikhlaskan semuanya. Sementara bukan hanya sakit fisik yang saya derita, tetapi sakit secara psikologis juga saya rasakan. Karena harus melahirkan bayiku sendiri dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Keadaan memaksa saya harus melewati proses kehilangan dengan melihat ibu-ibu lain memposting  bayi-bayi mereka yang lahir dengan selamat dan sehat pada laman sosial media. Saya harus melihat teman-teman dengan usia kehamilan yang sama dengan saya menikmati proses kehamilan mereka sampai bayi mereka lahir dengan selamat. Sungguh sebuah potret kebahagiaan yang tidak adil bagi saya.

Ibrahim adalah nama yang kami beri kepadanya. Saya tidak pernah menyangka secepat itu saya kehilangan dirinya. Sebagai seorang ibu yang merasakan pengalaman reproduksi setiap bulannya, sangat berat bagi saya mengikhlaskan kepergiannya yang begitu cepat. Bahkan sejak saat itu, rasa baper saya meningkat. Saya sangat sering menangis, bahkan sering terbangun di tengah malam menangis sesegukan.

***

Sepanjang tahun 2018 merupakan tahun yang berat bagi saya. Pengalaman kehilangan sosok “Ibrahim” yang belum sempat saya asuh dan asih merupakan jalan takdir yang saya harus terima dan lalui. Dari kehilangannya pun saya benar-benar belajar tentang ilmu ikhlas. Ilmu yang sangat berat untuk mampu mencapai maqomnya.

Baca Juga  Sebuah “Kemewahan” di Masa Pandemi Covid-19

Membaca dan mendengar ceramah dari para pemuka agama tentang keuntungan dan upah besar yang menanti bagi orang tua yang kehilangan anaknya sebelum memasuki usia baligh adalah sebuah kabar gembira dari Tuhan. Karena anak tersebut meninggal dalam keadaan masih suci.

Mendengar akan hal itu segala penolakan yang saya tunjukkan di awal kehilangan Ibrahimakhirnya luluh. Saya belajar tentang arti kehilangan yang sesungguhnya. Bahwa benar, betapa kehilangan membuat kebahagiaan seketika menjadi lenyap. Betapa kehilangan mampu merubah keadaan suka menjadi duka.

Tidak ada senyum di sana, tidak ada gelak tawa. Hanya gemuruh kesedihan yang saya rasakan. Namun, hikmah dan upah Allah SWT untuk orang tua  yang bayinya meninggal, sangatlah besar dan itu adalah keberuntungan yang akan kami terima pada hari akhir nantinya.

***

Seperti Nabi Daud yang ditinggal mati oleh putranya. Ketika berkesedihan beliau begitu mendalam dan Allah menanyakan kepadanya, “Wahai Daud, apa perumpamaan anak itu bagimu?”

“Wahai Tuhanku, bagiku ia seperti butiran emas yang memenuhi bumi ini.”

Kemudian Allah berfirman, “Di hari Kiamat kelak, engkau memiliki pahala di sisi-Ku setara dengan isi bumi ini.”

Bagi mereka yang mungkin merasakan pengalaman yang sama dengan saya. Tentu bukanlah hal yang mudah. Namun anak-anak kita yang telah meninggal itu setidaknya mengajarkan kita sebuah “ilmu ikhlas”. Anakku Ibrahim telah mengajarkan saya tentang ilmu itu. Karena tidak ada rasa sedih yang lebih mendalam dari ditinggal oleh sang buah hati.

Bagikan
Post a Comment