Site icon Inspirasi Muslimah

Penulis dan Karya Fiksi

penulis fiksi

J.S Khairen pernah mengatakan bahwa setidaknya dalam satu bulan, kita harus membaca dua jenis buku. Yakni, buku non fiksi dan buku fiksi. Menurut Khairen, membaca buku fiksi berguna untuk  membangun emosional. 

Saya sependapat dengan argumen Khairen, memang membaca karya fiksi, baik puisi, cerpen, dan novel bisa berguna untuk membangun emosional pembacanya. Sebab, karya fiksi merupakan kontemplasi dari kenyataan hidup yang tersajikan dengan proses imajinatif dan fiksional. 

Namun, lebih dari itu, membaca karya fiksi bukan sekadar berguna untuk membangun emosional. Membaca karya fiksi juga berguna bagi individu yang memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis. Menjadi seorang penulis bukan perkara yang mudah. Di dalamnya terselip berbagai rintangan. Kesulitan utama untuk menjadi seorang penulis adalah mendapatkan ide. 

Belajar Menemukan Ide

Bahkan, sekelas penulis kondang sekalipun, sering mengalami kesulitan untuk menemukan ide. Apalagi bagi seseorang yang baru memulai menjadi penulis, tentunya akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ide. Dan bagi saya, membaca karya fiksi bisa berguna untuk membantu menemukan ide saat menulis. Kenapa?

Bagi saya, ide sebuah karya fiksi berasal dari kehidupan remeh dalam kehidupan sehari-hari, tetapi orang lain menganggapnya tidak penting. Misalnya saja, karya Laut Bercerita dan Menyusu Celeng, keduanya menceritakan tentang kekejaman rezim Orde Baru. Berbagai karya Puthut EA yang menarasikan tentang kisah percintaan dan kehidupannya selama menjadi aktivis. Atau novel Damar Kambang yang menggambarkan kehidupan kelam perempuan Madura di bawah rezim patriarki. 

Sehingga dari karya fiksi, saya mulai tersadar bahwa untuk menemukan ide tulisan, bukan ikhwal yang terlalu sulit. Karena dari hasil membaca karya fiksi, saya tersadar untuk memulai ide tulisan memulainya dari hal terdekat dengan kehidupan. Sebagaimana ketika saya menulis tentang  Kemeriahan Maulid Nabi di Madura dan Politik perempuan desa Madura yang termuat di Rahma.id. 

Melatih Teknik Menulis

Selain berguna untuk melatih menemukan ide tulisan, membaca karya fiksi juga berguna untuk melatih menstrukturkan tulisan saat menulis. Serupa dengan merias wajah dalam air, meski sudah menemukan dan memiliki ide menarik untuk menjadi topik tulisan,  jika tidak bisa menuliskannya dengan baik, maka akan menjadi sia-sia. Dan permasalahan lain bagi penulis pemula adalah menulis dengan baik dan terstruktur. 

Teringat ketika baru pertama kali mengikuti kelas menulis dengan Iqbal Aji Daryono, saya menuliskan sebuah tulisan yang rancu. Mas Iqbal selaku mentor memberikan komentar, “Sebenarnya ide saya sudah menarik. Sayangnya, tulisannya masih rancu. Setiap kalimat tidak tersusun dengan terstruktur . Dan tidak bisa menjembatani antar paragraf. Sehingga, setia paragraf terkesan tidak berkesinambungan.”

“Jika mau memperbaiki cara menulisnya, silahkan membaca buku dengan perlahan. Cermati bagaimana cara penulis, menuliskan struktur kalimat dan menyambungkan setiap antar paragraf,” lanjut Mas Iqbal memberikan masukan pada saya. 

Tentunya saya langsung mempraktekkan masukan dari Mas Iqbal. Saya coba membaca buku dengan perlahan sesuai sarannya, agar bisa mengamati cara menulis dengan  menstrukturkan kalimat dan menjembatani antar paragraf dengan baik. 

Sayangnya, saya tidak bisa menikmati buku yang saya baca. Setelah merenungkan, saya sepertinya salah membaca buku. Saya membaca buku ilmiah dengan isinya yang berat. Bukan mendapatkan cara menulis yang baik, justru kepala saya menjadi pening.  

Akhirnya, saya memutuskan untuk membaca karya fiksi, terutama novel dan cerpen. Saya masih ingat betul, buku novel pertama yang saya baca untuk melatih cara menulis, judulnya adalah Punk. Bukunya tipis, tetapi saya membacanya memakan waktu satu minggu. Sebab, saya membacanya dengan perlahan, menikmati permainan susunan kalimatnya dan teknik agar setiap paragraf menjadi agar tidak mengalami kesenjangan. 

Selesai membaca Punk, saya coba menulis kembali dengan mempraktikan teknik menulis yang saya pelajari dari Punk. Setelah selesai menulis, kemudian saya kirimkan ke Mas Iqbal. Selanjutnya, mendapatkan ulasan dari dirinya, bahwa cara menulis saya sudah mulai berkembang dengan baik. 

Mengapa Harus Karya Fiksi?

Lantas, apakah untuk melatih menulis bagi penulis pemula, hanya berpatokan pada karya fiksi? Sebenarnya tidak juga. Belajar dengan membaca dari karya non fiksi sebenarnya juga bisa. Namun, menurut pemahaman saya, ada bedanya membaca  fiksi dan non fiksi, terlebih lagi berbentuk ilmiah.

Karya non fiksi ilmiah, memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dari sisi ide dan teknik menulisnya. Dari aspek ide, biasanya ide-idenya tidak pernah lepas dari konsep teoritik. Semisal, buku  Islam Madura, karya bapak Hefni. Ide tulisannya berasal dari konsep teori postmodernisme. 

Belum lagi kerumitan dengan teknik menulis dalam karya non fiksi ilmiah. Lantaran, teknik menulisnya lebih berorientasi pada analisis teori dan penjabaran konsep dari hasil data lapangan. 

Maka, bagi individu yang baru memulai menjadi penulis, belajar dari karya fiksi lebih baik. Beda cerita dengan penulis kondang, mereka dengan berbagai pengalamannya di dunia kepenulisan, seakan sudah terbiasa untuk membuat ide tulisan dan teknik menulis dari yang sederhana hingga kompleks. 

Dan yang terpenting untuk menjadi penulis adalah membiasakan mendisiplinkan diri agar konsisten menulis setiap hari. Menjadi percuma jika ingin menjadi penulis, tanpa melatih diri untuk menulis.. Lantas, apakah bisa membangun konsistensi menulis? 

Bagikan
Exit mobile version