Site icon Inspirasi Muslimah

Surat untuk Kartini: Perbandingan Masa lalu dan Masa Kini

kartini

Siang yang terik. Panas sekali seperti suasana perpolitikan saat ini. Media dipenuhi obrolan Fufufafa, Pilkada, dan manuver-manuver para politisi. Ah, aku tidak mau ambil pusing, Ni, persoalan itu. Mending aku dolan ke rumah Bapak Kabut yang sejuk. Pukul 10 aku sampai. Ada teh, kerupuk, dan obrolan.

Aku memberikan telinga dan mata. Obrolan kali ini menyoal surat-menyurat. Aktivitas yang sudah masuk golongan langka. Di masamu, mungkin menemukan surat semudah menatap pohon. Di zamanku, surat nyaris hilang. Peradaban komunikasi kami berputar pada suara dan pesan kilat. Memudahkan, tapi belum tentu menyenangkan.

Mungkin orang-orang di zamanmu menulis dengan perenungan dan penghayatan yang berlimpah. Pertukaran kabar dan cerita melibatkan banyak perasaan: senang, sedih, cemas, berharap,  dan khawatir. Sekarang, jarak dan waktu seperti hilang, kami saling bertukar pesan tapi kering kerontang soal perasaan.

Ni, apakah kehidupan seperti itu yang dikehendaki oleh orang-orang yang meneriakkan kemajuan? Apakah yang layak dijalani adalah  hidup  serba cepat, ketat, dan teratur macam itu? Dugaanku, kalau memang demikian, aku pasti langsung ditendang sejak seleksi awal. Lihat saja sekarang, aku malah menikmati omong-omongan dengan teman dan ngeteh di jam-jam yang kata banyak orang produktif untuk bekerja.

Yah, beginilah jalan yang kupilih. Waktu itu, aku pernah mencoba bekerja di depan komputer pagi hingga sore, Senin sampai Sabtu di salah satu kantor. Rasanya umurku akan pendek, aku akan lekas mampus. Bekerja seperti itu, membuat kepalaku seperti ditindih kayu gelondongan.

Aku lekas mengundurkan diri, Ni. Tidak tahan. Mending aku bekerja yang normal-normal saja, melibatkan banyak omongan, telinga, dan kaki. Aku bahkan sempat berpikir lebih baik jadi tukang isah-isah di warung makan, ketimbang bekerja seperti robot. Eh, tapi itu hanya pendapat pribadiku saja, loh. Kalau ada yang tahan bekerja di kantor sepanjang hidup dan tidak mati-mati ya syukur alhamdulilah. Mungkin dia terpilih menjadi manusia super.

Ni, jika kamu berada di zamanku, apa yang akan kamu katakan? Apakah kamu lebih menyukai zaman serba canggih dan cepat ini, atau sebaliknya? Coba nanti berikan tanggapanmu dalam balasan surat ini.

Dulu, ketika telepon mulai masuk di daerah Jawa, kamu kan salah satu orang yang menyambutnya dengan heboh. Kamu membayangkan bisa berkomunikasi dengan orang lain lewat jarak jauh dalam waktu singkat, kamu memikirkan efektifitas dan efisiensi dari kemajuan itu.

Iya, aku tentu paham dengan perasaan itu, Ni, apalagi kamu memang selalu haus untuk meneguk beragam informasi. Tapi, percayalah, Ni, rasanya aku malah ingin kembali ke zamanmu. Meski tidak mungkin, tapi aku tetap membayangkan bisa hidup di masa itu. Suasananya yang aku dambakan.

Kami kehabisan cerita dan nyaris tidak punya banyak kenangan untuk dikisahkan pada anak cucuk kelak. Semua serba cepat, instan, dan mudah. Dari mulai mengirim pesan sampai urusan buang hajat. Dulu, untuk persoalan terakhir itu, kakek nenekku punya setumpuk cerita yang melibatkan banyak hal: kali, sungai, pepohonan, angin, sumur, kebun, tanah, sawah, hingga ular. Sekarang, duh Gusti, cerita soal buang hajat hanya menyisakan satu cerita: klik. Dan ini terjadi di banyak aktivitas lain.

Katanya, manusia atau bahasa menterengnya homo sapiens bisa hidup paling lama dibanding spesies lain karena kemampuannya bercerita. Itu aku temui di buku Sapiens (2011) milik Yuval Noah Harari. Salah satu kutipan kalimatnya kira-kira begini: “ Tidak ada Tuhan, tidak ada negara, tidak ada uang, dan tidak ada hak asasi manusia, kecuali dalam imajinasi kolektif kita.” Jadi, mungkin kemampuan manusia meneruskan, membuat, dan merangkai cerita hingga menjadi imajinasi berjamaah, adalah kekuatan paling dahsyat di muka bumi ini.

Sayang seribu sayang, kami jadi gagap urusan cerita apalagi soal imajinasi, Ni. Jangan-jangan, nanti atas nama kemajuan teknologi, ada formula semacam ramuan untuk menumbuhkan imajinasi dalam tubuh manusia tanpa perlu susah payah bergulat dengan beragam peristiwa. Ah, ngeri sekali kalau benar-benar terjadi. Kesenjangan kualitas manusia pasti akan terjadi antara si kaya dan si miskin.

Eh ngomong-ngomong soal formula semacam ramuan itu, aku pernah nonton film berjudul Spiderhead (2022) garapan Joseph Kosinski. Dibintangi Chris Hemswoth. Laki-laki paling ganteng se-jagat raya. Ah, dia tipeku banget, Ni, tampan, gagah, cool dan seksi sekali. Nanti aku selipkan selembar fotonya. Aku yakin, kali ini kamu akan ikut mengangguk dan mesem-mesem melihat rupanya. Ah, dasar mas-mas Barat yang meresahkan.

Kembali ke Film, sinema itu mengisahkan penelitian menyoal obat-obat yang secara spontan bisa membuat manusia menjadi bahagia, marah, sedih, berhasrat, dan bersemangat tanpa pemicu. Barangkali, diluar sana benar-benar ada ilmuwan yang serius menekuni riset itu. Ah, ngeri sekaligus takjub.

Nah, sekarang mari kita bayangkan, teknologi-teknologi canggih yang menghujani peradaban manusia kini, banyak memangkas cerita-cerita. Manusia jadi wegah pada yang capek, ribet, dan lama. Ditambah  lagi, penelitian-penelitian juga kerap meneraabas moralitas dan dipakai demi kepentingan tertentu. Ah, aku berharap bisa menceritakan banyak perkara kemajuan teknologi di abad ini, Ni, tapi aku harus lekas menjemput teman di stasiun.

Tadi malam, ia mengabarkan ingin dolan ke kosku, katanya kesepian di Yogyakarta. Nah, itulah yang memang banyak terjadi pada generasi masa kini: Kesepian. Teknologi tidak bisa mengisi ruang itu. Maka, sebisa mungkin kami tetap berusaha terhubung dengan manusia asli yang bisa disentuh dan tercium kentutnya. Pengalaman virtual tidak bisa melegakan rasa haus yang abadi pada jiwa manusia. Sepertinya begitu.

Kutungguh buah dari mulutmu. Salam hangat dariku, Yulita.

Bagikan
Exit mobile version