Site icon Inspirasi Muslimah

Program KB, Kenapa Harus Perempuan?

program KB

KB itu dilematis. Bila mengikuti program KB, ada saja efek samping yang kurang menyenangkan. Ada yang bertambah berat badannya, ada yang terlihat makin kurus kering, muncul flek di wajah, ada pula yang mengeluhkan menstruasi yang lebih lama. Namun jika nekat memutuskan tidak ikut KB, resikonya juga bikin deg-degan.  Baru tahun kemarin punya bayi, masa iya tahun ini mbelendung lagi. Saya pernah mengikuti saran seorang kawan, mencoba KB alami. Setelahnya, saya merasa sulit menjalani hidup yang tentram dan damai. Nggak bisa tenang. Merasa perlu sedia test pack di rumah. Sebentar-sebentar kepingin tes urine.

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah liputan tentang Balada Keluarga dengan Sebelas Anak. Dalam liputan tersebut, si ibu menyampaikan bahwa sebenarnya ia ingin mengikuti program KB. Namun sang ayah dari si ibu ini tidak memperbolehkannya dengan dalih pamali. Pun suaminya yang hanya memahami sebagian dari tujuan pernikahan yaitu untuk berkembang biak. Entah nanti bagaimana anak-anak mereka makan, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya dipikir belakangan. Dan sayangnya sang istri hanya bisa pasrah, sendhika dhawuh saja. Walhasil perkembangan anak-anaknya kurang optimal sebab kurang tercukupi kebutuhan pangannya. Ini baru masalah pangan, yang merupakan kebutuhan primer manusia, belum kebutuhan yang lainnya.

Sebenarnya bebas saja mau beranak berapapun jumlahnya. Dalam agamapun tidak ada aturan untuk membatasi jumlah keturunan. Namun harusnya kita bisa mengukur kapasitas diri. Mampu merencanakan segala sesuatu dengan menimbang resikonya sehingga tercipta keluarga yang sejahtera.

Seorang kawan juga memiliki kisah yang hampir mirip dengan kejadian di atas. Sudah sembilan kali ia mengalami kehamilan. Jarak usia anak-anaknya semua berdekatan. Ia pun pernah bercerita bahwa ia sebenarnya ingin mengikuti program KB, namun suaminya yang tidak mengizinkan. Saat saya bertanya, “Kenapa tidak boleh?” Entah benar adanya atau cuma bercanda, ia lalu menjawab, “Kata suami, daripada dunia ini dipenuhi oleh orang-orang China, lebih baik dipenuhi dengan orang muslim.”

Lha! Kenapa jadi bawa-bawa orang China segala? Hampir serupa dengan kalimat yang pernah saya baca pada komentar seseorang di sebuah media sosial, bahwa KB adalah produk Yahudi, yang tidak rela jumlah umat Islam di dunia terus bertambah. Terbukti jika selama ini pria masih minim edukasi terkait program KB.

Dinamika Psikologi Ibu

Tidak sedikit yang mengeluhkan perihal kebutuhan ekonomi. Kondisi kesehatan mental si ibu yang seharian menghabiskan waktunya untuk mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah pun menjadi curahan hati yang sering terdengar. Masak, makan, mandi, bahkan ketika ibadahpun terus dibuntuti oleh bocah. Belum lagi jika si ibu juga ikut bekerja membantu perekonomian keluarga. Hampir tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Mana bisa leyeh-leyeh sambil baca novel? Jangan heran jika perempuan  kadang tetiba uring-uringan tanpa sebab yang jelas.

Pernah seorang sahabat mbrebes mili mengeluhkan kondisi mentalnya. Aktivitas sebagai ibu pekerja sekaligus ibu lima anak dengan tiga masih usia balita membuatnya stres luar biasa. Ia bercerita sambil menangis menyesali telah menghajar dua balitanya yang terus saja ribut di kamar mandi. Kondisi lelah dan tak ada anggota keluarga yang bersedia membantu kerepotannya akhirnya membuatnya khilaf.

Setelah berbulan-bulan hamil, bertaruh nyawa saat melahirkan, menghadapi drama menyusui, dunia seakan menuntut perempuan untuk mengurus anak-anak dan aneka rupa pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Setelah melihat begitu banyak peran seorang ibu, kenapa tubuhnya harus menanggung resiko KB selama bertahun-tahun lamanya?

Program KB Tidak Hanya Untuk Perempuan Saja

BKKBN selama ini terkesan kurang serius melakukan sosialisasi KB kepada kaum pria. Data dari BKKBN tahun 2020 menunjukkan jumlah persentase pria yang mengikuti program KB hanya mencapai  3,62 persen. Jauh jika dibandingkan dengan jumlah keikutsertaan perempuan. Selama ini para pria hanyalah sekedar peserta KB pasif yang mendukung istrinya memakai alat kontrasepsi.

KB seolah hanya tanggung jawab wanita. Bidan atau kader KB tak bosan-bosan mewanti-wanti para istri agar mengikuti KB. Bahkan sampai door to door. Herannya mengapa para petugas KB hanya menyasar perempuan saja. Bila memang KB bertujuan untuk menekan laju perkembangan penduduk di Indonesia, alangkah lebih baik ketika kedua belah pihak diedukasi mengenai program KB. Sebab suami merupakan partner si istri dalam urusan reproduksi dan aktivitas seksual. Suami juga yang bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi terhadap keluarga.

Peluang bagi pihak suami untuk aktif mengikuti program KB relatif cukup besar. Pilihan alat kontrasepsi yang tersedia saat ini sudah beragam. Alat kontrasepsi yang murah dan mudah adalah kondom. Alternatif lainnya bisa memilih suntik KB untuk pria. Suntik KB pria ini berisi hormon testosteron sintesis dan progestin yang disuntikkan setiap 8 minggu sekali. Pilihan selanjutnya ada vasektomi. Tidak sedikit pria yang menghindari KB jenis ini. Selain karena harus melewati proses bedah kecil, kabarnya biayanya juga cukup mahal. Yang terbaru, ada gel Nestorone-Testosterone dan juga pil KB pria. Sayangnya, pemahaman pria mengenai informasi ini masih sangat minim. Sebabnya ya itu tadi, belum ada sosialisasi. Sampai kapan akan begini terus?

Editor: Nur Laila Oktavianingrum

Bagikan
Exit mobile version