Site icon Inspirasi Muslimah

Nir

nir

Nir terlihat lesu, mukanya pucat seperti orang kurang tidur. Baju seragam tergantung di paku belakang pintu. Di depan terlihat asbak dengan puntung yang hampir penuh dan dua gelas kopi hitam. Satu gelas terisi setengah kopi dan satunya tinggal ampas saja. Usut punya usut sudah tiga hari dia begadang. Ia harus rapat sampai hampir pagi untuk merancang sebuah kegiatan mahasiswa.

Siang belum sempurna bertahta. Matahari masih tak terlalu terik. Terlihat anak-anak kelas empat sedang mencari sesuatu. Awalnya hanya dua orang yang hilir mudik. Kemudian bertambah menjadi lima dan selanjutnya jadi sepuluh. Mereka bolak-balik cari gurunya yaitu Nir.

Nir masih saya ada di dalam gudang menyelesaikan deadline merancang acara. Selain Sebagai guru sekolah dasar Nir juga salah satu mahasiswa yang aktif di organ ekstra kampus. Nir bisa dibilang salah satu pentolan di jamannya.

Di kampus Nir sering terlibat dalam beberapa aksi turun ke jalan hingga aksi protes-protes pada kampusnya. Mungkin ia adalah eksponen aktivis mahasiswa yang rebel di jamannya. Dia senang berdiskusi, membaca buku, hingga menyanyikan lagu-lagu kritik terhadap pemerintah. Pokoknya hee eeh banget.

Ada beberapa panutan (mungkin bisa dibilang kiblat berfikir) dalam ekplorasi pemikiran. Mulai dari filsuf awal seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles hingga tokoh pendidikan kritis macam Paulo Feraire, Ivan illic dan lainnya.

Dalam beberapa kesempatan ia juga mewakili kampusnya (organisasi yang ia ikiuti) dalam pertemuan-pertemuan lintas kampus hingga lintas mahasiswa tiap daerah. Di kelas kuliah ia juga sering terlibat diskusi hangat sampai panas dengan dosen dan teman-temannya dalam perkara-perkara teori sampai terapan.

Namun kini ia sudah menjadi guru. Walaupun kegiatannya tak sebanyak dulu ketika mahasiswa. Namun peran dan kegiatan juga tetap ada. Dalam beberapa kegiatan ia harus ikut menemani begadang atau mendampingi mengisi diskusi sampai hampir pagi.

Setelah lebih dari tiga puluh menit mencari Nir. Para siswa akhirnya mengakhirinya menemukan sebuah tanda keberadaannya. Sepasang sepatu karet yang di desain mirip pantopel tepat ada di samping teras pintu gudang. Itu adalah sepatu Nir. Sontak salah satu dari siswa tersebut berteriak

“Ini sepatu pak Nir, pasti ada di dalam”

“Pak Nir, Pak Nir, Pak Nir”, para siswa secara bersamaan memanggil-manggil namanya dengan suara yang bertambah riuh.

“Aduh ketahuan juga? Apa apa? Bukannya masih jam olahraga”, kata Nir sambil keluar dan tersenyum konyol seolah ketahuan main petak umpet.

” Ngapain Pak di gudang?”

“Biasa cari ilham buat ngajar kalian”

Sebenernya Nir diberikan ruang khusus berupa gudang itu oleh kepala sekolah sebagai kamarnya agar tak pulang pergi. Namun ia menolak, jadilah gudang ini sebatas tempat untuk istirahat ketika menggajar.

“Pak kelas lima berantem, main tawuran antar kelas pak, kita takut keatas pak”, salah satu siswa memberi informasi dengan nafas terengah.

Dengan hitungan detik Nir melangkah tanpa mendengar penjelasan lanjutan dari siswanya. Memang Nir terkenal salah satu guru yang sigap. Selain karena usia muda, ia juga guru laki-laki. Yang mana guru laki-laki di sekolah dasar itu sangat jarang.

Ia berlari menuju lantai dua. Disimpang lantai dua salah satu siswa berteriak, “Pak Nir”. Lantas semua siswa kocar-kacir melihatnya.

Beberapa siswa masih terlihat memegang batang sapu dan pel. Beberapa memegang ikat pinggang yang mereka lepas dari celananya. Lalu diputar-putar sambil menantang yang ada di sebrangnya.

Nir berdiri tepat di antara mereka yang tersisa. Mereka yang baru tersadar lantas cepat bersembunyi di kelas. Pak guru Nir memastikan keadaan, memang tak ada guru di kelas pada lantai dua saat itu. Semua guru juga sedang istirahat. Dengan emosi yang memuncak pak guru Nir lantas berteriak dengan lantang, “Masuk semua”.

Pak guru Nir tau betul atmosfer tawuran dan bagaimana tawuran itu terjadi. Semua dimulai dari ejek mengejek. Semua dimulai dari bercanda yang kelewatan. Karena berdasarkan pengalamannya sebagai anak STM tawuran hanya bertujuan untuk menunjukkan eksistensi.

