Site icon Inspirasi Muslimah

Pemimpin Berbasis Kapasitas bukan Seks

pemimpin berbasis kapasitas

Perempuan dan lelaki Islam itu masingmasing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan” (Siti Munjiyah)

Jika kamu yang membaca tulisan ini adalah perempuan, kamu sudah merasa berhak  untuk menjadi memimpin belum? Kalau lelaki yang sedang klik tulisan ini, udah siap untuk menerima bahwa siapaun berhak menjadi pemimpin?

Jika jawabanya sudah, tidak usah melanjutkan membaca. Namun jika belum, kamu wajib menelaah setiap kata hingga tanda baca titik di akhir tulisan.  

Seks merupakan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, serta tidak bisa dipertukarkan antar jenis tersebut. Layaknya saat kamu mendengar kata hamil yang akan merujuk pada jenis kelamin perempuan, juga ketika kamu membaca kata sperma yang itu bagian dari laki laki. Segala bentuk alat biologis yang melekat pada setiap jenis kelamin ini bersifat kodrati dan bawaan dari tuhan yang tak bisa dipertukarkan

Sifat lemah lembut, emosional, feminim, anggun, perkasa, bertanggung jawab, intelektual, penyayang, tegas, gagah adalah sedikit banyak merupakan sifat yang manusia miliki. Jika perempuan mendapat anggapan sebagai seorang intelektual harusnya biasa aja, juga ketika laki-laki merupakan sosok lemah lembut juga boleh-boleh saja.

Realitas Konstruksi Sosial

Penyadingan segala bentuk sifat merupakan hasil konstruksi sosial, bisa dipertukarkan dan bukan kondrat dari tuhan yang bersifat absolut.

Realitas konstruksi sosial kita melarang laki laki untuk memasak di dapur, tapi nyatanya banyak chef laki laki. Menormalkan laki laki dalam ranah produksi atau pekerjaan juga memberi batasan perempuan untuk ranah domestik semata.

Jika perempuan mencoba masuk dalam konstruksi sosial lelaki; seperti halnya menjadi pemimpin suatu masyarakat akan dianggap menjadi sebuah pelanggaran norma dan menjadi sikap yang tidak normal.

Alasanya beranekaragam, mulai dengan argumentasi perempuan ialah sosok moody, ssehingga tidak mampu menyelesaikan masalah kompleks di tataran pemimpin; atau juga katanya kecerdasan perempuan tak mampu menyamai laki laki. Tak berhenti sampai di situ, untuk memberi ketegasan akan argumentasi tersebut tak lupa juga menghadirkan perkataan Tuhan yang termuat dalam  Al-Qur’an dan hadis yang sebenernya salah dimaknai dalam konteks situasi dan kondisi. Namun apa benar Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin?

Kondisi umat Islam dalam memahami perempuan yang memimpin beranekaragam dan terbentuk tiga kelompok. Pertama ialah kelompok konservatif yang berpendapat bahwa Islam sejak kemunculanya di Mekkah dan Madinah tidak memperkenankan perempuan muncul dalam kepemimpinan. Kedua, kelompok liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah memberikan tempat yang sama bagi perempuan untuk tampil menjadi pemimpin. Ketiga kelompok apologetik yang berpendapat bahwa ada sebagian wilayah yang terjangkau dan sebagian lainya tidak.

Kelompok Konservatif

Kelompok pertama berargumentasi dengan QS. An Nisa ayat 34 dan QS. Al Baqarah ayat 228 yang dimaknai sebagai ayat, yang menyatakan laki laki memiliki kelebihan untuk urusan publik.

Juga pada QS. Al Ahzab ayat 33 yang mereka pahami sebagai dalil perempuan harus tinggal di rumah saja. Tak sampai di situ, kelompok ini juga mengedepankan hadis nabi yang menolak peran perempuan dalam ranah publik khususnya kepemimpinan publik.

Kelompok Liberal Progresif

Kelompok kedua yang memiliki kecenderungan untuk membuka kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam wilayah kepemimpinan. Firman Tuhan yang menjadi sumber kebenaran ialah tentang keadilan, persamaan yang selau di junjung oleh Islam.

