Site icon Inspirasi Muslimah

Perempuan, Negara, dan Belenggu Patriarki

perempuan merdeka

Kita sebagai manusia yang sadar akan kesetaraan dan keadilan. Ketika melihat perjuangan khususnya kaum perempuan dalam upaya menghentikan kekerasan yang setiap hari mengahantui mereka; pasti kita akan turut merasakan ke-trenyuh-an yang luar biasa. Kira-kira sepuluh tahun terakhir, memang menjadi dekade paling progresif dan menggairahkan bagi perjuangan itu.

Kita sadarai atau tidak, sesungguhnya isu ini benar-benar telah lama menjadi perbincangan serius di berbagai forum. Baik itu forum nasional maupun internasional. Berbagai disiplin ilmu pun terlibat dalam diskursus ini, tak terkecuali disiplin ilmu-ilmu agama Islam.

Perbincangan tersebut pada akhirnya pun tidak lain mengarah pada akar persoalan kekerasan (ketimpangan relasi gender laki-laki dan perempuan) dan saya kira ini juga termasuk di dalam berbagai dimensi kehidupan laki-laki dan perempuan.

Masalah yang menjadi serius hingga hari ini adalah bahwa perempuan masih tetap saja diyakini sebagai makhluk subordinat laki-laki, makhluk kelas dua. Ini pun tidak hanya secara budaya, tetapi bahkan juga masuk ruang-ruang agama. Padahal sejatinya kan tidak begitu.

Maka tak heran, manakala para aktivis perempuan hingga hari ini terus berusaha dengan berdarah-darah untuk menjernihkan persoalan ini. Karena, kekerasan terhadap perempuan merupakan dampak nyata dan serius dari berbagai ketimpangan tersebut.

Perempuan dan Potret Sejarah        

Anda boleh yakin atau tidak, bahwa peran perempuan menjadi bagian yang amat penting sekaligus menjadi penentu dalam sebuah peradaban agama maupun bangsa. Mengapa demikian?

Baik, mari kita sedikit kembali ke belakang, mencoba untuk melihat fakta sejarah Islam pada waktu itu. Mengutip laman Media Indonesia (Sabtu, 29/01/22); Anis Fuadah Z menjelaskan bahwa perempuan tercatat memiliki peran yang sangat penting (meskipun hanya di belakang) dalam kesuksesan negara. Seperti, misalnya istri-istri Nabi Muhammad SAW, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar, Nusayba binti Ka’ab, yang seorang dokter relawan pada perang Badar, perang Khaibar, perang Hunain, dan perang Yamamah, dan masih banyak lagi.

Sejarah Indonesia pun mencatat, bagaimana peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perempuan tidak hanya sebagai tukang belanja sayur seperti gambaran lagunya Ndar Boy Genk dengan judul “Mendung Tanpo Udan” itu; tetapi perempuan-perempuan di masa sebelum kemerdekaan, justru tidak sedikit menjadi bagian penting dalam melawan penjajah. Seperti misalnya, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, dst.

Bahkah bangsa Indonesia pun belakangan memiliki srikandi-srikandi yang hebat, mempunyai pamor dan pengaruh besar  di kancah dunia. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5), Sinta Nuriyah Wahid (istri almarhum Gus Dur), Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), dan saya kira masih banyak lagi. Semuanya itu sekaligus menjadi bukti nyata yang tidak bisa ditepis oleh apapun.

Kemerdekaan Perempuan dan Keadilan

Kalau sejarah telah mengajarkan sedemikian hebatnya bagaimana peran perempuan. Maka, mestinya, perempuan tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Pendidikan perempuan maupun penempatan perempuan harus benar-benar dipertimbangkan. Ruang besar untuk berkontribusi dalam mengembangkan gagasan dan ide-ide cemerlangnya dapat lahir dengan merdeka; sehingga perempuan benar-benar mampu membantu pembangun sebuah peradaban agama maupun bangsa.

