f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
harapan

Harapan

‘Hukuman terberat bagi manusia di hari kiamat, diperuntukkan bagi orang berilmu yang tidak berbuat sesuai dengan ilmunya, dan tidak menggunakan ilmunya.’

Saat membaca kata-kata ini, seketika aku merasa terpanggil. Terpanggil untuk segera mewujudkan impian yang selama ini hanya dalam angan.

Satu bulan sudah aku berada di rumah setelah selesai menimba ilmu di pesantren. Sejak kepulanganku, aku tidak pernah absen shalat di masjid, tepatnya hanya shalat Magrib. Sebab setelah itu aku akan duduk di pojok masjid untuk menyaksikan anak-anak yang sedang mengaji di teras masjid, dipandu oleh Kang Adnan dan istrinya. Pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak.

“Husna, bisa bicara sebentar?” Teh Ai duduk di sampingku seraya memamerkan  senyum.

“Bisa, Teh, ada apa?”

“Teteh suka denger kamu ngaji. Suara kamu bagus, tajwidnya juga bagus. Kalo berkenan, Teteh mau meminta kamu bantuin kami ngajar anak-anak. Tau sendiri kan, anak-anak sebanyak itu, kami sering keteteran mengajarinya.”

Dalam hati, aku bersorak. Sebetulnya sedari dulu aku ingin ikut mengajari anak-anak seperti Teh Ai ini, tapi aku merasa sungkan. Alhamdulillah, gayung bersambut, kali ini aku punya kesempatan untuk mengajari anak-anak itu.

“Boleh, Teh, malahan saya seneng, supaya bisa mengamalkan ilmu yang saya pelajari juga.”

Teh Ai menyunggingkan senyum seraya mengucap hamdalah. “Oh, ya, sekalian Teteh minta diajarin tajwid, ya. Bacaan Teteh masih berantakan.”

***

Tahu rasanya melakukan sesuatu saat kita menikmatinya? Tentu saja rasanya menyenangkan. Hari pertama mengajar anak-anak, rasanya sungguh bahagia. Ya … walau sedikit kepayahan karena mereka tidak mau diam dan saling berebut untuk membaca.

“Tenang, ya, bacanya satu-satu. Nanti kebagian semua, kok.”

Namun, di samping rasa senang itu, aku juga merasa kesulitan saat membetulkan bacaan mereka supaya tepat tajwid dan makharijul hurufnya.

“Bacaan anak-anak masih kurang bagus, Na, soalnya Teteh sama suami juga belum bisa membaca Qur’an sesuai tajwid yang benar,” kata Teh Ai sebelum aku mulai mengajar.

Ah, aku mengerti. Ada yang mengajar saja sudah bersyukur dari pada anak-anak tidak belajar mengaji sama sekali.

Walau sulit, tetap harus berusaha, bukan? Kesabaran dan ketelatenan adalah kunci sebuah perubahan.

Baca Juga  Surat untuk Ibu Menjelang Lebaran

Bismillah, aku harus semakin semangat.

***

“Bukan laqad, Ris, tapi laqade. Harus memantul baca huruf ‘da’nya.”

Aris, kembali mengulang bacaan seperti yang aku contohkan. Bocah berumur sepuluh tahun itu sudah iqra lima. Sudah belajar huruf qalqalah, tapi masih saja lupa.

Ah, benar-benar harus sabar.

Selesai Aris, ada lagi Fauzan. Bocah ini biasanya agak sentimen kalau aku sering membetulkan bacaannya.

“‘Ain, Zan, ‘aliimun, bukan aliimun. Pakai ‘ain, bukan alif.” Aku membenarkan hurufnya yang salah.

“Ck! Kenapa, sih, salah mulu? Dulu sama Bunda nggak apa-apa.”

Nah, kan! Dia memang selalu marah tiap kali dibetulkan bacaannya, baik tajwid atau hurufnya. Mungkin karena sebelumnya tidak pernah mendapat protes saat huruf-huruf yang dia baca tidak ada yang membenarkan sama sekali.

Aku menarik napas, berusaha supaya tidak terpancing emosi.

“Karena memang salah. Coba sekali lagi.”

Fauzan kembali membaca dengan wajah ditekuk.

Lain halnya dengan Sandi, bocah itu begitu penurut tapi sangat susah untuk menyebut huruf ‘Ra’ sebab dia cadel.

“Ra, Sandi, bukan Lo.”

Anak-anak yang lain tertawa seraya meledek Sandi dengan mengikuti bacaannya.

“San, lo gue end.”

“San, San, lo kapan mau ke lumah oe ha?”

Kembali suasana riuh dengan tawa mereka. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Benar-benar ujian sekaligus hiburan untukku.

***

“Kenapa kita harus membetulkan bacaan Al-Quran? Ada yang bisa jawab?” Aku menatap anak-anak satu persatu. Ada yang menggeleng, ada yang hanya diam, tapi ada juga yang bercanda.

Aku kembali meneruskan ucapan. “Karena … kalau salah mengucapkan satu huruf saja, artinya juga bisa salah. Selain itu, dalam Al-Quran disebutkan ‘warattilil Quràna tartìlà.’ Artinya ‘Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil.’ Yaitu dengan benar, sesuai tajwid, dan benar cara mengucapkan huruf-hurufnya juga.

Ini perintah dari Allah dalam surah Al-muzammil ayat empat. Jadi mulai sekarang, jangan marah kalau Teteh benerin bacaan kalian, ya. Pernah denger Syekh yang ngaji di speaker masjid sebelum Magrib?”

Anak-anak serempak mengangguk.

Ya, sebelum azan Magrib berkumandang, speaker di masjid kerap kali memutar murottal dari berbagai Syekh.

