Site icon Inspirasi Muslimah

3 Cara Seni Berbicara pada Anak Tanpa Suara yang Tinggi

seni berbicara pada anak

Berikanlah kesempatan pada anak untuk bercerita sampai selesai, jangan dipotong, menyalahkan, apalagi menyudutkannya. Setiap hari kita mendapatkan keajaiban yang tidak kita sadari: langit biru, awan putih, daun hijau, mata seorang anak yang penuh rasa ingin tahu- mata kita sendiri. Semua adalah keajaiban.” Thict Nhat Hanh

Tanpa sadar sebagai orang tua kerap berbicara dengan anak menggunakan intonasi yang tinggi. Padahal kita sendiri mendengar suara seperti itu, tentu tidak nyaman apalagi anak-anak, mereka bisa ketakutan.

Menjadi orang tua memang tidak mudah. Segala tindakan baik buruk, anak-anak bisa menirukannya. Saat orang tua ingin memberi contoh yang baik, terkadang caranya tidak tepat. Seperti saat ngobrol dengan anak, orang tua ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang santun dan lembut. Akan tetapi orang tua berbicara dengan nada tinggi, maka anak meniru hal tersebut.

Orang tua ingin anak-anaknya menjadi patuh dan taat kepada meraka. Anak-anak bisa menuruti setiap keinginan orang tua. Misalnya, ketika orang tua memberikan intruksi perintah anak-anak harus langsung melakukan apa yang diperintah. Tapi kebanyakan orang tua tidak suka membantu atau mengatasi perasaan mereka. Orang tua lebih suka jika anak-anak hanya melakukan apa yang disuruh. Karena jika mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh kita, maka segalanya akan berjalan dengan mulus dan semua senang.

Masalah yang timbul dalam pengasuhan karena tidak adanya jalan pintas untuk mendapatkan anak-anak yang mudah bekerja sama. Misalnya kita tidak dapat bersikap baik saat perasaan kurang baik. Hal itupun juga anak bisa merasakan hal yang sama.

Nah, dalam hal ini kita sebagai orang tua perlu memahami penanganan emosi anak. Jonna Faber dan Julie King menjelaskan ada beberapa cara yang dilakukan di dalam rumah :

Akui Perasaan dengan kata-kata

Jika kita mengatakan sesuatu yang negatif dan mengintimidasi, maka ikuti urutan dalam langkah-langkah ini; kuatkan hati dan tahan diri untuk tidak membalas ucapan anak, pikirkan emosi ia rasakan, sebutkan emosi itu dan masukkan dalam kalimat. Contohnya ketika seorang anak berkata, “Aku sebel, dan tidak suka bermain dengan Nakula. Aku tidak akan main dengannya lagi.”. Daripada berkata, “Kamu pasti main lagi dengannya, Nakula kan sahabatmu!”. Coba katakan, “Sayang, sepertinya kamu sedang marah pada Nakula, Nakula pasti membuatmu kesal ya!”

Akui Perasaan dengan Tulisan

Membiasakan untuk melihat perasaan dan keinginan mereka secara tertulis, akan berdampak besar. Menulis keinginannya adalah cara lain untuk mencegah anak untuk mengamuk, tanpa memanjakannya. Anggap ini kesempatan untuk menerima perasaan dengan membatasi tindakan, apalagi untuk anak pra sekolah. Misalnya ketika saya mau pergi ke kantor saya membuat “daftar keinginan” anak-anak menyebutkan keinginan, dan kakaknya akan menuliskan daftar belanjaan. Alisa (4 tahun) menginginkan roti dengan rasa blueberry. Maka anak saya akan menulis “roti blueberry” pada selember kertas.

Akui Perasaan dengan Seni

Terkadang kata-kata, baik ditulis maupun diucapkan mengungkapkan perasaan yang kuat. Misalnya ; anak saya yang kedua bernama Abimanyu (6 tahun) mengalami insiden kecil saat bermain bersama adik dan kakaknya, tanpa sengaja ia melompat dan kepalanya membentur tembok mengenai jidatnya dan benjol (memar).

