Film Hati Suhita (2023) merupakan drama romantis Indonesia yang disutradarai oleh Archie Hekagery dan diproduksi oleh Starvision. Film ini berkisah tentang perjodohan di pesantren dan menggambarkan konflik perkawinan yang emosional dan menyentuh. Hati Suhita sendiri berkisah tentang seorang siswi Alina Suhita (Nadya Arina) yang resmi menjadi istri Gus Birru (Omar Daniel). Namun, ternyata pernikahan mereka hanya terjadi karena Gus Birru ingin memenuhi keinginan orang tuanya. Gus Birru mengaku tidak mencintai Alina dan merasa kasihan dengan pernikahan tersebut. Gus Birru sebenarnya telah memiliki pasangan sebelumnya. Dan setelah menikah dengan Suhita pun, Gus Birru masih berharap dan tetap ingin menikahi pacarnya yang bernama Rengganis.
Konflik terkait dengan perjodohan dan pernikahan yang dipaksakan digambarkan secara jelas dalam narasi film ini. Pada akhirnya, Alina harus menerima situasi dan kondisi tersebut dengan merahasiakan hubungan pernikahan yang dingin dengan Gus Birru. Pernikahan dingin ini terpaksa mereka lakukan. Hal tersebut karena Suhita dan Gus Birru mendapatkan amanah untuk memimpin pondok pesantren milik keluarga mereka.
Film Hati Suhita ini merupakan adaptasi dari novel karya Khila Anis yang mengeksplorasi peran dan kepribadian perempuan dalam masyarakat Indonesia. Sutradara Archie Hekagery membawakan sudut pandang baru tentang pernikahan yang mengedepankan pesan moral bahwa cinta sejati tetap bisa ditemukan. Meskipun harus menghadapi cobaan dari pihak ketiga. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut adalah perempuan cerdas dan kuat seperti Ratna Rengganis dan Suhita. Proses syuting dimulai pada 20 Agustus 2022 dan berlangsung selama 50 hari, dengan lokasi di berbagai kota antara lain Bogor, Kediri, Jakarta, Waduk Trenggalek, Ponorogo, Salatiga, Klaten, Jogja, dan Kudus.
Film ini memiliki isu yang menarik terkait dengan perempuan dan kepemimpinan. Perempuan di Indonesia dapat dikatakan masih terkungkung dengan sistem patriarki yang ada. Sistem patriarki adalah sistem sosial, budaya atau politik di mana laki-laki mendominasi hampir semua aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan, kekuasaan, kendali dan hak. Sistem ini memiliki hierarki gender yang menempatkan laki-laki pada posisi yang dianggap lebih unggul atau lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Hal ini tercermin dari dominasi laki-laki dalam posisi politik, ekonomi, dan sosial, sementara perempuan sering kali mempunyai akses terbatas terhadap kekuasaan atau bahkan tersingkir dari kekuasaan.
Peran gender yang ditentukan secara tradisional, ketidaksetaraan dalam hak milik, dan kendali atas tubuh perempuan menjadi ciri sistem ini. Meskipun patriarki sering kali kuat, terdapat gerakan dan upaya untuk menentangnya dan menciptakan kesetaraan gender yang lebih baik di masyarakat. Organisasi perempuan, gerakan feminis dan kampanye hak-hak perempuan terlibat dalam perjuangan untuk mengubah dan menghilangkan kesenjangan ini. Pendobrakan terhadap sistem patriarki ini dapat digambarkan melalui narasi film Hati Suhita (2023).
Film ini berusaha mendobrak sistem patriarki yang ada melalui tokoh Suhita yang mampu untuk terjun ke ranah publik sebagai seorang pemimpin yang akan memimpin pesantren. Suhita dirasa mampu menjadi pemimpin dalam pesantren keluarganya karena memiliki kemampuan memimpin dan intelektual yang bagus. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang dianggap sebagai second sex jika meminjam konsep Simon de Beauvoir mampu menunjukkan eksistensialisnya. Perempuan mampu untuk keluar dari stereotip yang mengungkung dirinya untuk maju, independen, dan berkembang di ranah publik. Dengan demikian, perempuan mampu menunjukkan kesetaraan dalam hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat patriarki.
Kepemimpinan perempuan di pesantren, lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, semakin terlihat dan berimplikasi signifikan terhadap kepemimpinan pesantren. Meskipun pesantren sering dikenal dengan dominasi ulama laki-laki dalam kepemimpinan, tetapi beberapa pesantren telah mengakui pentingnya peran perempuan dari berbagai sudut pandang. Perempuan bisa menjadi guru dan pendidik di pesantren, membimbing mereka untuk memahami ajaran Islam dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, di beberapa pesantren yang lebih inklusif, perempuan dapat menduduki posisi kepemimpinan dalam administrasi pesantren. Bahkan sebagai pimpinan pesantren atau anggota dewan. Perempuan juga terlibat dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan seperti program bantuan masyarakat, pelatihan perempuan muda, dan pemberdayaan perempuan. Meski tantangan masih ada, perkembangan ini mencerminkan upaya pesantren dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan untuk berkontribusi pada dunia pesantren.
Kondisi perempuan dan kepemimpinannya di pesantren mampu untuk mendobrak sistem patriaki yang ada. Jika mungkin di antara kita berpendapat bahwa perempuan dilarang untuk terjun ke ranah publik dalam agama, ternyata pemikiran tersebut harus kita pertimbangkan kembali. Dalam Islam, terdapat beberapa kisah yang menceritakan kepemimpinan perempuan sehingga kita mampu mendapatkan gambaran perempuan dan kepemimpinan. Hal ini dibuktikan melalui Al-Quran surat An-Naml Ayat 23 yang menjelaskan kepemimpinan Ratu Balqis yang memerintah Kerajaan Saba (Yaman) pada masa Nabi Sulaiman AS (Umi, 2022).
Ratu Balqis merupakan contoh apa yang dilakukan Islam. Dengan kata lain, Islam tidak melarang perempuan mengambil peran kepemimpinan dalam masyarakat. Selain itu, Ratu Balqis menjadi sosok yang dapat dicontoh dan diteladani sikap kepemimpinannya. Hal ini dibukti dalam Al-Qur’an Surah An-Naml ayat 29-33 yang berbicara tentang sosok pemimpin perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan, demokratis, arif, dan mempunyai kemampuan intelektual dalam mempertimbangkan kebijakan negara berdasarkan kesejahteraan rakyat. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertimbangan matang untuk memilih perempuan sebagai pemimpin karena kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk kepentingan rakyat atau umat. Selain itu hal ini sesuai dengan prinsip yang selalu diulang-ulang dalam Islam yaitu “tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan pemimpin hendaknya didasarkan pada kepentingan umat) (Umi, 2022). Begitu pula dengan Hati Suhita (2023), film ini dapat dikatakan sebagai representasi perempuan untuk dijadikan sebagai pemimpin karena kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, perempuan mampu untuk memimpin tentunya dengan syariat Islam.
Editor: M Taufiq Ulinuha
Roma Kyo Kae Saniro merupakan seorang dosen di Universitas Andalas dan peneliti yang berfokus pada kajian gender dan perempuan. Media sosial Instagram romakyokaesaniro dan Twitter @romakyokaesa.