Site icon Inspirasi Muslimah

Mitos Tentang Tinggal di Luar Negeri

tinggal di luar negeri

Hari pertama sebagai guru di salah satu sekolah dasar swasta di Yogyakarta, hal pertama yang dikatakan kepada saya ialah kurang lebih sebagai berikut:
“ Orang tua siswa di sini tidak sedikit yang lulusan kampus luar negeri.”

Lulusan kampus luar negeri. Sebuah kalimat yang jujur langsung membuat saya agak gentar. Bagaimana tidak? Saya hanyalah lulusan kampus lokal dan juga masih lajang yang artinya tidak ada pengalaman dalam hal pendidikan anak. Apalagi sejak SD hingga bekerja, saya sama sekali tidak pernah merantau. Bisa dibayangkan betapa minimnya pengetahuan saya soal tinggal jauh dari rumah.

Dampak dari perkataan tersebut ialah hadir perasaan inferior setiap pertemuan dengan wali murid. Terutama dengan mereka yang pernah tinggal di luar negeri. Bayangan saya ialah mereka yang pernah tinggal di negara-negara ( yang terlihat ) maju merupakan kaum dengan kasta tinggi, mempunyai pola pikir yang canggih, dan tentunya memiliki sikap yang lebih beradab. Belum lagi dengan cerita mereka yang senantiasa membandingkan betapa menyenangkannya hidup di negara orang dibandingkan di Indonesia akibat setumpuk masalah yang menyertainya.

Hingga akhirnya pada tahun 2019, saya berkesempatan menyusul suami yang tengah menempuh studi doktoral di Brisbane, Australia. Kesan pertama tentu saja menyenangkan. Akhirnya saya tahu bagaimana menggunakan jasa penerbangan internasional dan tinggal di negara orang. Saya menyebutnya sebagai fase bulan madu, sebuah fase yang penuh euforia. Fase kala saya melihat postingan mereka yang tinggal di luar negeri dengan lensa liburan.

Nyatanya antara tinggal dan liburan di luar negeri sungguh dua hal yang berbeda. Lambat laun saya menyadari bahwa tinggal di Australia tidak seindah dan se-estetik postingan instastory. Biaya hidup yang lumayan mahal menjadi sesuatu yang nyaris kasat mata di awal. Hal inilah yang mendorong saya bekerja demi memperoleh hidup yang lebih mapan secara finansial.

Kembali soal bayangan mengenai mereka yang pernah tinggal di luar negeri. Setelah hampir empat tahun tinggal di Australia, bayangan idealisme tentang mereka yang tinggal di luar negeri lambat laun berubah. Berinteraksi dengan berbagai manusia Indonesia di sini secara perlahan menyadarkan saya bahwa kaum yang tinggal di luar negeri ini tidak jauh berbeda dengan mereka yang seumur hidup tinggal di Indonesia. Konflik antar sesamanya pun juga tidak jauh berbeda dengan yang saya temui sehari-hari di kampung. Bedanya hanya satu: lokasinya terjadi di luar negeri.

Contoh paling sederhana ialah keributan pemilu 2019 soal Jokowi vs Prabowo bahkan terbawa hingga ke sini, lengkap dengan drama yang melibatkan orang-orang yang sudah sangat lama tinggal di Australia dan berpendidikan tinggi.

Fenomena ini membuat saya merenung. Apa yang membuat saya dulu begitu mengagumi mereka yang pernah di luar negeri dalam jangka waktu yang tidak sebentar?

Salah satu jawabannya ialah saya terlalu take for granted bahwa segala hal yang berada di negara maju akan otomatis membentuk seseorang menjadi pribadi yang lebih baik daripada mereka yang sama sekali tidak pernah ke luar negeri. Sikap ini juga tidak lepas dari cara berpikir yang menganggap bahwa apa-apa yang berasal dari negara maju pasti lebih baik daripada di Indonesia. Sebuah pola pikir yang tidak saya sadari merupakan sikap rasis terhadap mereka yang belum ataupun tidak pernah tinggal di luar Indonesia.

Refleksi ini mengantarkan saya untuk berbenah, terutama pola pikir yang rasis ini. Saya belajar untuk tidak membandingkan dan menganggap rendah segala sesuatu yang ada di Indonesia. Tentu saja tidak mudah namun proses perbaikan ini harus dilanjutkan.

Lagipula, sejak kapan tinggal di luar negeri membuat kita lebih pantas dihargai daripada mereka yang hidupnya selalu di Indonesia?

Bagikan
Exit mobile version