Site icon Inspirasi Muslimah

Mereka Mempertontonkan “Kaya Itu Bahagia”

kaya

Sebelum adanya uang, orang dianggap kaya jika memiliki banyak harta bumi seperti tanah dan logam berharga. Seiring berjalannya masa, uang telah mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Kegiatan interaksi ekonomi saat ini tak akan bisa berhasil tanpa uang dengan proses perputaran dari kerja – mendapatkan gaji – membeli kebutuhan – meneruskan hidup.

Uang pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Lydia di abad ke-6 sebelum masehi, terbuat dari campuran emas dan berbentuk koin dengan berbagai cetakan gambar diatasnya. Lalu uang logam menyusul, dibuat oleh Croesus dari Bangsa Yunani di tahun ke-560 M, sampai pada terbentuknya uang kertas dari kulit kayu murbei oleh Ts’ai Lun, seorang kasim atau pejabat kerajaan Dinasti Han pada abad pertama masehi.

Dewasa ini, uang sudah begitu erat dengan menusia, banyak dari kita yang mengalihfungsikan uang dari alat transaksi biasa menjadi sebuah “kebutuhan hidup yang harus kita penuhi”. Mengapa bisa terjadi? Mari kita lihat beberapa pola logis.

***

Pada buku Mark Manson yang marak beberapa tahun belakangan ini, yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat, terdapat sebuah opini yang merubah mindset saya sebagai pelajar. Pada halaman ke-5 dikatakan bahwa “Dunia secara konstan mencecar anda bahwa jalan menuju kehidupan yang lebih baik adalah lebih, lebih, lebih-beli banyak, mendapatkan lebih banyak, dan buat lebih banyak. Mengapa? Dugaan saya: karena membeli lebih banyak barang, baik untuk bisnis”. Sebuah gagasan yang sangat masuk akal, bukan?

Kata “lebih” di situ selalu bersangkutan dengan uang. Misalnya lebih kaya, seseorang akan termotivasi berusaha lebih keras agar pendapatannya naik. Contoh lain adalah lebih cantik, maka perempuan akan tergopoh membeli lebih dari satu produk kecantikan agar definisi cantik yang dia inginkan terpenuhi. Bahkan ada beberapa yang rela merogoh uang puluhan hingga ratusan juta untuk mengubah badan mereka dengan operasi. Lalu gaya berpakaian yang lebih fashionable, maka orang-orang berduit akan menggesekkan kartu “emas”nya untuk membeli barang branded luar negeri. Untuk apa? Agar hatinya terpuaskan dari pandangan orang lain terhadapnya yang memiliki gaya hidup tinggi.

***

Sekarang, mari kita masuk pada fenomena “pamer harta” yang para artis negeri kita tercinta lakukan. Fenomena ini menakutkan dan mengkhawatirkan bagi generasi muda, mengapa? Pengikut akun media sosial mereka rata-rata dari kalangan usia menengah yang mana melihat kontennya hampir setiap hari, atau minimal sekali setiap pekannya.

Secara tidak sadar, anak muda akan memiliki gagasan bahwa kaya itu mudah dan menghasilkan kebahagiaan. Penyebabnya karena mereka melihat para elite mempertontonkan kebahagiaannya karena dapat menguasai barang-barang tertentu. Ya, kaya memang memudahkan banyak hal, tetapi tidak untuk kata bahagia. Sebenarnya tidak ada standar umum untuk sebuah kebahagiaan. Sejatinya bahagia hanya bisa seorang individu itu sendiri rasakan.

Membuat konten Youtube sepertinya sudah menjadi trend para artis akhir-akhir ini. Mereka saling mengunjungi rumah artis lain dengan berbagai macam judul seperti grebek rumah; geledah rumah; di balik pintu, yang intinya sama: mempertontonkan kekayaan mereka mulai dari baju merk luar negeri puluhan juta; tas branded ratusan juta;  koleksi mobil sport miliaran rupiah; dan desain rumah yang luar biasa menarik. Tak hanya itu, bahkan ada artis yang membeli jepit rambut jutaan, cangkir dan piring limited edition, dan beberapa hal yang sebenarnya tidak begitu berguna. Tentu saja mereka tidak memperhatikan konsekuensi dari aktivitas itu. Menurut mereka, sah-sah saja karena semua barang itu adalah miliknya, bukan milik netizen nyinyir ataupun haters.