Akhirnya Nir masuk ke kelas 5A. Kelas ini memang terkenal ributnya. Dulu ketiga anak-anak itu berada di kelas tiga Nir lah yang menjadi wali kelas mereka. Namun kini kelas tersebut dipegang oleh guru yang akan dipromosikan jadi kepala sekolah.

Tak lama ia masuk ke kelas 5A lalu keluar kembali. Ia tak mau banyak mengatur kelas 5A yang wali kelasnya kini adalah calon kepala sekolah. Selain itu wali kelas itu yang seringkali debat kusir saat rapat dewan guru.

“Gimana sih nih ini guru, belum jadi kepala sekolah aja murid ditinggal-tinggal”, dalam hati Nir menggerut.

Setelah keluar dari kelas 5A, kini ia masuk masuk ke kelas 5B yang juga ketika kelas tiga ia juga merupakan wali kelasnya. Wali kelas 5B adalah guru yang mau pengsiun, ia cendrung santai dan sering menitipkan kelasnya pada pak Nir.

“Semua duduk”, kata pak Nir dengan suara sekeras geledek.

“Siapa yang mulai semua ini” lanjutnya dengan nada yang sama.

Kales hening beberapa menit, sebelum terdengar tangis Jojo di kanan belakang. Jojo merupakan anak yang sering curhat pada pak Nir. Hari ini jojo bener-bener takut selain insiden tawuran tadi suara dan muka Nir berbeda dari biasa. Keras dan penuh ancaman.

Nir yang terkenal suka bercanda dengan siswa. Mengajarkan filsafat dan cara berpikir. Cinta damai kini sedang marah. Marah bukan marah biasa, namun seolah ia terlihat seperti Bezita (tokoh antagonis Dragon Ball Z) yang berubah jadi super saiya.

Putri yang duduk disebelah Jojo menjawab dengan pelan.  Namun suara itu terdengar jelas ditelinga pak Nir. Putri memang siswi yang kritis dan pemberani, namun kala itu ia hanya berkata lirih

“Dafi pak”

“Dafi mau kamu sini. Sudah berapa paling bapak bilang jangan jadi jagoan. Ini sudah lebih dari lima kali. Malah sekarang kamu jadi biang korok tawuran. Sini kamu maju”

Dafi merupakan anak hiperaktif. Dafi tak mau maju, ia benar-benar takut. Walaupun jaraknya hanya dua meter, tapi seolah aura super Saiya sangat terasa.

“Maju sekarang”

Dafi masih terpaku takut, hanya geleng-geleng kepala. Lambang ia tak mau maju. Dafi tahu ketika ia maju ia akan disidang di hadapan kepala sekolah. Maka ia memilih tetap bertahan.

“Maju kamu, kalau tidak sepatu bapak yang menghampiri mu”

“Tiga”

“Dua”

“Satu”

Sebuah sepatu karet melayang mengarahkan ke Dafi. Dengan sigap bak dalam pelajaran olahraga ia berkilah. Sepatu memantul dari mejanya menuju meja Bayu. Siswa yang cengeng anak sang Jendral. Sepatu itu tepat mengenai muka Bayu. Seketika Dafi tertawa dan Bayu menangis. Pak Nir menghampiri Bayu dan meminta maaf. Namun Bayu tetap menangis.

Tak lama bel pulang berbunyi dengan maaf yang belum didapat Nir dari Bayu. Bayu masih menangis sambil pulang. Terlihat ibu-ibu wali siswa menghampiri dan menanyakan penyebab ia menangis. Namun semua tak dipedulikan. Bayu pulang dengan tangisan.

Keesokannya harinya sejak pagi Nir sudah dipanggil guru senior. Kebetulan kepala sekolah sedang rapat. Nir diminta bersembunyi atau pulang cepat saja. Usut punya usut orang tua Bayu yang merupakan seroang jendral ingin bertemu dengan Nir. Nir yang tahu bawa orang tua Bayu ingin bertemu. Panik, ia binggung apa yang harus ia katakan. Mungkin ini akhir dari karirnya sebagai guru. Padahal baru saja dimulai. Entahlah, namun ia tak memilih pulang atau bersembunyi.

Ketika ayah Bayu yang seorang jenderal datang. Nir langsung menghampiri dan meminta maaf. Cacian makian ayah Bayu keluar begitu lancar bagaimana anak-anak pramuka yang menghapal dasa dharma. Nir diam dan hanya keluar kata maaf, maaf, dan maaf dari mulutnya. Tanpa dapat kesempatan memberikan alasannya. Setelah pertemuan itu, Nir menjadi orang yang berbeda. Tak suka bercanda, jarang tertawa dan hanya menjelaskan materi sesuai dengan buku pelajaran.

Bagikan
Exit mobile version