Site icon Inspirasi Muslimah

Menjalani Lebaran Pertama Tanpa Seorang Ibu

lebaran

M.-Afiqul-Adib (1)

Tahun ini adalah Lebaran pertama saya tanpa seorang ibu. Aku agak kesusahan untuk menggambarkan bagaimana rasanya. Aku hanya bisa mengatakan setelah ibu nggak ada, mengunjungi keluarga seperti berkunjung pada ingatan. Iya, selalu ada jejak ibu dalam tiap sudut obrolan.

Tak hanya itu saja, semua momen Lebaran mulai dari mendengar takbir hari raya, berangkat salat Idulfitri, sampai suara toples yang dibua secara perlahan pun membuat pikiran secara tiba-tiba berkelindan pada sosok ibu yang mustahil sekali untuk dapat hadir dalam wujud yang dapat dipeluk.

Yah, seharusnya lebaran menjadi momen yang menyenangkan. Dapat berkumpul bersama keluarga, baju baru, mendapat THR, makan gratis, jajan berhamburan, bisa Lebaran, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Tahun ini memang cukup berbeda. Setidaknya bagi saya. Semua bermula di bulan Juni tahun lalu saat ibu saya masuk rumah sakit di sore hari, kemudian meninggal di malam harinya. Yah, kejadiannya begitu cepat, tapi kesedihannya berjalan dengan sangat lamban.

Sampai hari ini aku bahkan masih mencium aroma getir dan sedihnya, apalagi ketika melihat foto ibu. Sungguh, kehilangan seorang ibu adalah kisah sedih yang level sedihnya sangat tidak masuk akal.

Dulu, saat mendengar suara takbir hari raya, aku sering merasa haru. Tapi sekarang beda, rasanya berubah menjadi sesak, hambar, dan tak lagi sumringah. Dulu ketika lebaran, acapkali membuat saya memiliki semangat anak belasan tahun. Sekarang, alih-alih bersemangat, tidak merasa sedih saja sudah sangat bagus.

Ada satu hal yang susah untuk tidak dirindukan ketika Lebaran, yakni masakan seorang ibu beserta percakapan basa-basi ketika sedang memasak. Iya, dulu ketika ibu memasak, saya sering menemuinya dan mengajaknya membicarakan banyak hal, kemudian mencicipi makanan yang sudah matang.

Dan ketika itu terjadi, respon ibu hampir selalu sama, “Jangan dihabiskan, itu untuk orang banyak.” Kalimat yang pada akhirnya tak pernah gagal membuatku menangis ketika mengingatnya.

Oseng-oseng kerang dan cumi-cumi adalah makanan terakhir buatan ibu yang aku santap dengan lahap. Kini aku memang bisa membuat olahan tersebut sendiri, tapi rasanya tak pernah sama.

Dan entah kenapa, meski masih terdengar suara obrolan, serta kunjungan dari tetangga dan keluarga, rumah menjadi tidak semeriah dulu. Semua hal yang berhubungan dengan ibu memang tak bisa digantikan begitu saja.

Hal yang sama sepertinya juga dirasakan oleh beberapa orang yang harus merayakan lebaran dengan keadaan kehilangan. Saya ingat, ketika malam takbiran tiba, ada seorang teman mengirimkan pesan. Ia adalah remaja yang tidak lagi memiliki ayah dan ibu.

“Selamat menikmati lebaran tanpa sosok Ibu, ya dib.” Ucap teman saya, “Padahal di sini banyak aktivitas. Banyak keluarga juga, tapi sedihnya masih terasa.”

Teman saya yang lain juga mengirim pesan, ia bercerita kalau dulu bapaknya sering melantunkan takbir ketika hari raya. Dan tahun ini, ketika bapaknya sudah tiada, dalam lamunannya, suara bapaknya tetap wujud.

Yah, sampai sana saya sadar bahwa kesedihan ini dirasakan oleh banyak pihak. Di saat kebanyakan orang merayakan Lebaran dengan kegembiraan, saat yang sama juga banyak orang yang menanggung kesedihan dan tetap harus hidup. Ironi seringkali hadir dalam wujud yang tak seharusnya ada.

Sebagian orang menganggap kalau lebaran adalah tentang baju baru dan berkumpul dengan keluarga. Sebagian lagi merasa Lebaran adalah sudut sesak dari pertanyaan seputar “kapan?” Dan pernyataan menyebalkan tentang membandingkan diri dengan orang lain.

Tapi bagi orang yang sedang kehilangan, Lebaran adalah fase bertahan hidup dari segala kesedihan. Karena itu golongan tersebut sering melampiaskannya dengan menangis, tertawa dengan terlalu keras, makan terlalu banyak, serta menyendiri terlalu dengan waktu yang sangat lama.

Yah, meski sudah sekuat tenaga mengelak dan menghibur diri dengan banyak hal. Tetap saja tak bisa. Kesedihan adalah sebuah emosi yang tidak ada tombol on/off nya. Artinya hal tersebut hanya bisa diterima, diakui, dan dimaafkan saja.

Idulfitri adalah momen untuk saling memaafkan. Dan memaafkan diri sendri adalah langkah pertama yang harus saya lakukan sebelum meminta maaf pada orang lain.

Mengakui kalau kita sedang sedih, kecewa, atau sakit hati adalah sebuah upaya agar emosi yang kita miliki tidak berubah menjadi kebencian. Denial terhadap kekecewaan hanya menyebabkan kita membenci banyak hal, mudah emosi ketika melihat orang lain bahagia atau mencapai sesuatu. Semua merupakan salah satu tanda bahwa kita belum berdamai dan memaafkan diri sendiri.

Yah, aku percaya, segala hal cuma butuh adaptasi aja kok. Sisanya bakal baik-baik saja.

Oh iya, karena hari ini masih bulan Syawal, aku juga pengin ngucapin Selamat hari raya Idulfitri dan selamat menikmati momen dengan keluarga. Mohon maaf lahir batin yak orang-orang baik. Jangan lupa untuk memaafkan diri sendiri.

Bagikan
Exit mobile version