***

Dari fenomena ini, kita telah mendapat teladan yang kurang baik. Pertama, definisi bekerja keras hanya tertuju pada harta yang mereka peroleh. Dengan kata lain, mereka mengukur kesuksesan seseorang dilihat dari ketebalan kantong dan menganggap orang tak berduit memiliki posisi status sosial lebih rendah. Kedua, fenomena tersebut adalah teladan yang salah dalam membelanjakan uang untuk barang sekunder, bukan primer. Alangkah lebih baik jika uang itu diputar ulang dengan membuka usaha agar tercipta lapangan kerja bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Atau, jika memang ingin membelanjakan uang sebagai bentuk apresiasi diri setelah bekerja keras, boleh membeli barang-barang bagus dengan syarat tidak berlebihan.

Ketiga, gaya hidup seperti itu dapat menimbulkan kecemburuan dan kemarahan publik karena mereka berfikir bahwa hidupnya lebih sulit. Kelompok kurang mampu merasa iri melihat orang-orang kaya yang memeroleh uang lebih mudah dan menghambur-hamburkannya dengan senang hati, sedangkan mereka juga sudah bekerja keras akan tetapi tidak mendapat uang yang sepadan.

Pertunjukan “kaya itu bahagia” sudah saatnya diminimalisir agar problematika tiap golongan tidak membesar seperti kejadian revolusi sosial. Di mana kaum borjuis dibantai karena dipercaya telah turut andil dalam menyengsarakan rakyat dengan mengambil untung sebanyak-banyaknya. Ditambah lagi, adanya dukungan dan kerja sama bersama pemerintah yang sentralis. Pemberontakan rakyat biasanya dipicu oleh pendapatan yang kurang memuaskan, meningkatnya pengangguran, dan bahan konsumsi primer yang tinggi.

***

Standar ekspektasi yang kelas atas ciptakan, sebenarnya palsu. Kata sukses dan berhasil ini relatif, tidak ada takaran pasti, dan berpaku pada diri kita sendiri. Misal, seorang pedagang kaki lima merasa sudah berhasil melewati satu hari hidupnya ketika dagangan yang ia jual laris manis. Seorang pelajar menganggap ia sudah berhasil jika telah melewati ujian akhir yang menegangkan dengan baik. Seorang pebisnis berfikir ia sudah sukses jika sudah berhasil membuat konsumen percaya dan menyukai produknya sehingga menjadi pelanggan setia.

Sebaiknya kita mengingat, bahwa masih banyak standar hidup lain yang lebih baik kita gunakan sebagai tujuan hidup: spiritual, edukasi, dan psikis yang tangguh. Mental kuat akan membawa kita melewati problematika hidup dengan lancar. Edukasi tinggi akan mengantarkan kita kepada pemahaman hidup yang luas. Spiritual yang baik akan mendekatkanmu pada Sang Pencipta.

Jangan sampai pertunjukan pamer harta ini membuat kita sempit dan tersudut karena tidak memiliki kekayaan yang sepadan dengan mereka, tidak bisa mendapatkan barang dengan mudah, tidak dapat mengambil dan memutuskan sesuatu seenak mereka. Dewasa ini, kita memang membutuhkan uang, namun bukan hal yang sangat sangat penting dan harus kita penuhi mati-matian dengan darah dan keringat. Uang bukan segalanya. Jika uang adalah tangga paling puncak dalam hidup, maka semua orang kaya di dunia akan bahagia, tak ada perselingkuhan dan perceraian. Jika uang bisa membeli kebahagiaan, tak akan ada orang kaya yang bunuh diri maupun saling bunuh.

Jadi, definisi kaya seperti apa yang akan kau tentukan?

Bagikan
Exit mobile version