Saat terdengar tangisan yang kencang, saya berlari dan menghampirinya, membiarkan ia menangis sejenak dan saya memeluk, mengajak ia duduk. Saya tidak bertanya mengapa bisa terjadi menangis saat main. Kebetulan di dekat saya ada kertas dan krayon karena mereka selesai  mengambar dan berkata, “Ayu kita gambar masing-masing perasaan kaka, mas, dan dede”  .

Saya menggambarkan wajah sedih, dan menangis. Apakah sekarang mas Abimanyu merasa sedih karena kesakitan?” Ia mengangguk. Selanjutnya saya mengambar setetes air mata dari gambar matanya, dan ia berkata “tambahi bulatan untuk benjolan di jidatnya Ibu”. Saya  tambahkan bulatan benjolan di jidatnya (akhirnya kami bisa tertawa semua). Nah ini bisa melakukan demikian jika muncul kerewelan ataupun perasaan negatif yang datang tiba-tiba.

Selanjutnya, kita merasakan anak ingin sesuatu yang tidak mungkin disediakan oleh orang tua. Biasanya yang pertama kali kita lakukan adalah menjelaskan kepadanya ia tidak boleh, atau seharusnya tidak, tidak dapat meminta apa yang diinginkan hatinya itu. Pendekatan ini sangat rasional. Jadi bagaimana seharusnya ?

Maka yang harus dilakukan adalah memberikan secara imajinasi apa yang tidak dapat kita berikan dalam realistas. Misalnya ketika Alisa (4 tahun) menangis karena tidak dibelikan permen yang ia inginkan di supermarket, maka tidak ada gunanya untuk saya menasihati tentang kerusakan gigi. Akui saja! Permen itu enak! Permen manis! Alangkah menyenangkan kalau kita bisa makan permen setiap hari dan gigi kita aman tidak sakit. Permen apa ya yang akan kita pilih Yupi atau lollipop? Lalu, apa yang akan kita makan ya?

Dorong anak untuk ikut bicara dan mengimajinasikan dengan rumah yang dipenuhi terbuat dari gula-gula, semua isinya diisi dengan permen dan sangat menyenangkan sekali ya. Kalau sudah tenang dari tangis dan amarahnya, biasanya anak dapat memberikan sinyal-sinyal perdamaian untuk berkomunikasi kembali dengan orang tuanya. Jika sudah terlihat tanda-tanda itu maka segerahlah sambut dengan positif, memberikan pelukan dan mengatakan bahwa ia memang hebat dan baik. Dengan cara ini Ayah-Bunda dapat mengajarkan anak untuk mengendalikan diri dan anak bisa memahami mana perilaku yang baik dan kurang baik.

Nah, berikutnya, mengakui perasaan dengan perhatian (yang hampir) tanpa suara. Sebuah kisah terjadi pada anak saya yang pertama Meisya (9 tahun)  ketika belajar tidur di kamar dengan adiknya. Sudah larut malam dia menghampiri kami, mengeluh adiknya, di waktu selarut itu, saya hampir tidak memiliki kesabaran. Sampai akhirnya menghela napas memilih untuk mendengarkan dan berkata, “Ehm,,,Ya,,,lalu…? Oke”. Setelah lima menit ia bercerita, dia lanjut berkata,”Oke, aku mau menuliskan perasaanku sekarang,” sambil memberi kecupan selamat malam dengan penuh senang pada orang tuanya.

Hindari ucapan yang melemahkan atau ancaman-ancaman kosong karena kita itu tidak akan mengubah perilaku anak. Jika suatu saat dia mengulangi perbuatannya itu, jangan menyalahkan anak dan ulangi cara yang sama secara konsisten. Bagaimanapun, ia adalah anak manusia yang masih harus belajar. Bersabarlah Ayah-Bunda

Bagikan
Exit mobile version