Site icon Inspirasi Muslimah

Nasihatmu Membangkitkan Semangatku, Bu (1)

nasihatmu

Aku adalah siswa akhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi yang sedang di posisi ini pasti merasakan, bagaimana bingung, bimbang dalam memilih langkah ke depannya. Melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi atau bekerja.

Nduk, mau dilanjutkan sekolah atau tidak?” tandas Ibu sambil menepuk pundak ku. Nduk adalah kata sapaan orang Jawa untuk anak perempuan. Aku yang sedang duduk melamun di pinggir teras berteman segelas teh dan rindangnya pohon di pekarangan sontak terkaget karena sentuhan ibu.

“Apa, Bu?” Jawab ku terengah-engah kaget.

“Itu loh, kamu ini sudah mau lulus, mau sekolah lagi atau tidak?”

“Mmm… Aku masih bingung, Bu. Mau sekolah atau bekerja saja.”

“Ya sudah, pikirkan dari sekarang ya.”

“Iya, Bu.”

Aku dan Ibu masih duduk di pekarangan sambil melihat hiruk-pikuk orang-orang berlalu lalang kesana-kemari. Ada yang baru saja pulang dari ladang, ada yang dari berdagang, hilir-mudik anak-anak bermain membawa suasana sore yang begitu hangat.

Aku tinggal di sebuah desa yang terpencil sebut saja Desa Luhur. Terlahir dalam keluarga yang sederhana, dengan empat bersaudara. Aku adalah si sulung, yang kedua masih kelas 5 SD dan yang ketiga dan keempat masih umur 3 tahun. Ya betul, mereka kembar. Bapakku seorang petani dan ibu di rumah mengurusi aku dan adik-adik kadang menjadi buruh cuci di tetangga.

Malam hari, selepas menyantap hidangan makan malam. Aku segera masuk ke kamar untuk belajar, sebab ujian kelulusan akan segera tiba. Pintu pun terbuka, ternyata Bapak masuk ke kamarku. Lalu bapak duduk di dipan yang berada persis di sebelah meja ku.

Nduk, sedang apa?” tanyanya.

“Aku sedang mengulang pelajaran yang disampaikan di sekolah, Pak. Sebentar lagi ujian kelulusan, jadi aku harus belajar agar lulus dan mendapatkan nilai bagus.” Runtuk ku sambil tersenyum.

“Belajar yang rajin biar ditiru sama adik-adikmu.”

“Baik, Pak. Siap laksanakan.”

“Setelah lulus kamu mau kemana, Nduk? Melanjutkan kuliah atau bekerja saja?”

“Aku masih bingung, Pak. Belum aku pikirkan, aku fokus dulu untuk ujian dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Kenapa Pak kok nanya itu?”

“Tak apa, Nduk. Bapak hanya ingin tau, kamu udah punya pilihan atau belum.”

“Bapak ada saran untuk aku?”

“Pilihlah sesuai hatimu, Nduk. Bapak yakin itulah yang terbaik untukmu.” Tandasnya sambil tersenyum kepadaku dengan mata yang berbinar-binar meyakinkanku. Ia pun beranjak melangkahkan kaki keluar kamarku. Sebelum pergi aku membalas senyumnya dengan mengisyaratkan kepercayaan Bapak terhadap anaknya. Tadi Ibu yang bertanya seperti itu persis sekali, sekarang Bapak yang bertanya. Ujarku dalam hati.

Angin berhembus kencang sampai menaikan bulu-bulu di tanganku, malam semakin larut lekas kubereskan meja belajarku dan segera berbaring dan menarik selimut. Bapak juga telah keluar dari kamar ku, sejak tadi kami berlempar senyuman. Sebelum benar-benar tertidur aku masih teringat pertanyaan Bapak tadi dan pertanyaan Ibu sore tadi.

Aku tau, aku hidup di tengah keluarga yang berkecukupan. Bisa sampai SMA saja sudah banyak bersyukur. Pasalnya, sedikit sekali di desaku yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, rata-rata hanya sampai lulusan SD. Biaya untuk sekolah di perguruan tinggi tak sedikit, aku hanya anak seorang petani. Bagaimana jika aku mandek di tengah jalan, bagaimana jika bapak dan ibu meminjam uang untuk biaya sekolahku dan akhirnya banyak utang. Itu yang terus di pikirkanku.

“Ah aku, ingin sekolah tinggi tapi tak tau diri, menyusahkan saja.” Tukasku berbicara sendiri di keheningan malam. Itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan sebelum terlelap tidur.

Terbangunlah aku dari lelapnya tidur. Hembusan angin membangunkanku, maklum setiap subuh Ibu pasti membukakan jendela kamarku. Bagiku hal kecil seperti itu menjadi sebuah alarm untuk beranjak bangun dari tempat tidur.

Hari ini adalah hari libur, maka aku sesekali membantu bapak di ladang atau membantu ibu di rumah, mengurusi adik-adik hingga memasak. Pagi hari saat hendak memasak untuk mengantarkan bekal Bapak di ladang. Ibu memanggilku, kebetulan aku sedang bermain dengan adik-adikku di pekarangan.

Nduk, nanti kamu yang antarkan bekal ke ladang, ya. Ibu ada kerjaan di tetangga.” Ujar Ibu.

“Baik, Bu. Nanti kalau sudah siap aku antarkan ke ladang.”

Saat bekal Bapak sudah siap, aku bergegas pergi ke ladang, Ibu pun sama bergegas pergi ke tetangga. Adikku yang kedua bertugas menjaga adik kembarku, saat aku dan Ibu belum pulang ke rumah.

Aku melambaikan tangan sambil berteriak “Pak, ini bekalnya.”

“Sini, Nduk.” Kata Bapak. Aku bergegas menemui Bapak dan memberikan bekal yang Ibu titipkan kepadaku.

“Duduk dulu temani Bapak, menyantap bekal buatan Ibumu.” Runtuknya.

“Iya, Pak. Boleh ya aku ikut makan Bersama Bapak.” Ujarku sambil tersenyum. “Tadi di rumah belum sempat makan” sambungku meyakinkan.

“Boleh boleh, Nduk. Mari makan Bersama.”

Aku dan Bapak menyantap bekal yang Ibu berikan. Rasanya enak sekali masakan Ibu yang nendang tak ada tandingannya, dibaluti suasana nyaman tentram di tengah ladang. Selepas ikut menyantapnya, aku bergegas pamit kepada Bapak untuk pulang.

“Pak, aku pulang dulu.” Tukas ku.

“Iya, Nduk. Sampaikan kepada Ibumu terima kasih untuk bekalnya.”

“Siap, Pak.”

Aku berjalan pulang dari ladang ke rumah sendirian, meskipun sendirian tapi tetap ramai karena banyak petani yang sedang di ladang. Sesekali aku menyapa orang-orang yang tengah berada di ladang, atau berteriak sekencang-kencangnya ditengah ladang setelah hampir wujud Bapak tak terlihat dipelupuk mataku. Hal tersebut sering dilakukanku ketika penat pikiranku menumpuk bak tingginya gunung, setelah berteriak rasanya cukup lega.

Bagikan
Exit mobile version