Site icon Inspirasi Muslimah

Rumitnya Merawat Orang Tua, Aku Kudu Piye?

merawat orang tua

Beberapa hari yang lalu di sebuah warung kopi (warkop) saya bertemu seorang kawan yang sudah menikah dan baru saja punya momongan. Ya seperti pada umumnya orang Indonesia, warkop adalah tempat rasan-rasan yang paling strategis. Tempat paling setia menerima kegelisahan hidup orang Indonesia ditemani secangkir kopi dan sebat-sebat tipis.

Lamat-lamat sebelum kawan saya datang, saya mengamati berbagai ekspresi para pecandu warkop. Beberapa di antara mereka sibuk memandangi HP sambil pencet-pencet tombol “spin” berharap berkah kakek merah. Aplikasi judi online yang menjadi semacam bantuan langsung tunai (BLT) di tengah himpitan ekonomi yang sulit.

Beberapa yang lain, sibuk ngobrol ngalor-ngidul menceritakan kepedihan hidup masing-masing. Pernah saya jumpai tiga orang paruh baya ndakik-ndakik cerita hidup masing-masing. Satu mengeluhkan sedang banyak hutang, orang kedua sambat sering dimarahin istri, dan orang ketiga merasa nelongso karena harus merawat mertua sekaligus orang tuanya sendiri. Semacam kontes adu nasib. Semakin buruk nasib, semakin layak untuk diperhatikan kadang juga ditertawakan. Wkwkwk

Kawan saya kemudian tiba, kerutan terus menempel di jidatnya yang lebar sejak memarkir motornya hingga kopi pesanannya tiba. Kombinasi warna mata yang seharusnya hitam dan putih, saya lihat malah diisi warna hitam dan merah. Pertanda jam tidurnya buruk dan tentu saja hidupnya sedang tak baik-baik saja.

Kopi yang dipesannya datang dan langsung dituang di atas lepek putih yang menjadi alas kopinya. Sruputannya terdengar dalam srrruppppppptttt, akhhhhhhhh. Seperti sedang menghirup udara dalam-dalam, ditahan, lalu dilepas perlahan. Sebuah upaya lahir untuk menenangkan batinnya yang sedang bergejolak.

Rokok dalam sakunya dikeluarkan, tersisa satu lalu diambil dan dinyalakan. Bungkus rokok diremas-remas kuat lalu dilempar di atas meja. Ia lalu melempar pertanyaan, “Aku kudu piye ya? Kondisi keuanganku hanya cukup untuk makan sehari-hari, bapak & ibu ndak ada yang merawat, saudara-saudaraku cuek bebek. Lah kok, kondisi mertuaku persis kondisi orang tuaku. Abot tenan uripku iki.

Dalam kondisi seperti ini, sebagai kawan yang baik, jawaban atas keluh kesahnya bukan memberi nasihat bak pemuka agama di atas mimbar. Memberi wejangan untuk sabar, neriman, lalu berdoa semoga Tuhan memberkatimu dan mengelus-ngelus kerutan di jidatnya. Itu bukan solusi tepat di momen seperti ini. Akhirnya saya biarkan saja dia terus bercerita.

Di tengah ceritanya yang panjang kali lebar dan njelimet, ada kasus yang jamak dirasakan anak zaman sekarang tentang sulitnya merawat orang tua. Soal ekonomi iya, sulit, tapi ada kesulitan lain yaitu sikap orang tuanya rewel dan baperan. Mirip anak kecil katanya.

Pernah ia meminta bapaknya untuk berhenti bekerja karena kondisi fisik yang lemah, ndilalah disalahkan karena dikira menghalangi tugas utama laki-laki untuk menafkahi keluarga. Ngambek lah si bapak ini lalu memilih tetap bekerja. Singkat cerita si bapak ini kemudian jatuh sakit karena kelelahan bekerja. Di momen ini, kawan saya merasa ada kesempatan untuk mendoktrin sang bapak untuk hidup slow aja di rumah. Ehh… kena marah lagi karena sok nuturi orang tua.

