Site icon Inspirasi Muslimah

Menolak Kehidupan Patriarki

patriarki

Hingga saat ini, patriarkisme masih lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya ini banyak ditemukan di berbagai bidang, mulai dari lingkup domestik, sosial, ekonomi, hingga politik. Istilah patriarki diartikan sebagai suatu ideologi yang memusatkan laki-laki sebagai penguasa, derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Lawan dari patriarki ialah matriarki, yang berarti otoritas berpihak pada perempuan.

Patriarki merupakan suatu konstruksi sosial yang terbentuk telah lama. Merujuk sebuah artikel dari laman PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY, ternyata bibit-bibit kehidupan patriarkal muncul ketika peradaban pertanian ribuan tahun lalu. Mereka mulai menaklukkan kawasan-kawasan untuk dijadikannya lahan pertanian. Penaklukkan ini tentunya tidak mudah, peralatan mereka yang serba primitif membutuhkan tenaga ekstra untuk membabat lahan.

Mereka juga memerlukan makanan, sebab proses pembukaan lahan ini berlangsung begitu lama, bahkan hingga ratusan tahun. Di sinilah peran perempuan mulai bergeser, tadinya kegiatan seksual dianggap tidak penting kini menjadi penting. Mereka membutuhkan tenaga kerja lebih banyak, dan reproduksilah solusinya. Selain itu, para perempuan dengan keterampilan mereka menanam biji-bijian sebagai sumber makanan. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini terus berlangsung, sehingga peran perempuan dalam kegiatan produktif di masyarakat mulai tersingkir. Kebudayaan masyarakat di Indonesia pun mendapatkan pengaruhnya.

Budaya patriarki sering kali membatasi perempuan untuk bertindak. Mereka tidak bebas melakukan sesuatu karena terjerat oleh ideologi patriarki, yang kemudian menerbitkan kesenjangan gender. Inilah akar munculnya feminisme. Feminisme adalah gerakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, hak-hak perempuan disuarakan. Agar mereka mampu sejajar dengan kaum pria, dan merdeka dalam berbuat segala sesuatu. Sejajar dalam artian tidak ada perbedaan curam yang berpihak pada salah satunya.

Ketimpangan gender masih terjadi saat ini. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), pada tahun 2023 Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Indonesia semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, 0,447/2023, 0,459/2022, 0,465/2021. Penurunan ini dipengaruhi oleh upaya-upaya perbaikan dari segala dimensi pembentuknya. Kendati mengalami penurunan, ketimpangan gender masih tetap ada dan terjadi di berbagai elemen sosial. Misalnya, partisipasi wanita dan pria dalam perpolitikan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

Dalam lingkup domestik, mudah didapati ketimpangan gender. Paradigma peran perempuan yang hanya berkutat dalam lingkup domestik saja, masih banyak kita temukan di era sekarang. Hal ini relevan dan tidak lepas dengan sejarah munculnya patriarki, sebagaimana dijelaskan di atas. Meski dewasa ini banyak perempuan mulai meninggalkan paradigma tersebut, namun masih banyak juga perempuan yang terjerat di dalamnya. Mereka enggan melakukan kegiatan produktif dalam kehidupan sosial masyarakat. Suami menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah, sedangkan istri sibuk mengurus rumah dan melayani suaminya.

Selain itu, dominasi laki-laki dalam dunia kerja juga sangat tinggi. Persentase laki-laki pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 2023 berada di angka 84,26%, sedangkan perempuan 54,52%, selisih cukup jauh dengan perempuan. Tidak hanya itu, sering ditemukan adanya ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja, misalnya penggajian karyawan. Rata-rata upah buruh per bulan Februari 2024 menurut BPS, laki-laki sebesar Rp3.300.563 dan perempuan Rp2.572.012 per bulan. Terlihat jelas dari data tersebut, bahwa ada ketimpangan yang berat sebelah. Laki-laki lebih diunggulkan. Masih banyak kasus lain yang berimplikasi ketidaksetaraan gender dan nuansa patriarkal.

Selain itu, betapa banyaknya kasus asusila di negeri ini. Detiknews (2022) melaporkan adanya kasus kekerasan seksual majikan ke pegawainya di Jakarta. Pemudi berusia 17 tahun harus menanggung keburukan akibat diperkosa oleh bosnya sendiri. Kejadian serupa masih banyak terjadi di berbagai tempat.

