Site icon Inspirasi Muslimah

Viral Kasus Siswa dan Guru, Cara Menghadapi Penyimpangan Akhlak Siswa

penyimpangan akhlak

Media Indonesia belakangan dihiasi oleh kasus siswa dan gurunya. Hal ini seperti seorang guru di Kabupaten Sumbawa Barat, yang dikenal sebagai Akbar. Saat ini tengah menghadapi proses hukum setelah dilaporkan oleh orang tua dari salah seorang siswanya. Siswa yang berinisial MA mendapat teguran dari Akbar Sarosa untuk menjalankan ibadah Salat Zuhur. Namun, ketika teguran tersebut tidak diindahkan, Akbar melakukan pemukulan terhadap MA dengan menggunakan bambu dan tangan kosong. Terkait dengan kasus ini, seorang pengamat pendidikan telah mencatat bahwa tugas mendidik bukanlah tugas eksklusif dari para guru. Sebaliknya, peran utama dalam mendidik anak seharusnya dimulai dari orang tua siswa itu sendiri.

Seiring dengan pemahaman ini, orang tua harus menyadari bahwa ketika mereka mempercayakan anak-anak mereka kepada lingkungan sekolah. Hal ini sebenarnya berarti bahwa pendidikan, pembinaan intelektual, dan pengembangan aspek spiritual dan jiwa anak menjadi tanggung jawab sekolah. Kasus yang menimpa Akbar terjadi pada bulan Oktober 2022. Di mana ia, seorang guru mata pelajaran agama di SMKN 1 Taliwang, diduga melakukan tindakan kekerasan dengan memukul seorang siswa saat memberinya perintah untuk menjalankan Salat Zuhur di sekolah.

Akibat tindakan ini, orang tua siswa tersebut merasa tidak puas dan memutuskan untuk melaporkan insiden tersebut kepada pihak kepolisian. Kasus ini mencerminkan pentingnya menjaga hak dan kesejahteraan anak-anak di lingkungan sekolah. Selain itu perlu komunikasi dan kerja sama antara sekolah dan orang tua untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan efektif.

Kasus tersebut memberikan dua sisi yang menimbulkan pertanyaan, apakah yang dilakukan oleh siswa tersebut dibenarkan? Ataukah perbuatan guru tersebut dibenarkan? Pertanyaan tersebut harus kita analisis secara bijak. Jika memang seorang anak belum melakukan salat, seorang guru memang memiliki kewajiban dan hak untuk mengingatkan dan menegur siswa tersebut. Hal ini karena guru merupakan orang tua siswa tersebut di sekolah.

Menurut pandangan ajaran Islam, tindakan-tindakan penyimpangan akhlak pada anak, dan pada semua manusia pada umumnya, dipandang sebagai godaan yang berasal dari setan. Setan telah bersumpah di hadapan Allah Swt. untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, seperti yang diungkapkan  Al-Qur’an sebagai berikut.

 قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Tentunya, sikap penyimpangan yang dilakukan oleh siswa tidak hanya pada kasus tersebut menjadi sebuah “kaca” untuk semua pihak. Karena menurut hadis qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran). Kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).” Dengan kata lain, seorang siswa sebenarnya dalam keadaan hanif, tetapi munculnya setan yang menggoda manusia.

Upaya pencegahan perilaku penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh siswa harus dilakukan dari lingkungan terdekat. Hal ini senada dengan pendapat Dr. Syafril, M.Pd. selaku Pengamat Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat), pada Selasa, 17 Oktober 2023. Ia mengungkapkan adanya teori tri pusat pendidikan. Teori tersebut menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga atau informal, lingkungan masyarakat atau non-formal, dan lingkungan sekolah atau formal yang niscaya akan dapat mewujudkan kualitas pendidikan yang paripurna. Syafril mengingatkan bahwa pendidikan yang paling mendasar bermula di keluarga. Baginya, peran utama sekolah adalah memberikan pendidikan formal. Ia menekankan bahwa pendidikan awal yang paling penting dalam keluarga dan institusi adalah mengenalkan anak kepada Tuhan, Sang Pencipta yang semua makhluk akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan amal ibadah mereka. Ia juga mengecam pandangan orang tua yang meragukan peran guru dalam mengenalkan anak kepada Tuhan.

Syafril berharap bahwa orang tua akan lebih sadar akan pentingnya memberikan pengajaran dan nilai-nilai spiritual kepada anak-anak mereka. Baginya, dalam pandangan Tuhan, anak yang terbaik bukan hanya yang meraih prestasi internasional dalam sains, matematika, atau bidang minat dan bakat. Lebih penting lagi, anak yang terbaik adalah yang mendalami ajaran agama dan menjadi individu yang senantiasa beriman dan beramal saleh. Ia berdoa agar anak-anak kita diberikan sifat Rabbani. Yaitu individu yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan menjalankan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, tindakan yang dilakukan oleh seorang pendidik dengan memukul siswanya pun tidak dibenarkan. Mungkin ada anggapan bahwa pada zaman dahulu, ketika seorang guru marah dan memukul karena kesalahan siswanya, hal tersebut diterima oleh siswa karena dianggap sebagai teguran. Namun, pada masa kini, teguran tersebut melanggar hak anak. Pada dasarnya, kasus tersebut menyoroti pentingnya melindungi hak-hak anak. Termasuk hak atas keamanan dan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik atau psikis.

Undang-Undang Perlindungan Anak yang berlaku di Indonesia (UU No. 35 Tahun 2014) menegaskan hak anak untuk mendapatkan perlindungan di lingkungan pendidikan. Lebih detailnya, berdasarkan pasal 9 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan, “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Pasal tersebut pun didukung oleh pasal 54 ayat 1 dan 2 UU Nomor 35 Tahun Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan, “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. “Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat”.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, jika adanya penyimpangan yang dilakukan oleh siswa, pendidik semestinya dapat menggunakan metode disiplin positif ketika menangani. Disiplin positif mencakup pendekatan yang menghormati hak dan kepentingan terbaik anak. Oleh karena itu, kejadian tersebut menjadi pembelajaran bagi semua pihak, baik orang tua, keluarga, siswa, pendidik, dan perangkat sekolah lainnya. Harapannya, mereka dapat menciptakan suasana dan kondisi belajar yang lebih baik lagi dengan menerapkan aturan yang semestinya dan kepercayaan terhadap agama yang dipercayai.

Bagikan
Exit mobile version