Begitu banyak sudah, perempuan melahirkan inisiatif-inisiatif baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saya kira sangat jauh dari sekedar potret wajah perempuan di linimasi media massa hari-hari ini. Sekali lagi, ingat, sejarah Indonesia telah dengan jelas membeberkan dengan jujur bagaiman perempuan yang mempunyai keberdayaan yang luar biasa.

Keberdayaan perempuan itu, saya kira terepresentasi oleh peran riil mereka. Di dalam skala keluarga saja misalnya, mereka dapat mengurus keluarga bahkan sekaligus turut berperan dalam perekonomian keluarga.

Di abad 21 ini, cobalah Rahmania melihat dengan seksama, bahwa tidak sedikit bagaimana perempuan melakukan perkerjaan yang dulunya hanya dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan hari ini ada yang menjadi tukang ojek, supir bus, pilot, tentatra atau bahkan tukang tambal ban sakalipun.

Semua itu, saya kira menandakan bahwa perempuan modern hari ini mempunyai keberanian untuk bebas menjadi apapun, melakukan apapun, mereka ingin melebarkan sayapnya demi teraihnya apa yang mereka inginkan. Sekligus ini menjadi bukti bahwa perempuan mempunyai sikap kritis dan tegas dalam melawan stigma dan aturan jadul yang memenjarakannya. Inilah sebuah kemerdekaan.

Apapun jalan hidupnya perempuan hari ini, zaman yang serba modern ini, harus tetap merdeka dalam menentukan mimpi-mimpinya, sekalipun dalam partisipasinya di ruang publik. Maka menjadi penting, bahwa tugas Kartini muda-lah saat ini untuk meneruskan perjuangan pahlawan demi lahirnya kesejahteraan rakyat, diri sendiri dan bangsa. Inilah keadilan.

Refleksi Hari Perempuan Dunia

Saya sangat sepakat dengan apa yang telah di sampaikan oleh Prof. Dr. Ida Rochani Adi, S.U. di dalam laman ugm.ac.id (21/03/21); “Bahwa perempuan pada awalnya dikonstruksikan secara sosial hanya berperan dalam lingkup domestik seperti memasak, mencuci, dan berdandan. Namun, saat ini gerakan perempuan hadir bersamaan dengan isu lain seperti HAM, Racism, Sexism, Multikulturalisme, Kosmopolitanisme yang cakupannya bukan hanya perempuan, namun isu secara global. Kondisi global saat ini menjadi sebuah kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.”

Peran perempuan punya dampak besar. Dengan demikian, perempuan di abad ke-21 ini harus terus ingat bahwa, peran perempuan sejatinya tidak hanya untuk membangun diri, sesama perempuan atau pun hanya keluarganya saja, melainkan juga untuk membangun masyarakat, negara dan bangsanya. Negara akan kuat manakala ada perempuan kuat di dalamnya.

Maka sekali lagi, tidak boleh ada alasan apapun, untuk tidak memberikan hak perempuan. Negara harus memberikan peluang yang seluas-luasnya untuk kemerdekaan diri perempuan, sehingga mampu terlibat dengan baik dalam pembangunan masyarakat, ekonomi, dan negara.

Di sisi lain, dalam hal menepis stigma buruk atas perempuan, menghilangkan belenggu budaya patriarki, seorang perempuan pun harus menunaikan kewajibannya. Seperti misalnya, perempuan harus terus mengevaluasi diri, bertansformasi kepada hal-hal yang semakin baik, dan juga selalu meningkatkan kapasitas diri.

Sebab, kita sadari atau tidak, bahwa kuat mengakarnya budaya patriarki di dalam masyarakat hingga hari, tidak lain ialah karena tetap adanya stereotip yang menganggap bahwa perempuan adalah seorang makhluk yang lemah, emosional, bahkan tidak konsisten. Laki-laki tetap saja dianggap sebagai penguasa tunggal, sentral, dan pengontrol utama. Oleh sebab itu, seluruh kewajiban perempuan di atas harus diimplementasikan dengan baik. Semoga.

Bagikan
Exit mobile version