Site icon Inspirasi Muslimah

Seharusnya, Perayaan Idulfitri Tidak Membebani

idulfitri

Apa persiapan anda menyambut Idulfitri tahun ini? Mungkin, sebagian dari anda sibuk membuat kue, mengatur rencana silaturahmi, menyiapkan seragam yang akan dipakai, menukarkan uang, atau bermacam kegiatan spesifik lain yang hanya dikerjakan menjelang lebaran.

Kegiatan-kegiatan itu akan bisa dilakukan jika kita memang memiliki kemampuan untuk mewujudkannya. Tapi, bagaimana bila suatu saat kita tidak berkemampuan lagi secara fisik, mental, maupun finansial?

Apakah kita akan merasa terbebani menyambut Idulfitri karena merasa tak berkemampuan menjalankan rutinitas itu? Siapkah kita untuk mengurangi sebagian atau bahkan mungkin menghilangkan seluruh kegiatan itu?

Waktu masih kanak-kanak, saya selalu gembira menyambut Idulfitri. Tentu saja saya belum peduli apa makna lebaran saat itu. Saya hanya merasa lebaran lah waktunya saya memakai baju baru, bertemu sepupu sepermainan, makan ketupat seharian, dan memiliki berlembar-lembar uang THR.

Menodai Kegembiraan Lebaran

Beranjak dewasa, saya mulai merasa kehilangan sedikit kegembiraan itu. Selain merayakan kemenangan berpuasa, rutinitas di hari raya seperti bertemu saudara, atau mencoba beragam makanan, bisa dibilang masih membahagiakan saya. Tapi, ada beberapa hal yang justru terasa menodai perayaan sakral ini.

Saya merasa, tidak jarang Idulfitri justru difokuskan pada hal-hal yang bersifat duniawi. Ya, kita memang bersilaturahmi. Tapi, tanpa sadar momen itu justru menjadi ajang pamer apa yang kita miliki; baju bersutra mahal, mobil keluaran terbaru, sampai berapa lembar THR yang kita bagikan.

Belum lagi pertanyaan-pertanyaan seperti ‘kapan menikah’, atau ‘kok belum punya anak’, dan sejenisnya yang tak berujung. Hal ini seakan menjadi prosesi basa-basi yang tidak pernah absen. Tak dipungkiri, akan selalu ada pihak yang menanyakannya, dan akan selalu ada pihak yang tersakiti hatinya.

Saya pernah menjadi pihak yang tersakiti. Kegembiraan saya berlebaran pun ternodai oleh hal-hal yang sebenarnya remeh, namun terasa begitu mengganggu. Pernah ada masa ketika akhirnya saya pun jadi merasa “berat” menyambut hari suci ini.

Benak saya penuh tanda tanya; penuh keresahan. Momen silaturahmi pada saat Idulfitri sejatinya untuk meminta maaf secara langsung, kan? Untuk menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan rekan dan kerabat, kan? Haruskah perayaan ini justru menjadi ajang riya’ dan saling menyakiti?

Saya pun bertanya-tanya, bagaimana sebaiknya Idul Fitri ini dirayakan? Bukankah perayaan ini seharusnya membuat saya bergembira, menunggu-nunggu kedatangannya, dan bukannya malah sebaliknya merasa terbebani?

Apakah di perayaan Idulfitri saya memang tidak punya pilihan kecuali mengabaikan perasaan tertekan saya, dan bersiap diri saja menghadapinya? Tapi saya pun tak bisa “melarikan diri” dari perayaan ini, kan? Apalagi, semakin lama rutinitas itu justru menjadi kewajiban yang harus dipenuhi.

Teman saya, seorang karyawan level staf biasa, mengamininya. Ia pernah cemas memikirkan biaya yang harus dipersiapkan menyambut lebaran. Untuk menjumpai orang tuanya, tidak hanya ada biaya transportasi untuknya, suami dan kedua anaknya, tapi juga biaya di perjalanan, sampai oleh-oleh apa yang dibawa.

Belum lagi, ia pun harus mempersiapkan biaya hidup mereka selama di kampung, dan “salam tempel” untuk para adik dan keponakan. Jika ia memutuskan untuk pulang kampung, hal-hal tersebut tidak mungkin diabaikannya.

Sementara, gaji yang diterimanya selama ini juga tidak pernah berlebih. Dengan keterbatasan finansialnya, bisakah ia mengeliminasi rutinitas-rutinitas menjelang lebaran itu? Kalaupun ia memutuskan untuk pulang kampung, mungkinkah ia tidak membawa oleh-oleh, atau meniadakan THR untuk adik dan keponakannya?

Sebagai seorang wiraswasta, saya pun pernah mengalami kecemasan kala belum bisa membagikan THR karyawan. Saat itu, pemasukan dari hasil usaha masih terimbas pandemi yang belum sepenuhnya pulih. Padahal, tenggat waktu pembagian THR sudah “mengejar” saya.

Saat itu, hari-hari menjelang Idulfitri pun hanya bisa saya “isi” dengan rasa cemas dan khawatir memikirkan hal ini. Bagaimana saya bisa berbahagia membayangkan Idulfitri nanti, jika hari-hari ‘menuju kemenangan’ itu justru membuat saya tersiksa?

Alih-alih berkonsentrasi ibadah, kecemasan-kecemasan terkait finansial itu justru menjadi momok menyambut Idul Fitri. Saya tidak bisa mengabaikannya. Rutinitas-rutinitas seperti pulang kampung dan THR itu sudah begitu membudaya, membuat kita merasa “tidak enak” jika tidak melakukannya.

Kembali ke pertanyaan saya sebelumnya, bagaimana sebaiknya Idulfitri dirayakan? Saya pernah membaca sebuah khotbah terkait hal ini. Jika puasa Ramadan melatih kita untuk ikut merasakan penderitaan orang lain, maka Idul Fitri seharusnya menjadi momen kematangan empati kita sebagai seorang Muslim.

Menjaga Konsistensi Ibadah

Esensi dari hari raya Idul Fitri adalah sejauh mana kita mampu menjaga konsistensi ibadah kepada Allah, dan berbuat baik terhadap sesama manusia. Dan berbagi pada saudara yang kekurangan, adalah salah satu bentuk pengamalan yang bisa dilakukan.

Saya memaknai isi khotbah tersebut seperti ini. Pertama, saya meyakini hakikat puasa Ramadhan tidak sekadar menahan lapar dan haus. Puasa Ramadan justru menuntut kita untuk memperbaiki diri dengan menjaga lisan, melatih kesabaran, atau menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama.

Dan Idul Fitri tidak sepatutnya menjadi momen kebebasan untuk kembali ke diri kita yang sebelumnya. Diri kita yang mudah emosi, senang menyinggung perasaan orang yang tidak kita sukai, atau melakukan kegiatan-kegiatan yang kita tahu tidak dianjurkan agama.

Kedua, terkait rutinitas-rutinitas yang kita lakukan ketika menyambut Idulfitri seperti contohnya THR. Bisa jadi, pada awalnya THR adalah suatu bentuk berbagi pada saudara yang kekurangan. Namun, ada batas halus yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kondisi riya’ jika tidak hati-hati melakukannya.

Saya menyadari bahwa Idulfitri sejatinya menjadi salah satu momen berharga dalam hidup seorang Muslim. Saya ingin selalu merindukannya, menantikan kehadirannya, tanpa perlu merasa terbebani dengan tradisi-tradisi yang mengikutinya. Semoga saja kali ini saya dan anda, bisa melakukannya.

Bagikan
Exit mobile version