Site icon Inspirasi Muslimah

Mimpi Udin

mimpi

Indah Novita Dewi

Tiap sore, pukul empat, Udin berjalan pulang bersama Emaknya sepanjang dua kilo meter. Usai bekerja di lampu merah, mereka singgah dulu di musala kecil untuk salat, baru pulang. Dari musala, mereka akan melewati rumah makan besar berlogo kakek-kakek. Udin tahu di situ menjual ayam goreng yang sungguh sedap nian. Dulu pernah ada dermawan yang membagi-bagi ayam dan nasi dari rumah makan itu. Jadi Udin sudah tahu rasanya.

Sore itu harum ayam goreng menerbitkan air liur Udin. Emak tak juga selesai berdoa usai salat. Selalu begitu. Emak doanya terlalu panjang. Udin duluan saja keluar jalan pelan-pelan, lalu mendekati rumah ayam goreng sedap itu.

Emak sudah berulangkali melarang, tapi kali itu Udin tak kuasa menahan keinginan mengintip dari kaca gelap. Udin menempelkan muka hingga hidungnya melekat di kaca. Ternyata pas di seberang kaca adalah dua orang ibu dan bapak muda sedang makan. Ibu itu melihat Udin, lalu menunjuknya, dan berbicara pada si bapak. Udin tidak tahu mereka ngomong apa.

Saat Udin hendak melangkah, seseorang memanggilnya.

“Hei, anak kecil, ke sini!”

Udin menoleh. Rupanya bapak tadi keluar memanggilnya. Di tangan si bapak ada bungkusan. Udin menghampiri riang.

“Ada apa, Pak?”

“Ini buat kamu. Tadinya mau buat anak saya di rumah. Tapi sepertinya kamu lapar. Biar nanti saya beli lagi untuk anak saya.”

Udin menerima bungkusan ayam dengan riang.

“Udin, ayo cepat pulang!” Emak sudah keluar dari musala dan memanggilnya. Udin segera berlari mengikuti langkah Emak.

 “Apa itu?” tanya Emak melirik, sambil tetap berjalan cepat.

 “Ayam, Mak. Udin dikasih. Baik sekali bapak itu.”

“Yang penting kau tidak minta-minta, kan?”

“Tidak, Mak. Tiba-tiba saja bapak itu memanggilku. Itu namanya rezeki, kan?” jawab Udin. Ia tak berani mengaku bahwa sebelumnya ia mengintip melalui kaca.

Emak mengangguk, lalu mempercepat langkah. Udin mengikuti dengan lari-lari kecil.

*

Esoknya seperti biasa mereka berangkat pagi. Emak langsung ke lampu merah untuk menjual koran dan majalah yang ia dapat dari Bang Asep, agen koran yang tinggal dekat rumah mereka. Udin didrop ke rumah singgah untuk belajar menulis dan membaca pada seorang sukarelawan. Nanti jam sepuluh, Udin akan bergabung dengan Emak, menjajakan tisu dan permen.

Udin dan emaknya memang orang miskin, walau demikian emak Udin pantang minta-minta. Harus bekerja walau hasilnya pas-pasan. Dan untuk Udin harus sekolah walau hanya kejar paket A. Kalau rajin, nanti Udin bisa ikut ujian negara dan mendapatkan ijazah setara SD.

Bayangan ayam menari-nari di kepala Udin. Ia berencana akan mengulang aksinya kemarin. Maka sorenya ia salat asar cepat-cepat, lalu meninggalkan Emaknya yang khusyu’ berdoa.

Yang ia intip adalah seorang nyonya berlipstik merah dan putrinya yang gendut. Putrinya menunjuk-nunjuk Udin yang mengintip, lalu si nyonya itu tampak cemberut dan mengibas-ngibas tangan ke arah Udin. Nyonya menoleh lalu berteriak seperti memanggil seseorang. Udin merasa itu pertanda buruk. Ia cepat-cepat beranjak pergi.

 “Hei, awas kamu, ya! Jangan mengganggu pelanggan rumah makan kami. Atau kulaporkan kau pada polisi. Mau?!” seorang lelaki muda berpakaian hitam putih berdiri di pintu rumah makan dan berseru mengacungkan tangan.

Udin berlari ketakutan hingga nyaris menabrak Emaknya.

“Kenapa, Din?”

  “Itu….”

 Lelaki muda itu ternyata mendekat dengan gusar.

  “Bu, tolong didik anaknya. Dia selalu mengintip mengganggu tamu yang sedang makan.”

 “Oh, iya. Nanti saya nasihati anak saya. Maaf, ya, Pak,” Emak menunduk, meraih tangan Udin, mengajaknya berjalan pulang.

“Udin baru dua kali mengintip, Mak,” Udin membela diri.

Emak diam. Tetap berjalan.

“Tamu yang tadi jahat sekali. Masak Udin cuma ngintip, mau dilaporin polisi? Kalau bapak yang kemarin baik.”

Emak masih diam.

“Udin suka sekali rasa ayam goreng itu, Mak,” bisik Udin.

Emak menoleh. Udin melihat ada genangan air di mata Emak.

“Nanti kalau ada rezeki, Emak belikan kau ayam seperti itu. Tidak bisa sering-sering. Mungkin dua bulan sekali. Tapi jangan mengintip lagi, ya.”

Emak berjalan lagi, cepat-cepat.

Udin tahu Emak sedih. Ia jadi merasa bersalah karena kelakuannya telah menyebabkan Emak sedih. Udin tahu bagaimana menggembirakan hati Emak lagi. Dengan menceritakan mimpi-mimpinya.

Sambil setengah berlari mengikuti langkah Emaknya yang panjang, Udin mulai bercerita. Menghibur Emaknya, seperti berulang kali selalu ia lakukan sebelum tidur sambil memijit kaki Emak.

“Besok-besok kalau Udin sudah besar, Udin punya mimpi bikin rumah makan ayam goreng, Mak. Terus, anak yang tidak bisa beli ayam, Udin kasih. Jangan sedih, ya, Mak. Doakan Udin, ya, Mak.”

Emak tersenyum. Menghapus air matanya, lalu mengaminkan mimpi Udin. Udin tersenyum senang.

Kata Kak Raya, sukarelawan yang mengajar di rumah singgah, Udin sudah menguasai pelajaran kelas 6. Ia akan segera mengikuti ujian setara SD. Setelah mendapatkan ijazah, Kak Raya akan membantu Udin mendaftar di SMP Terbuka, bahkan mencari donatur untuk kelanjutan pendidikan Udin. Udin percaya, mimpinya kelak akan menjadi nyata.**

Bagikan
Exit mobile version