Site icon Inspirasi Muslimah

UU Ciptaker Disahkan: Pemerintah Abai Terhadap Kepastian Hukum Pekerja Perempuan

UU Ciptaker

Presiden Jokowi Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), Jumat (30/12/2022). Dengan alasan ada kegentingan memaksa seperti dampak perang Rusia-Ukraina, dan ancaman inflasi. Sejumlah kalangan menyebut alasan tersebut mengada ada dan berpotensi mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan UU Ciptaker tidak menghilangkan bagian dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Cuti Menstruasi dan Hamil. Akan tetapi muatan mengenai upah per jam menghilangkan sifat waktu cuti dan cuti melahirkan, karena pada saat pekerja sedang cuti, tidak secara otomatis terhitung sebagai pekerjaan, sehingga mereka tidak menerima gaji upah. Maka, dengan adanya kebijakan tersebut, waktu dan tenaga perempuan akan benar-benar tereksploitasi.

Belum lagi jika perempuan bekerja di sektor informal yang  tidak ada kepastian hak di dalam hukum. Dari semua itu, perempuan adalah pihak yang paling terdampak. Menjadi penting, mengingat haid dan melahirkan merupakan bawaan biologis perempuan yang tidak mungkin dihilangkan dan disamakan dengan biologis pekerja laki- laki.

Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani menegaskan, UU Ciptaker sama sekali tidak memberi perlindungan hukum pada pekerja migran perempuan Indonesia (PMI). Padahal, PMI–yang jumlahnya dominan–tetap berada pada posisi rentan. Misalnya, masih ada sulitnya akses layanan kesehatan, kondisi kerja yang buruk, tingginya angka kekerasan, hingga munculnya rekrutmen ilegal.

Perppu Ciptaker tidak memasukkan pasal di mana hak-hak pekerja perempuan, ketika cuti haid dan melahirkan. Sebaliknya, hak-hak tersebut diabadikan dengan penjelasan bahwa perlindungan atas hak-hak tersebut dapat dimasukkan dalam kontrak kerja. Ini dianggap lemah dan merugikan perempuan pekerja. Sudah lama menjadi kekhawatiran, bahwa hak-hak pekerja justru dijamin melalui adanya peraturan yang mengikat. Tidak hanya tertarik pada kepentingan investor yang menanam benih di Indonesia

Di mana ada kemungkinan pengusaha tidak mencantumkan hak-hak tersebut. Dan di masa mendatang, hal ini tidak dapat lagi digugat secara hukum. Ini bukti bahwa pemerintah masih mengabaikan pengalaman biologis perempuan. Pembentukan aturan harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk pekerja atau masyarakat yang akan terkena dampak. Terutama perempuan yang membutuhkan kebijakan dan fasilitas khusus untuk menjalani masa pengalaman biologisnya.

Namun, dalam UU Ciptaker, alih-alih memfasilitasi hak dan kebutuhan khusus pekerja perempuan, justru tidak mencantumkan kepastian hak dan perlindungan hukum perempuan dalam pengalaman reproduksi.  Seolah UU Ciptaker hanya fleksibel dan memudahkan para pemodal dan ranah investasi tanpa memperhatikan kepentingan pekerjanya. Pemerintah hanya menyediakan lapangan pekerjaan tanpa memperhatikan kualitas tenaga kerja dengan mendukung perlindungan hak hukum untuk kebutuhan tenaga kerja.

Hal ini menunjukkan bahwa logika yang pemerintah pakai dalam membentuk UU Ciptaker adalah logika dalam sistem kerja produksi patriarki, di mana kerja reproduksi tak mereka anggap sebagai kerja yang menopang produksi kapital. Hak kepastian hukum perempuan dianggap mengganggu fleksibilitas kerja produksi kapital.

Jika melihat tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan yang sering Dr. Nur Rofiah sampaikan dalam materi ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), pemerintah saat ini masih dalam level menengah tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan. Di mana kemanusiaan perempuan hanya pemerintah akui sebagian, yakni hanya pada hal-hal yang sama dengan laki-laki. Pengalaman dan kondisi khas perempuan belum pemerintah anggap bagian dari kemanusiaan perempuan. Di mana kemanusiaan biologis perempuan hanya mereka akui sebagian saja. Pengalaman biologis  perempuan seperti haid dan melahirkan tidak pemerintah anggap sebagai bagian dari kemanusiaan perempuan. Contohnya dalam hal ini adalah menstruasi, melahirkan, dan pengalaman biologis lainnya hanya problem keperempuanannya perempuan. Sehingga cuti khusus atau izin yang menyangkut pengalaman biologis perempuan tidak disertakan perlindungan hak  dan kepastian hukum dalam UU Ciptaker.

Hal ini menandakan bahwa pemerintah abai terhadap kemanusiaan biologis perempuan dan agaknya masih sangat jauh untuk bisa mencapai level tertinggi kemanusiaan perempuan.  Buruh perempuan menyatakan menolak UU Ciptaker yang hanya memberikan pelayanan kepada borjuis komperador dan tuan tanah sebagai agen kapitalis asing di dalam negeri. Meminta agar dihapuskannya pola militerisme, memberikan kepastian hukum dan diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat. Mendorong Indonesia ramah gender dengan menciptakan hak kepastian hukum dalam lingkungan pekerja.

Bagikan
Exit mobile version