Site icon Inspirasi Muslimah

Pendidikan Interaktif Orang Dewasa pada Anak-anak

pendidikan

Ririn Rahayuning Resti

Hay, aku awali tulisan ini dengan sapaan dan senyuman walaupun tak sepenuhnya melukiskan senyuman dalam tulisan ini, seperti halnya dengan tema yang penulis pilih tentang, “kasih dan sayang”. Sapaan dan senyuman adalah awal untuk menciptakan kasih sayang sebelum interaksi lainya, seperti eyes contact, deep talk, touch of love, atau bahkan berpelukan; jika dibayangkan it’s beautifull love.

Sebelum berbicara tentang kasih dan sayang perlu dijelaskan bahwa aku bukanlah seorang ahli dalam bidang ini atau ibu dari seorang anak; aku hanyalah menganalisa dari beberapa fenomena berdasarkan pengalaman dan menghubungkannya dengan literasi yang ku dapatkan. Bicara tentang kasih sayang tidak harus menjadi seorang ibu dulu bukan?

Cerita Pendek Penulis

Oke, aku lahir dari orang tua yang sederhana, bapak seorang supir medan yang terkadang seketika berubah menjadi petani; dan ibu seorang guru yang terkadang membantu bapak untuk urusan persawahan dan perladangan. Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan, bisa dibilang tidak kekurang bukan juga yang bergelimang harta.

Suatu ketika saat aku duduk di bangku SD, teman-teman berebut untuk menjadi sahabatku, hal tersebut disebabkan aku merupakan anak dari seorang guru; lebih-lebih anak dari seorang bendahara di sekolah kami. Karena nama besar atas profesi orang tua ini pun, aku sedikit mengeluarkan sifat sombong, dan dari situlah aku dan teman-temanku membuat ‘geng’ dengan nama “Eleven Star” karena kami beranggotakan sebelas anak. Bisa dibilang saat itu kami adalah anak-anak perempuan populer. Yaps, famous kalo kata mereka.

Oh iya, di sekolah kami juga terdapat kelompok kecil beranggotakan empat orang, berbeda dengan Eleven Star, mereka tidak begitu populer. Sampai akhirnya kami melakukan pembullyan secara verbal pada mereka, pun aku menjadi salah satu pelakunya. Beberapa hari berlalu, perbuatanku dan ‘geng’ terdengar di telinga ibuku dan akhirnya boom, jelas ibuku tak tinggal diam

“Ibuk membesarkan anak bukan untuk menjadi anak yang sok jagoan, menjadi ratu pembullyan. Sudah punya apa sampai adek berani membully teman yang lain, hentikan dan jangan permalukan orang tua dengan sikapmu!!!”

Itu kemarahan ibuku dan aku hanya bisa terdiam dengan mata berkaca-kaca karena ketakutan. Seketika aku seperti melihat monster di depanku. Namun aku tau, itulah cara orang tuaku untuk mendidik anaknya agar menjadi  anak yang penyayang.

*

Keesokan harinya teman-temanku terheran-heran melihatku yang tiba-tiba bergandengan tangan dan saling berbagi es teh dengan empat anak perempuan yang kemarin-kemarin kami bully. Tidak sedikit dari sebagian teman lainya bertanya. “Ada yang salah sama kamu rin?” Tanya mereka. Dengan tegas aku menjawab. “Tidak! Aku melakukannya dengan sadar.”

Beberapa tahun berlalu, aku mulai memasuki dunia putih abu-abu, akupun memutuskan untuk menjadi perantau meski jarak tempuh hanya 30 KM dari rumah. Namun, bagiku itu sudah cukup jauh untuk aku yang baru berusia sekitar 15 tahun. Waktu itu aku tinggal bersama saudara laki-lakiku dan ini menjadi kali pertama aku berpisah dengan orang tua.