Saya sendiri pernah mengalami keruwetan merawat orang tua macam kawan ini. Bahkan puluhan kali dengan berbagai metode komunikasi untuk meyakinkan orang tua agar hidup slow living aja. Tapi tetap saja gagal. Sampai-sampai saya merasa frustasi dan membiarkan saja keinginan orang tua.

Saya sampai beberapa kali merenung dan mencari alasan kenapa orang tua yang semakin tua, tingkat kengeyelannya makin tinggi. Belakangan saya temukan bahwa orang tua tetaplah orang tua yang melihat anaknya yang sudah dewasa sebagai anak yang masih kecil. Ya, secara medis kengeyelan orang tua bisa dimengerti karena penurunan fungsi kognitifnya dan gangguan kesehatan turut mempengaruhi mental dan perilakunya.

Dugaan saya, ada alasan lain yang disembunyikan orang tua kepada anaknya terkait kengeyelannya itu. Yaitu orang tua merasa sungkan merepotkan anaknya dan daya tawarnya sebagai orang tua yang selama ini selalu mengayomi anaknya mulai diragukan karena kondisinya yang semakin tua.

Baik bapak atau ibu, selama hidup anak-anaknya, mereka adalah garda terdepan dalam menepis segala problem kehidupan yang menghantam keluarga. Mulai dari urusan remeh hingga paling berat, orang tua adalah pejuang dalam menjamin kemerdekaan anak-anaknya. Agar mereka bisa merdeka banyak hal. Makan layak, hidup layak, pakaian layak, dan menyiapkan segala fasilitas untuk menunjang kehidupan anak-anaknya.

Tanpa terasa, daya survive orang tua yang panjang ini mulai mengendur karena digrogoti usia. Karena terbiasa menjadi ujung tombak kehidupan keluarga, jiwa dan raganya terbentuk sedemikian kuat dan kokoh. Namun mereka lupa, tak ada yang abadi dalam dunia ini. Pada akhirnya, beberapa orang tua yang ngeyelan ini terus memaksakan diri meladeni kebutuhan keluarga yang semakin banyak namun sumber daya mereka sangat terbatas. Ya, jebol dong.

Beberapa orang mengatakan, merawat orang tua adalah ladang pahala. Ya benar, tapi yang dinamakan ladang tidak melulu soal panen, ada kemarau di sana, ada hama di sana, dan gagal panen. Sepanjang 2022, sudah ada 40 warga yang menyerahkan orang tuanya yang lanjut usia untuk tinggal di Panti Sosial Griya Werdha, Surabaya, Jawa Timur. Alasannya beragam, mulai dari faktor ekonomi dan enggan merawat. Padahal kebanyakan panti yang menampung orang tua lansia adalah mereka yang terlantar dan tidak memiliki keluarga. Belum kasus-kasus yang lain yang tidak terekspos.

Saya tidak hendak mengatakan untuk stop merawat orang tua. Tentu tidak. Bisa-bisa saya jadi didapuk menjadi The Next Malin Kundang. Oh, no! Ampun pak-buk. Bahkan saya sendiri hingga saat ini masih setia merawat bapak & ibu. Bahkan saat bapak terkena serangan stroke di awal bulan 2023 lalu. Ditambah lagi orang tua saya sudah tidak memiliki pekerjaan. Ya bisa dibayangkan, selain tenaga dan pikiran, roda ekonomi juga harus terus diputar.

Merawat orang tua tidak bisa kita lakukan sendiri. Harus ada campur tangan pemerintah terkait ini. Bahwa faktanya masih banyak anak yang kuwalahan merawat orang tuanya sendiri. Dan itu mengguncang banyak sendi kehidupan si anak. Ya seperti sendi yang terus digoyang, bisa saja sehat jika goyangannya terukur, tapi kalau seperti ini kan goyangannya jadi tidak terukur. Yang ada sendi-sendi menjadi keropos, osteoporosis, bahkan patah tulang. Pemerintah tidak boleh membiarkan generasi-generasi penerus bangsa ini terus hidup dalam kegoncangan dan ketidakjelasan nasib karena merawat orang tua. Lah kalau nasib penerus bangsanya saja tidak jelas, bagaimana bangsanya?

Bagikan
Exit mobile version