Dalam catatan komnas perempuan, pada tahun 2022 terdapat 457.895 pengaduan kekerasan pada perempuan. Dengan pemetaan sebagai berikut: dari data layanan komnas perempuan didominasi oleh kekerasan seksual yaitu sebanyak 2.228 kasus/38,21%, dan kekerasan psikis 2.083 kasus/35,72%, sedangkan dari data lembaga layanan didominasi oleh kasus kekerasan fisik sebanyak 6.001 kasus/38,8% kemudian kasus kekerasan seksual sebanyak 4.102 kasus/26,52%.

Jika kita lihat, berdirinya komnas perempuan sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap perempuan, ini merepresentasikan bahwa perempuan dianggap lemah. Sejauh ini belum ada komnas laki-laki. Meskipun ada kekerasan terhadap laki-laki, akan tetapi perbandingannya jauh lebih tinggi kasus-kasus yang dialami perempuan. Laki-laki cenderung menjadi aktor atas kekerasan itu sendiri.

Selanjutnya, budaya patriarki dalam dunia pendidikan. Telah lama menjadi paradigma bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa pendidikan bagi perempuan dianggap tidak terlalu penting. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, akhirnya juga harus kerja di dapur, demikian ujar mereka. Padahal stigma semacam ini baiknya tidak dipelihara. Semua memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Menurut BPS, persentase penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan SMA ke atas pada tahun 2023 antara lain: perempuan 37,60% dan laki-laki 42,62%. Banyak faktor mengapa hal ini bisa terjadi, bisa karena faktor ekonomi, adat, termasuk agama. Tanpa berniat menyalahi, banyak doktrin-doktrin agama yang meruncing pada hal-hal misoginis, yang kemudian diyakini bagi pemeluknya. Seharusnya kita perlu mengkaji ulang literatur-literatur keagamaan yang mengandung kecondongan gender. Padahal seluruh makhluk pada hakikatnya setara.

Sebelum abad 20, di Indonesia wanita dilarang sekolah. Hal itu terjadi karena dipengaruhi oleh adat istiadat. Jangankan bersekolah, keluar rumah pun harus didampingi oleh suami. Setelah munculnya para feminis, seperti R. A. Kartini dan Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah, mulai muncul sekolah-sekolah untuk perempuan. Mereka sadar bahwa selama ini kaum perempuan terkekang oleh budaya. Padahal tidak ada demarkasi yang jelas dalam kualitas antara laki-laki dan perempuan. Mereka dapat saling mengungguli antara yang satu dan yang lain. Namun, perempuan dipaksa tunduk dan bungkam, sehingga para lelaki mendominasi.

Koridor perpolitikan rupanya juga dijamah oleh patriarkisme. Sejauh ini, kebanyakan penguasa nampaknya diduduki kaum pria. Hanya segelintir saja partisipasi wanita di dalamnya. Berdasar pada hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 20,8% atau 120 anggota dari 575 anggota.

Di dalam undang-undang, keterwakilan perempuan di parlemen setidaknya 30% dari keseluruhan. Penetapan angka 30% itu pun bernapas patriarkal. Jika neraca yang digunakan adalah keadilan atau kesetaraan, seharusnya diimbangkan yakni 50%-50%. Akan tetapi, minat kaum perempuan sangat rendah ketimbang laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik.

Era modern saat ini, sudah saatnya kita tidak terbelenggu pada dogma-dogma yang menyebabkan ketimpangan gender. Seorang laki-laki perlu sadar bahwa dia tidak lebih tinggi dari perempuan. Mereka juga memiliki kodrat yang sama, yaitu sama sebagai manusia. Para wanita juga harus sadar bahwa dirinya tidak lebih rendah dari laki-laki. Serta tidak menelan mentah-mentah dogmatisme yang bias gender.

Penting rasanya memberikan wawasan gender kepada generasi bangsa sejak dini. Agar tertanam dalam diri mereka untuk menjunjung kesetaraan. Dunia ini bukan milik para lelaki saja, tetapi milik semua. Setiap pribadi bebas berekspresi, tanpa takut pada apapun. Sehingga, kesetaraan gender dapat kita raih bersama.  

Bagikan
Exit mobile version