Site icon Inspirasi Muslimah

Pentingnya Analisis Kelas dalam Menentukan Pilihan Politik

pilihan politik

Sekira tiga bulanan lagi kita akan menghadapi Pilkada, setelah hampir setengah periode kepemimpinan dipimpin oleh para Plt (Pelaksana Tugas) dan PJ (Penjabat) termasuk Provinsi Banten yang selama dua tahunan dipimpin oleh seorang PJ yaitu Al Muktabar (2022-sekarang). Pada tulisan ini saya akan fokus pada Pilgub. Karena di Pilgub kali ini terdapat wajah-wajah yang di dominasi oleh bacalon perempuan, sehingga menarik untuk dibahas.

Sejauh ini berbagai spanduk, banner dan baliho yang menghiasi setiap kota dan perkampungan adalah Airin Rachmi Diany, Ratu Ageng Rekawati dan Iti Oktavia Jayabaya. Satu lagi sebenarnya bacalon yang sudah terang bakal maju yaitu Andra Soni dengan bacawugnya Dimyati Natakusumah. Namun, di sini saya hanya akan membahas tentang ketiga bacalon perempuan.

Sampai saat ini calon perempuan di berbagai pemilihan elektoral selalu menjadi daya tarik, itu mungkin karena selama ini wajah kedudukan publik dalam politik identik dengan laki-laki. Sehingga setelah adanya aturan UU No. 12 Tahun 2003 yang kemudian mengalami beberapa perubahan menjadi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur tentang ambang batas 30% keterwakilan perempuan dalam politik.

Perempuan sering kali ditafsirkan hanya sebagai perempuan. Padahal, kenyataannya perempuan juga sama seperti laki-laki yang berasal dari kelas sosial tertentu. Gender dan kelas. Airin, Iti, dan Ageng Rekawati adalah perempuan. Tapi mereka adalah perempuan dari keluarga elite dan berada dalam kelas sosial tinggi di Banten.

Seperti kata Amin Mudzakkir dalam esainya yang dimuat di Alif.id dengan judul “Politik Perempuan Minus Politik Kelas Sosial”, bahwa analisis gender tanpa analisis kelas rawan dibajak oleh para perempuan elite untuk melegitimasi kepentingannya. Seolah mereka mengampanyekan perspektif perempuan, padahal yang dibawa adalah kepentingan kelas sosialnya.

Untuk mewujudkan keadilan gender tanpa adanya analisis kelas sulit untuk dicapai. Karena saat ini yang menjadi masalah adalah bahaya neoliberalisme yang merupakan kelanjutan dari kapitalisme. Jangan di kira bahwa ketidakadilan itu hanya terjadi di ranah privat tapi juga di ranah publik.

Menurut Ruth Indiah Rahayu, meski secara prinsip kapitalisme membuka ruang publik melalui kerja upahan kepada perempuan, ketika masuk dalam domain publik, struktur tersebut telah disegregasi berdasarkan struktur gender. Kapitalisme menciptakan perempuan harus memikul beban kerja ganda pada domain privat dan publik.

Dalam konteks Indonesia ketika dulu zaman orba, gerakan perempuan dihubungkan dengan tujuan yang sama yaitu keadilan gender. Meskipun entitas perempuan itu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Baik istri pejabat, fundamentalis agama, buruh, tani, pengusaha, miskin kota dan nelayan. Tetapi terdapat rantai persamaan yaitu menuntut kesetaraan gender dan partisipasi politik.

Terlebih saat Orba terkenal dengan dogma state ibuism (peng-ibu rumahtanggaan). Di mana negara merekonstruksikan bahwa tugas perempuan memang hanya sebagai pekerja domestik yang tanpa dibayar. Tugas perempuan hanyalah menjadi pendukung di belakang suaminya. Sehingga pada waktu itu, dibuat standarisasi ala kota lewat program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

Menurut Julia Suryakusuma, program PKK ini merupakan wujud kontrol kekuasaan negara yang bersifat otoriter dan paternalistis lewat berbagai pengaruh. Seperti politik, ekonomi, ideologi, sosial dan budaya terhadap masyarakat desa. Bahkan, dibidang budaya, PKK berusaha menginternalisasi konsep “priyayi” dan “ibuisme”.

Bentuk priyayisasi itu mewujud dalam penentuan pimpinan PKK lewat status suaminya. Meski demikian mereka tetap tidak mempunyai kendali penuh terhadap lembaga tersebut. Lalu apa kaitannya dengan analisis kelas? karena penting untuk mendapatkan keadilan bagi semua perempuan tanpa memandang dari kelas mana dia berasal.

Sebagai contoh, jika terjadi pelecehan seksual terhadap seorang keluarga dinasti politik, dan pada saat yang sama juga menimpa seorang buruh perempuan di Banten, siapa yang akan memperoleh perlindungan dan pelayanan lebih utama? Betul memang, secara konstitusi sudah jelas mengatur tentang persamaan hak yang sama di hadapan hukum. Tapi karena adanya perbedaan kelas tadi, tidak memungkinkan si buruh tadi mendapatkan hak yang setara dengan istri pejabat.

Jadi, untuk Pilgub Banten nanti, tak cukup hanya dengan “yang penting milih politisi perempuan”. Airin, Iti, dan Ageng Rekawati adalah perempuan, tapi bukan sembarang perempuan melainkan perempuan elite. Sehingga tak heran, meski banyak perempuan yang menjadi pejabat legislatif maupun kepala daerah tapi tak selalu memperjuangkan perempuan kelas bawah yang selama ini berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sudah saatnya perjuangan keadilan gender tidak hanya disempitkan sebagai tafsiran yang dalam sifatnya hanya esensialistik, perempuan sebagai perempuan. Tapi juga diperluas sebagai perjuangan  kelas untuk mencapai keadilan sosial bagi semuanya.

Bagikan
Exit mobile version