Site icon Inspirasi Muslimah

Pikirin Dulu Sebelum Poligami!

poligami

Isa Annafi

Bukan hanya pada akhir akhir ini saja, pembicaraan mengenai wacana poligami sudah lama menjadi pembicaraan hangat oleh masyarakat umum khususnya pada umat Islam. Banyak yang menyoroti kebolehan poligami tanpa memandang lebih kritis mengenai kebolehannya, baik dari segi historis, sosiologis, dan antropologis. Kecenderungan pembolehan poligami hanya sebatas pembolehan laki-laki mengawini empat wanita sekaligus tanpa memandang syarat syarat yang secara eksplisit ada dalam al Qur’an. Allah berfirman dalam surat an Nisa’ ayat 3 yang artinya:

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Ayat tersebut memiliki asbabun nuzul saat situasi yang sangat genting pasca terjadinya perang uhud. Banyak kaum laki laki yang terbunuh yang menyebabkan banyak wanita menjanda yang memiliki peluang wanita-wanita tersebut akan menjadi budak bila tidak bersuami. Selain itu, banyak anak yatim yang berpeluang menjadi penyebab munculnya nafsu lelaki untuk menikahinya tanpa mahar dengan tujuan terselubung untuk menguasai harta warisan anak-anak tersebut. Di situlah al Quran turun dengan penuh keagungan yang tidak bisa banyak orang lihat. Yaitu dengan tujuan agar terlindungi anak anak yatim tersebut dan janda janda agar tidak diperbudak.

Poligami Bukan Keinginan Rasul

Adapun ayat-ayat al Quran yang menyebutkan adanya poligami itu merupakan sebuah petunjuk bagi rasul, jadi bukan keinginan pribadi dari Rasul. Hal itu sesuai dengan konteks. Yaitu pada saat itu banyak peperangan yang berakibat banyak wanita menjadi janda dan anak anak yatim yang tidak ada pelindungnya. Selain itu, bila kita perhatikan ayat-ayat poligami sebelumnya membahas mengenai tentang perlakuan terhadap anak yatim. Jadi sebenarnya kebolehan (Ibaahah) poligami itu boleh iya boleh tidak dan tentunya dengan mempertimbangkan syarat yang Allah tetapkan yaitu bersyarat adil.

Adil merupakan salah satu sifat yang cenderung relatif. Terkait dengan konsep adilnya dalam poligami itu terletak pada istri, bukan pada suami. Apakah istri sudah terpenuhi haknya ketika dipoligami? Kalau sang istri sudah benar benar terpenuhi hak-haknya maka berlakulah kebolehan tersebut. Jika tidak terpenuhi maka hukum kebolehan tidak berlaku dan Allah hanya menyuruh satu saja (tidak poligami).

Dalam hal ini, secara psikologis istri tidak selalu terpenuhi haknya haknya. Akan tetapi secara psikologis pula sang suami merasa berlaku adil dalah memenuhi hak haknya. Hak hak tersbut bukan hanya sebatas hak material (nafkah), tetapi juga immaterial misalnya adalah cinta.

Cukup menjadi bukti bahwa poligami merupakan bukan praktek yang mudah. Yaitu dengan banyak syarat syarat yang ketat terkait poligami oleh para ulama, ahli dan serta penegasan al Qur’an sendiri. Tidak bisa bagi orang yang melakukan poligami secara serta merta mengatakan kalau itu merupakan sunnah nabi. Oleh karenanya poligami tidak bisa dibuka atau ditutup serapat-rapatnya apalagi sampai mengkampanyekannya. Hendaknya poligami itu dipandang dari berbagai aspek baik bagi diri sendiri, pasangan, keluarga, atau bagi masayarakat sekitar.

Dalil Mengenai Poligami

Al Quran sebagai sumber utama umat Islam, dalam kaitannya dengan poligami bukan berkedudukan sebagai hal yang esensial. Melainkan dengan ushul fikih dapat kita kedepankan. Bila kita telisik secara mendalam ayat ayat poligami turun bersama dengan ayat-ayat madaniyah yang memiliki konteks historisnya (asbabun nuzul). Sebagaimana firman Allah dalm surat an Nisa’ ayat 129 yang artinya:

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Keluarga sakinah merupakan impian dari pernikahan. Tetapi tidak menutup kemustahilan terjadinya persoalan antara suami dan istri. Poligami bukanlah menjadi pertimbangan dalam persolan persoalan yang bermunculan. Melihat kembali tujuan pernikahan dalam islam adalah salah satunya yaitu untuk mewujudkan keluarga sakinah, yaitu mewujudkan suasana yang keluarga yang tenang, aman, tentram dan damai sebagai buah hasil dalam perkembangannya mawaddah dan rahmah, yaitu rasa saling mencintai, membutuhkan, mengasihi, melindungi dan menghormati antar anggota keluarga.

***

Pada realitas kebanyakan, poligami lebih cenderung menyakiti dan memberikan dampak pada isteri dan anak anak. Dalam ushul fiqh yaitu pada mafhum muwaafaqah menyakiti lingkungan,  hewan-hewan, tumbuhan tumbuhan tidak diperbolehkan, apalagi menyakiti hati seorang manusia seperti anak dan isteri. Itulah pentingnya, tidak hanya memandang hukum boleh tidaknya, akan tetapi harus benar-benar mempertimbangkan bagaimana nasib isteri dan anak-anak ke depannya.

Hematnya, poligami tidak hanya sebatas bisa dipandang dengan hukum halal dan haram atau boleh dan tidaknya. Karena bila poligami dipandang dengan hanya sebatas itu maka hal-hal yang lebih substansial yang merupakan tujuan dari pernikahan tidak akan tercipta. Misalnya apa tujuan hakiki dari pernikahan. Apakah hanya sebatas untuk penyalur kebutuhan hasrat biologis saja, atau hanya untuk mendapatkan keturunan saja, hal tersebut perlu kita cermati dan tersebut bukanlah menjadi variabel inti dari hukum kebolehan (Ibaahah) poligami.

Bagikan
Exit mobile version