Baca Juga  Semoga Syahid Untukmu, Ayah

“Nah, bagus gak bacaannya?”

“Bagus ….” Serentak mereka berseru.

“Kalian juga bakalan bagus ngajinya kalau tajwidnya udah bener. Jadi mulai sekarang, harus semangat, ya.”

Sontak riuh suara anak-anak menyetujui ucapanku.

Alhamdulillah.

***

“Ihdinashiraathal, shi, Teh, huruf ‘shad’, bukan sa.”

Teh Ai mengulang kembali bacaan yang kubetulkan, sampai beberapa kali masih saja salah.

“Aduh … ternyata susah, ya, belajar makharijul huruf. Udah setengah jam masih aja nguprek di huruf ‘sad’.”

Kami tertawa. “Sabar, Teh, nanti juga bisa. Sering-sering latihan pengucapan huruf aja, lama-lama bisa, kok, insyaallah.”

“Iya, tapi lama. Satu huruf gak bener-bener.” Teh Ai sedikit memonyongkan bibirnya.

Teh Ai ini sudah lima tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak. Untuk itu, anak-anak yang ngaji memanggilnya Bunda karena permintaan Teh Ai sendiri. Sedangkan kepada suaminya anak-anak memanggil Ustaz.

Pernah suatu hari Ten Ai curhat mengenai anak kepadaku. Beliau ingin sekali mempunyai anak, tapi qadarullah belum diberi kepercayaan oleh Allah.

“Kadang Teteh berfikir, apa hidup Teteh dan suami tetap akan berdua aja? Soalnya sampai sekarang belum ada tanda-tanda Teteh akan hamil.” Teh Ai menunduk dengan tangan memegang perutnya.

Hatiku merasa tercubit mendengar ceritanya. Siapa yang tidak sedih ketika setiap hari menanti sang buah hati? Namun, tak kunjung hadir dalam rahim sendiri. Rasanya … sakit, mungkin.

Akan tetapi, sebagai hamba bisa apa selain menerima dan menuggu? Menunggu keajaiban bahwa bayi itu akan hadir dalam rahimnya suatu saat.

“Teteh yang sabar, ya. Perbanyak istigfar dan salat. Jangan lupa juga perbanyak sedekah. Karena dalam Al-Quran surat Nuh disebutkan, yang artinya ‘Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’ (QS. Nuh: 10-12)

“Makasih, Na. Alhamdulillah Teteh sangat bersyukur kamu udah pulang dari pesantren, jadi Teteh ada temen buat curhat.”

Kami berdua terkikik.

***

Hari-hari berlanjut. Perjuanganku masih panjang untuk mengajarkan bacaan Al-Quran sesuai tajwidnya kepada anak-anak.

Baca Juga  Lebaran Tanpa Ayah

Saat ini betapa banyak manusia yang mengabaikan hal itu. Padahal mempelajari tajwid dan semacamnya itu sangat penting sebelum menghafal Al-Quran.

“Belajar tajwid itu penting, Ceu, supaya kita bisa melafalkan huruf-huruf hijaiyah dengan baik, sesuai makhraj dan sifatnya,” kataku saat Ceu Yati, ibunya Sandi bertanya mengenai pentingnya belajar tajwid.

“Selama bertahun-tahun saya teh salah berarti nyah kalo baca Quran. Gimana kalo begitu?”

“Ya kalo nggak tau emang gak apa-apa, Ceu, tapi jangan diem juga. Harus tetap berusaha untuk mempelajarinya.”

Ceu Yati mengangguk. “Kalo gitu saya belajar sama Husna atuh, ya. Boleh gak?”

Ada rasa bahagia saat seseorang ingin mempelajari tajwid. Itu artinya peluang meraih pahala di depan mata.

***

Sore, setelah shalat Ashar aku mulai mengajari Ceu Yati. Seperti pada umumnya, karena sudah terbiasa membaca Al-Quran ala kadarnya, sehingga susah untuk dirubah.

“Falahum, Ceu.”

“Palahum, gitu?”

“Fa, Ceu, bukan pa. Huruf ‘f’, fa. Falahum.” Aku menjelaskan sejelas-jelasnya.

“F.”

“Iya begitu.”

“Palahum.”

Allahu akbar. Mengajari ibu-ibu lebih sulit ternyata.

***

Hari-hari berikutnya, datang lagi seorang ibu untuk ikut belajar tajwid. Semakin lama, semakin banyak yang ingin ikut belajar tajwid padaku. Alhamdulillah, sesuatu yang tak pernah disangka-sangka. Alhasil, jadwalku sekarang rutin dari setelah Asar mengajar ibu-ibu, berlanjut setelah Magrib mengajar anak-anak.

“Saitànirrajìim.” Kali ini Ceu Eni yang mengaji.

“Syaithànirrajiim. Pakai huruf ‘sya’, Ceu, bukan ‘sa’, ya.”

“Hssya.”

Semua tertawa mendengar nada yang ke luar dari mulut Ceu Eni.

“Hss mah atuh kuda, Ceu Eni.”

“Sya, Ceu. Hs hs wae.”

Lagi, suara tawa riuh memenuhi teras masjid ini.

Ah, baik anak-anak atau ibu-ibu sama saja. Suka sekali meledek temannya. Namun, itu menjadi hiburan tersendiri bagi kami di tengah sulitnya mempelajari ilmu tajwid.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur bisa melangkah sejauh ini. Bisa mengamalkan ilmu yang aku pelajari di pesantren. Sedikitnya harapanku mulai tercapai, bisa membumikan Al-Quran dengan bacaan sesuai tajwid, makhraj, dan sifatnya.

Bagikan
Post a Comment