Setelah menginjak bangku SMA aku sempat berfikir sepertinya Tuhan ingin aku merasakan apa yang dulu empat teman-temanku rasakan. Yaaah benar, kini giliran aku yang menjadi korban bullying secara verbal dari hampir seluruh teman-teman sekelasku. Meski tidak semua, tapi itu cukup membuat mentalku down seketika; terlihat konyol memang, tapi bukan, bukan berarti Tuhan tidak baik padaku. 

Saat itu aku menjadi korban bullying mungkin karena dulu teman-temanku menilai bahwa aku anak yang culun, tidak berani bicara, memiliki kepercayaan diri yang rendah; bahkan tidak pernah bersosialisasi pada mereka. Itu terjadi karena bentuk proses adaptasiku dengan lingkungan baru menjadikanku merasa minder dan kecil diri dari teman-teman yang lain.

*

Berjalan satu semester kepercayaan diriku mulai tumbuh tentu karena dampingan dari keluarga dan berkat ibu Rindu, salah satu guruku dan beliau adalah wali kelasku. Ia memberiku motivasi, kurang lebih begini “Untuk bisa bermain panjat pinang agar bisa mendapatkan barang yang kita mau bukankah kita perlu berjuang untuk berlatih memanjat?”

Maka pelan tapi pasti aku mulai membangun interaksi pada teman-temanku dan membangun kepercayaan diri. Cerita singkat ini memeng belum berahir namun pada akhirnya temen-temanku mulai menerimaku sebagai salah satu anggota di kelas.

Aku sangat menyesali apa yang pernah ku lakukan di masa lampau dan ini menyadarkanku bahwa pembullyan atau perundungan yang terjadi di sekolah bukan hal yang harus kita biarkan. Perlu solusi serius untuk memutuskan rantai pembullyan yang ada di sekitar kita

Pemetikan Buah dari Cerita

Cerita singkat di atas setidaknya ada beberapa poin yang dapat kita ambil pelajaran tentang pembullyan yang tumbuh dalam tubuh seorang anak dan remaja juga tentang kepercayaan diri seorang anak.

Bicara tentang pembullyan, bukanlah bicara tentang masalah yang kecil, bahkan hal ini tidak hanya terjadi di indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Namun, yang sangat disayangkan kesadaran orang tua atas permasalahan ini masih sangat minim; banyaknya orang tua yang belum menyadari pendidikan kasih dan sayang menjadi penghamba.

Terlihat jelas fenomena pembullyan masih sering terjadi di sekitar kita. Pada tahun 2021 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 17 kasus pembulian yang terjadi di Indonesia sepanjang 2 Januari hingga 27 Desember. Hal ini patut untuk kita khawatirkan karna tidak sedikit memakan korban bahkan sampai pada korban jiwa.

Keresahan penulis juga terjadi beberapa bulan yang lalu ketika dalam akun tiktok dan instagram mulai muncul trending backsound yang menurut penulis konten tersebut merupakan salah bentuk unsur bullying. Kurang lebih lirik dari backsound itu seperti ini,

Ndut ndut ndut si gendut anak paling nakal

Kalau di rumah kerjanya hanya makan

Bila sekolah bandelnya minta ampun

Hingga teman jadi takut berkawan

*

Lirik di atas adalah lirik dengan pelabelan bagi seorang anak yang memiliki postur tubuh gendut; hal ini tentu kurang tepat untuk anak-anak dengar atau nyanyikan, karena usia anak-anak adalah usia yang labil untuk dapat mencerna suatu lirik.  Maka pentingnya perhatian orang tua atau keluarga untuk memilih konten/tontonan yang tepat bagi anak-anak.

Hal ini kemudian muncul di benak penulis untuk membandingkan nilai pendidikan melalui lirik lagu yang berasal dari barat. Lagi-lagi ini bukan soal pengunggulan budaya barat kemudian tidak membanggakan budaya sendiri. Namun, penulis mengharapkan dapat mengambil hikmahnya. Lagu ini  juga sempat viral dalam waktu bersamaan dengan lirik di atas, bahkan sempat dicover oleh seorang ayah bersama anaknya yang berjudul Monsters.