Dalam QS. At Taubah ayat 71 yang menjelaskan bahwa laki laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik, itu juga terdapat pada QS. Al Hujurat ayat 70 di mana perempuan memiliki hak memimpin suatu masyarakat umum sebagai manifestasi amar maruf nahi munkar.

Kedua ayat ini mengafirmasi bahwa Islam memuliakan kedudukan laki laki dan perempuan.

Kelompok Liberal Progresif

Kelompok ketiga mengatakan bahwa persoalan kepemimpinan perempuan bukanlah persoalan agama melainkan persoalan sosial, politik dan budaya. Selain dengan argumentasi tersebut kelompok ini juga bersumsi bahwa emosional perempuan yang lebih besar daripada kecerdasan akal tidak cocok untuk memimpin masyarakat umum namun cukup untuk menjadi pemimpin bagi anak anaknya yang berperan sebagai ibu.

Hukum Kepemimpinan Perempuan

Dengan hiruk pikuk asumsi yang berkeliaran di masyarakat mendorong Majelis Tarjih Muhammadiyah membuat putusan hukum tentang kepemimpinan perempuan.

Putusan tersebut terhimpun dalam satu kitab yang dinamai Abdul mar’ah fiil Islam  yang merupakan hasil muktamar Tarjih ke 18.  Pada bab “wanita islam dalam bidang politik” membuka pembahasanya dengan QS. At Taubah ayat 71 yang dipahami sebagai ayat yang mendorong setiap muslim dan muslimah untuk berkiprah secara intensif dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar dan nahi ‘anil munkar yang mencakup berbagai bidang kehidupan.

Meskipun faktanya, laki-laki lebih banyak mengisi ruang publik, namun tidak menutup kemungkian bahwa perempuan juga mendapatkan kesempatan yang sama. Karena tidak ada satu teks yang melarang perempuan melakukan kegiatan yang selama ini didominasi laki laki, selama tidak keluar dari garis amal sholeh .

Hadis Kepemimpinan Perempuan

Terdapat firman Allah juga hadis yang bekenaan dalam ruang publik ketika membahas persoalan kepemimpinan perempuan.

Pertama, QS. Al Imran:34. Ayat ini tidak bisa menjadi landasan untuk menolak kepemimpinan perempuan. Karena nash tersebut berisikan informasi yang membicarakan hubungan privat antara laki-laki dan perempuan dalam lingkup rumah tangga. Dalam konteks sabab nusulnya ayat ini turun atas kasus pembangkangan yang dilakukan oleh sitri Sa’ad ibn Ar Rabbi.

Nash kedua yaitu hadis “Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”. Menurut Majelis Tarjih pemaknaanya tidak tekstual, namun harus dibaca sesuai dengan semangat zamannya. Latar belakang hadis itu ialah ketika perempuan masih belum termuliakan (kondisi dikubur hidup hidup, masih di wilayah domestik, dll) sehingga suatu kelompok tidak akan beruntung jika menyerahkan urusan kepada perempuan.

Nash ketiga “tibalah saatnya kehancuran kaum laki-laki jika ia tunduk kepada perempuan”. Hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil karena termasuk hadis dhaif. Dalam sanadnya terdapat rawi bernama ibn Abdil Aziz yang di dhaifkan oleh ahli hadis.  Dalam situasi zaman saat ini ketika perempuan sudah diberikan kesempatan pendidikan, serta memiliki banyak kemampuan yang bisa diperhitungkan tak ada hal yang mampu membatasi kecuali kearogansian untuk menerima realitas ini.

Hemat penulis tak mempermasalahkan jika terdapat pemimpin laki laki yang tentunya memiliki kapastitas tinggi, juga tidak menyalahkan jika hingga saat ini masih banyak laki laki yang menjadi pemimpin di berbagai lini, bahkan tak ada persoalan ketika memang harus dipimpin seorang laki laki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika terjadi pembatasan hak juga kesempatan terhadap perempuan untuk tampil dalam ruang publik khususnya menjadi pemimpin.

Kita manusia, kita memanusiakan.

Bagikan
Exit mobile version