Site icon Inspirasi Muslimah

Perenungan, Usaha Pengibaran Makna pada Kehidupan Nyata

perenungan

Jejak nyali ketenangan jiwa nampak ciut karena tatapan barisan sepasang mata arogan melirik sana-sini tak terisikan peluru kendali, krama kehidupan. Kiprah keagamannya dikupas secara lahirah, gagal terserap ke rongga batiniah. Roh-pun menangis gundah seakan  tak memiliki rumah. Banyak teka-teki spiritual dibalik tirai persembunyian kata-kata, yang siap menyatukan jiwa, justru “diceraikan” oleh akal parade pemilik mata itu di medan makna.

Sebagian masyarakat arus bawah hanya dapat berkeluh kesah, dipaksa mengimani gelisah, merayakan ketidakpastian tanpa arah, hanya menjerit dalam angan resah, “Ya Tuhan, inikah kemurkaan Engkau yang suci, ataukah semata ujian makhluk-Mu dalam menghadapi intelektualnya yang sepi?”. Kebimbangan manusiawi mereka, menjadi makanan sehari-hari dalam liku hidupnya yang tak bertepi. Perenungan-pun seperti panorama yang terisolasi.

Semangat Socratik, Nietzsche hingga Sabda Nabi tentang Atomisme Perenungan

Eksistensi perenungan (contemplacy) sudah menjadi komoditi langka, tergerus oleh  faktor budaya materialistis yang kian merajalela. Padahal kekuatan dunia bilamana mengacuhkan elemen dasar keruhanian, hakikatnya melimbungkan tiang-tiang “ilahiah” yang sering disebut keberkahan. Nasib keramahan yang dijadikan “kuda-kuda” dasar, disulap seperti budaya “katrok” dalam bersosial. Muncullah sikap pembiaran, mengikis habis nilai paling dasar.

 Merefleksi falsafah Frederich Nietzsche, filosof yang dikenal solitary (penyendiri) asal Jerman, bahwa menyendiri (merenung) termasuk kekuatan dasar  manusia dalam menemukan petuah atau maksim-maksim (ungkapan sederhana yang bisa dimengerti) agar dilaksanakan sebagai lambang jati diri, sebagai nilai kelebihannya. Namun, beliau tidak ingin ditiru oleh pengikutnya, seperti pengikut paham Marx disebut Marxist. Nietzsche tidak demikian.

Makanya, upaya Nietzsche agaknya seperti sokrtatik, paham filosof Socrates tentang etika asal Yunani, bahwa potensi individu atau orang, pada dasarnya punya potensi kebaikan, kebenaran atau kesalahan melalui jiwanya dengan jalan dialogis. Perbedaannya Nietzsche menggali potensi dengan “menelanjangi” jiwa dengan metode renungan (solitary), sedangkan Socrates dengan madzhabnya melalui jalan dialog, sebuah upaya menggabungkan opini.

Contoh pro-kontra ulama A yang dikenal frontal dalam menyuarakan haq (kebenaran). Yang menjadi dilematis, bila kita pro, maka ini akan menjadi pertimbangan kemaslahatan umat majemuk. Namun bila kontra, maka akan timbul tafthiru tho’ah bi ghoiri mubahin (masyarakat akan mengikuti mereka yang salah). Jadi disini, kita dituntut menggali kemampuan diri (renung) dalam menelaah sosial, maupun dengan berdialog kepada ahlinya.

***

Dalam disiplin hadits, ada potongan hadits yang menegaskan tentang apa itu jati diri, man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu (siapa yang mengenali jati diri, maka sebenarnya ia mengenali Tuhannya) Wa man ‘arofa robbahu faqod jahilan nafsahu (ketika sudah mengenali Tuhan, maka ia merasa bodoh) man tolabal maulana bighoiri nafsi faqod dholla dolalan ba’ida (siapa saja yang mencari kebenaran tanpa ilmu, maka ia tentu tersesat jauh).

 Nah, upaya mengenal hidup, juga tak bisa digali tanpa melalui fragmentasi (cuplikan) pengalaman spiritual. Seperti bagaimana tindak tanduk tubuh kita? Seperti apa pikiran kita? Hingga bagaimana tujuan hidup kita? Apakah pernah terpikir sistematik seperti itu? Lalu, Kenapa Tuhan menggerakkan tubuh sesuai dengan kebutuhan kita? Kenapa imajinasi pikiran yang tentu dapat melompati alam normal, nyatanya tetap mengikuti kebutuhan tubuh kita?