I see your monsters

I see your pain

Tell me your problem

I’ll chase them away

I’ll be your lighthouse

I’ll make it okay

When I see your monsters

I’ll stand thare so brave

And chase tham away

Kurang lebih dari kandungan lirik tersebut adalah tentang kepedulian, keberanian, kekuatan dan saling melindungi agar mampu saling menenangkan dalam menghadapi masalah. Lagu yang dicover oleh seorang ayah bersama anaknya jelas secara tidak langsung memberikan pendidikan pada anak agar anak dapat tumbuh bukan hanya sekedar menjadi anak yang penyayang; namun juga dapat saling memeluk dalam menghadapi masalah.

*

Poin kedua soal kepercayaan diri yang tumbuh pada anak. Tentu dalam hal ini keluarga memiliki peran utama untuk membentuk kepercayaan diri. Sekitar bulan Agustus 2021 TED mengunggah video terbarunya yang diisi oleh Molly Wright ia juga menjadi salah satu pembicara perempuan termuda di dunia, pasalnya ia baru menginjak usia 7 tahun.

Video tersebut mengedukasi khususnya orang tua dan umumnya orang dewasa untuk mampu mepertanggungjawabkan tugasnya memperhatikan tumbuh kembang seorang anak dengan argumen utamanya, yang artinya : “Permainan cilukba dapat mengubah dunia”.

Molly mengatakan bahwa permainan cilukba membentuk interaksi yang hebat antara anak dan orang dewasa. Pasalnya hal ini juga dapat membangun kepercayaan dan ingatan anak; selain itu hal ini juga mengajarkan keterampilan hidup, dari berteman, mengikuti ujian, melakukan pekerjaan sampai saat membangun rumah tangga kelak. Pasalnya dalam permainan cilukba terjalin sebuah interaksi langsung dari dua arah antara anak dan orang dewasa.

*

Dalam dunia ilmuwan juga mengatakan bahwa anak dalam usia 0-5 tahun merupakan usia terpenting untuk seorang anak bagi kesehatan dan perkembangannya. Bahkan dari sebelum anak lahir. Namun yang sangat disayangkan masih banyak orang dewasa yang belum menyadari hal ini, jangankan menyadari mengerti saja hanya segelintir orang dewasa.

Hal ini sependapat dengan penulis setelah penulis melakukan obrolan dengan saudara perempuan penulis; dapat dikatakan ia adalah salah satu orang yang penulis jadikan contoh teladan dalam hidup. Setelah menikah ia memutuskan untuk fokus menjadi seorang ibu rumah tangga dan mengorbankan karirnya dengan alasan memanfaatkan momen bersama anak di usia golden age. Hal ini bukan pula tanpa alasan, namun juga mempertimbangkan beberapa hal dalam hidupnya.

Namun, bukan berarti penulis mengatakan ibu yang memilih berkarir bukanlah seorang ibu yang mengabaikan tumbuh kembang anak. Penulis juga yakin banyak contoh ibu karir yang juga berhasil menjadi sosok orang tua yang dapat membagi waktu bersama anak untuk menciptakan momen bersama anak dan melakukan pekerjaannya dengan baik.

Maka, keluarga menjadi organisasi terkecil dalam masyarakat yang memiliki peran penting untuk membentuk kepercayaan diri dan membentuk karakter anak agar dapat menjadi generasi bangsa yang unggul, bertaqwa, bermartabat dan penuh kasih sayang. Hal ini menandakan pentingnya edukasi tentang perkembangan anak pada orang dewasa bukan hanya pada orang tua saja; karena 9 bulan 10 hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk mempersiapkan ilmu ini. Alih-alih tidak mengerti soal ilmu ini justru anak yang menjadi korbannya.

Bagikan
Exit mobile version