Site icon Inspirasi Muslimah

Tidak Jadi Pahlawan

mangga

Pada satu sore di suatu hari yang biasa lapangan sepi tidak biasa, hanya ada sepuluh anak yang bermain petak umpet biasanya lebih dari sekodi mereka memenuhi lapangan; ada yang bermain sepakbola, petak-umpet, lompat tali atau hanya sekedar lari-larian tak jelas. Begitulah mereka, anak-anak, selalu gembira tanpa memerlukan alasan.

Lapangan itu adalah lapangan umum milik seluruh warga. Orang dewasa juga sering melakukan kegiatan olahraga di sana, perlombaan tujuh belas Agustus, pengajian akbar, terkadang ada orang yang melangsungkan pernikahan, pemilihan kepala daerah juga, kepala desa sampai kepala negara. Lapangan itu serbaguna.

Lalu di lapangan mana sebagian anak-anak yang biasa bermain? Di kampung itu hanya ada satu lapang. Tak ada lagi. Jika tidak ada di lapang, pun di rumah demikian. Di mana anak-anak itu berada? Ternyata mereka sedang berkerumun di depan pohon mangga yang luar biasa besar.  

Pohon mangga itu keramat. Tak ada satu orang pun di kampung itu yang pernah merasakannya. Entah bagaimana ceritanya, Pak Karun, si pemilik pohon itu selalu berhasil melenyapkan buah-buah mangga itu dengan seketika. Pertama kali, orang-orang di kampung membicarakannya. Seolah-olah ada kekuatan ghaib yang disembunyikan oleh Pak Karun dengan buah mangga itu. Semua warga mencurigainya.

Waktu berlalu, warga kampung menjadi terbiasa dengan kejadian itu. Tapi tidak dengan anak-anak. Mereka selalu ingin tahu.

“Apakah kau pernah merasakan buah mangga itu?”

“Belum. Dalam mimpi mungkin pernah.”

“Kenapa mimpi?”

“Karena kita tak mampu membelinya. Harga satu buah mangga itu sama dengan satu bulan iuran SPP kita”

“Masa semahal itu?”

“Wahhhh, pasti rasanya selangit!”

Mereka mematung disihir oleh kekuatan mistis buah mangga yang menggelantung pada ranting-ranting yang kokoh. Kilatan cahaya matahari senja memantulkan kesegaran dari buah itu hingga turun ke setiap air liur anak. Setiap dari mereka sudah memakannya dalam angan, nyatanya mereka hanya meneguk air liur pahit milik sendiri tanpa ada rasa buah, rasa manis, rasa segar.

Satu anak dengan semangat berkata, “Aku harus mencobanya. Apapun yang terjadi.”

“Tapi bagaimana caranya?” Yang lain bertanya dengan heran.

“Aku akan memanjat pohon itu dan mengambilnya”

“Tanpa memberitahu Pak Karun?” Anak dari belakang menanyakan dengan nada tidak setuju, “Itu namanya mencuri!”

“Ya. Hanya itulah satu-satunya jalan.”

“Tapi bagaimana kalau kita ketahuan. Kita akan di bawa ke kantor polisi. Di penjara. Kita bakal dikeluarkan dari sekolah.”

“Dasar pengecut!”

Anak yang tadi dibilang pengecut kemudian mundur ke belakang memasang muka kecut.

“Aku berani.” Kata seorang anak membuat situasi mendadak berubah. Tanpa perlu panjang lebar lagi, akhirnya mereka serempak setuju untuk mencuri. Tinggal membuat sebuah perencanaan. Satu orang anak yang tadi bilang berani menjadi komandan. Ia menjelaskan rencananya. Semua anak-anak manggut-manggut.

Tiga puluh menit kemudian

“Hore! Hore! Kita berhasil” tawa kemenangan seluruh anak membahana. Semua anak memakan buah mangga hasil curiannya dengan lahap di sebuah tempat yang lumayan jauh dari tempat pohon mangga itu berdiri, mulut mereka tidak bisa membahasakan bagaimana rasanya.

Sepuluh menit kemudian, ketika mereka sedang menikmati buat tersebut. Seorang anak datang tergopoh-gopoh panik, seperti setan sedang mengejarnya. “Pak Karun datang. Kita ketahuan! Ayo kemasi semua buahnya!”

Secepat kilat, Pak Karun sudah ada di hadapan mereka. Sekalipun semua mangga sudah tersembunyi situasi berubah jadi mencekam, tegang, hening, detak jantung setiap anak terdengar ke seluruh pelosok dunia. Mata Pak Karun menatap semua anak dengan tajam. Pak Karun menghampiri, memandangi mereka satu persatu yang sedang berdiri kaku. Keringat dingin, panas keluar berebutan.

Keadaan pecah ketika Pak Karun berteriak. 

“Jadi siapa di antara kalian yang mau mengaku?” semua diam seolah-olah lupa bahwa mereka bisa berbicara.

“Saya tanya sekali lagi siapa yang mencuri?” Pertanyaan kedua, malah membuat batin anak-anak kian sunyi tak berada di raganya lagi.

“Baiklah, kalau tidak ada yang mengaku, saya akan memberitahukan kepada orang tua kalian. Bukan itu saja, kalian semua akan saya laporkan ke Polisi kemudian akan dimasukan penjara! Karena sudah mencuri.”

Sesaat hening.

Tiba-tiba seorang anak yang disebut pengecut tadi, terbata-bata berkata, “Saya Pak, yang mencurinya.” Pak Karun langsung melirik.

Dan seolah ada kekuatan magis, dengan tenang anak itu melanjutkan perkataannya, “Ya Pak, saya pencurinya.”

Kemudian anak itu menoleh ke teman-temannya, dengan sebuah sorot mata ajakan, penuh kebajikan, meminta agar mereka mengakui perbuatan tercelanya itu.

“Ayo teman, berkatalah jujur, kita tidak bakalan apa-apa. Katakan kebenaran sekalipun pahit.”

Ternyata cara anak itu berhasil, satu persatu mulai bicara, anak yang disebut berani yang pertama kali bicara, “Ya, Pak Karun. Dia orangnya. Dia pencurinya.” Disusul dengan yang lain. “Betul pak tak salah lagi dia yang mencurinya” Dan yang lain. “Benar Pak dia sudah merencanakan sejak lama.

Dengan serempak semua anak berkata, “Benar Pak dialah Pencurinya! Kami hanya di hasut.” Ucap semua anak dengan telunjuk yang menunjuk anak pengecut yang mengatakan kebenaran. 

Bagikan
Exit mobile version