Inilah yang disebut atomisme, yaitu elemen hidup yang tak bisa dipenggal satu-satu. Semua pencapaian hidup itu, pasti ada keterkaitan masa kini dengan masa lalu. Dari hasil itu semua, bila dipahami dan dimaknai secara menyeluruh, maka akan menimbulkan pencerahan batin, dalam bahasa agama disebut isyroqiyyah. Tentunya, dalam pencerahan itu diuji melalui proses radical (jor-joran), sehingga lebih mengenal dalam “menelanjangi” kekurangan diri.   

Akal, Alat Sangat Penting dalam Proses Perenungan Wahyu

Dalam buku spiritualis muslim asal Thus, Persia, Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), Jawahirul Al-Qur’an (mutiara Al-Qur’an) menggambarkan bahwa wahyu Islam sebagai “lautan yang mengandung segala jenis mutiara dan barang-barang berharga”. Dari kalimat ini secara tersirat “mengejek” masyarakat konservatif (anti-terbuka) yang hanya “mengistirahatkan diri” berputar-putar di area pantai. Tidak berani menyelam kedalam.

Bagaimana bisa manusia memahami makna tanpa melakoni penyelaman pada samudera al-Qur’an yang begitu dalam, sedangkan ia tetap berkutat dipusaran pantai, “alergi” kena basah, bahkan ketakutan akan kedalaman makna Wahyu itu. Jangan-jangan takut disebabkan akan minimnya intelektualitasnya yang begitu kosong. Sedangkan menurut Al-Ghazali, pantai ini biasa disebut lapisan dzahir, sedangkan isi samuderanya disebut lapisan bathin.

Bagi penggemar Al-Ghazali (Ghazalian), sebagian besar kitabnya, senantiasa menggunakan majaz metafora (perumpamaan), sehingga beliau tidak jauh dari madzhab platonic (Plato). Karena Plato sendiri ahli menyingkap kesamaran objek abstrak (meneliti study case dengan metode ta’wil) dengan penguasaan gramatikal, gaya bahasa (uslub) dan sejarah asal usul bahan yang dikaji. Beliau juga dialogis (terbuka) seperti gurunya, Socrates.

Kembali kedasar konsep bathin, aspek ini selain membutuhkan modal penguasaan bahasa, juga melibatkan pikiran serta kejernihan nurani. Karena tahap ini tidak sedikit dari kalangan pemikir yang belum memenuhi target pencapaian makna. Bahkan ada kelompok yang tanpa tedeng aling-aling (kompromis) mengharamkan pada bagian ini. Namun yang terakhir ini sangat keliru. Mana mungkin keajaiban wahyu hanya diukur pada keterbatasan otak manusia.

***

Baiklah kita ambilkan ilustrasi sederhana, jika kita melepaskan makna, seperti kebiasaan kelompok yang “mengharamkan”. Apa sebabnya kita makan? Supaya sehat. Nomer satu itu sehat apa kenyang? Tentu sehat. Karena kambing tidak memikirkan sehat tapi kenyang. Setelah sehat baru kita bisa mikir. Dalam tahap mikir inilah, manusia diberikan akal sehat oleh Tuhan dalam memaknai kehidupan, yaitu melalui ayat-ayat suci dalam konsep bathin.

Bila stuck (mandeg) pada tahap pengharaman, tentu ilustrasi di atas kita digambarkan sebagai makhluk yang tak berakal (hewan). Sehingga Tuhan berkali-kali bilang melalui firmanNya. Afalaa ta’qilun (supaya berfikir). Karena hidup itu ada fakta. Jadi fakta itu harus ditemui, dimaknai dan ditadabburi. Baru setelahnya, kita bisa melihat kenyatan yang ada. Jadi, melalui “fakta”, muncullah “makna” (tahapan takwil), kemudian “nyata” apa adanya.

Bila kita berhenti pada titik fakta, berarti hanya berkutat pada aspek dzahiriyyah (luaran) saja. Dalam bahasa Al-Ghazali disebut lapisan pantai. Belum mencemplungkan diri ke samudera makna. Maka ini wajar, begitu banyak kelompok yang mengunci diri. Tidak mau membuka jendela fakta dengan makna, sesuai yang digariskan Allah SWT. Ud’uu bi sabilil hikmah wal mau’idzotil hasanah (berserulah dengan kalimat hikmah (maknawi) dan baik).

Oleh karenanya, 14 abad Islam mengumandang, pastinya ditempa dengan akal sehat yang menghasilkan tahapan makna-makna. Sehingga bila tahap pemaknaan terus membudidaya, bukan barang mustahil, pihak-pihak yang berhenti pada kata “haram”, mereka akan terus belajar. Karena puncaknya manusia, khoirunnas anfa’uhum linnas, bisa saling beri manfaat ke sesama, bukan saling menggurui atau mengumbar fitnah hukum yang tak bermakna.

Bagikan
Exit mobile version