Site icon Inspirasi Muslimah

Sembuh dengan Buku

buku

Sinopsis Buku Kenangan Tak Terucap; Saya, Ayah, dan Tragedi 1965

Nani Nurrachman Sutojo adalah anak dari seorang jendral yang terbunuh pada tragedi 1965. Dalam buku berjudul Kenangan Tak Terucap; Saya, Ayah, dan Tragedi 1965, Nani menceritakan secara detail pengalaman hidup dramatis yang ia alami sebelum dan sepeninggal ayahnya.

Pada usia dua tahun Nani ditinggal wafat oleh ibunya. Kehilangan sosok ibu menjadikan ia merasakan masa kecil yang tidak sepenuhnya. Sosok pengganti ibu yang sangat menyayanginya tidak bisa mengembalikan masa kecilnya itu.

Brigjen Sutoyo baginya ialah sosok ayah yang menjadi pendidik. Melalui ayahnya ia banyak belajar tentang kehidupan, pendidikan, juga kedisiplinan. Tak lupa ayahnya juga mengenalkannya kepada buku, sehingga banyak sekali buku-buku yang telah ia jelajahi. Tak sekedar membacanya, namun buku-buku itu telah membentuk kepribadian Nani serta berperan besar dalam jalan hidupnya.

Dalam buku ini, ia menceritakan banyak sekali sosok ayahnya, bukan sebagai seorang militer negara tapi sebagai seorang ayah. Nani sangat mengagumi sosok ayahnya, bahkan Nani memiliki banyak kesamaan dengan ayahnya.

Suatu hari terjadi konflik antara ia dengan ayahnya. Kejadian ini bermula dari mesin tik yang tidak ditutup setelah dipakai. Sutojo menuduh Nani sehingga mereka tidak saling bicara. Kejadian yang nantinya menjadi muara penyesalan bagi Nani yang tak sempat menyelesaikan konflik ini.

Malam itu, 30 September 1965 di rumah Sutojo kegaduhan terjadi. Suasana sangat mencekam, barang-barang di dalam rumah hancur berserakan, semuanya terdiam dalam ketakutan. Sutujo dibawa oleh pasukan yang mengaku sebagai pengawal Presiden Soekarno (Cakrabirawa) pada malam itu. Kecemasan yang terjadi sejak malam itu berakhir dengan berita ditemukannya Sutojo bersama jendral lainnya di dalam sumur kawasan Lubang Buaya pada tanggal 4 Oktober 1965.

Kesedihan meliputi keluarga Nani, namun tak kunjung juga mereka mendapatkan kejelasan atas tragedi subuh itu. Hari-hari yang suram itu mereka jalani dengan kesibukan bersekolah dan lainnya. Sampai akhirnya ketiga anak Sutojo menempuh pendidikan tinggi. Nani mengambil jurusan psikologi di Universitas Indonesia.

Ternyata, cobaan belum berhenti. Tidak cukup kehilangan ayah dan ibu kandungnya, Nani juga harus kehilangan adiknya yang mengidap penyakit Sirosis ketika ia masih di bangku kuliah. Bahkan, selanjutnya Nani pun mengidap penyakit kanker payudara saat ia telah berkeluarga. Nani telah mengalami segala efek kejiwaan yang mungkin disebabkan oleh trauma masa lalu. Ia mengidap depresi, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan insomnia yang akhirnya semua itu menggerogoti daya tahan tubuhnya.

Kedukaan dan trauma digambarkan sangat rinci dalam buku ini. Disebutkan dalam buku ini Nani membutuhkan rentang waktu 22 tahun untuk berdamai dengan masa lalu yang traumatis. Di masa-masa sakit kanker itu justru membawa Nani semakin baik secara psikologis.

Masa-masa sulit itu tidak memupuskan kegandrungannya yang tinggi pada buku . “kepada buku-bukulah saya melarikan diri” ucapnya. Banyak buku yang sudah ia jajahi untuk menemaninya di masa-masa suram itu. Selain itu, Nani juga menyadari bahwa pengasuhan yang ayahnya berikan menjadi bekal baginya dalam menjalani hidup yang traumatik itu.

Nani banyak merenungkan segala yang terjadi di hidupnya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai tertata. Sampai ia sadar bahwa tidak seharusnya mengasihani nasib yang menimpa diri. Tuhan telah menetapkan semuanya, setiap manusia masing-masing dengan cobaannya. Ia telah sadar bahwa sampai detik itu ia mampu bertahan di tengah coba yang menimpa.

Sembuh dengan Buku

Ketika membaca judul buku ini, pasti yang kita bayangkan adalah buku sejarah. Namun ini bukan sekedar buku sejarah, pembahasan tentang gejolak batin, kondisi psikologis, dan traumatis lebih dominan dimunculkan. Selanjutnya, Nani juga membagikan jalan yang ia lalui dalam proses penyembuhan atas sakit dan traumanya.

Dari buku Nani kita sadar bahwa ternyata sedahsyat itu buku mengotak-atik pemikiran. Nani bersama bukunya telah berhasil melewati masa traumanya. Puluhan bahkan mungkin ratusan buku telah ia jajahi dalam masa-masa suramnya. Buku-buku itu menjadi tempat pelarian bagi Nani hingga akhirnya ia menemukan sembuhnya.

Meskipun buku bukan satu-satunya obat, namun buku berperan besar pada kesembuhan traumatis Nani. Namun, berkali-kali dalam buku ini Nani menyebutkan perihal kegilaannya terhadap buku. Dari luasnya pemikiran Nani akhirnya ia sampai pada titik yang ia namai breakthrough.

Dalam bukunya ia tuliskan “Tidak perlu mengasihani diri sendiri, abaikan rasa iba atas nasib yang menimpa, tentukan sikap yang lebih mantap dan positif terhadap hidup. Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri. Hasilnya adalah “…sudah reda, tenang dan benderang dalam dada,” meminjam kata-kata dari surat Kartini yang dialihbahasakan oleh Armijn Pane.”

Setelah membaca buku ini, selayaknya kita yang sedang di masa-masa berat mampu bangkit selayaknya Nani. Menjadikan buku sebagai obat menjadi salah satu pilihan terbaik. Kesehatan psikologis maupun fisik berasal dari ketenangan berpikir. Membaca buku yang tepat akan memunculkan ketenangan itu. Selamat mencoba!

Bagikan
Exit mobile version