Site icon Inspirasi Muslimah

Menghadirkan Pendidikan Toleransi di Tengah Keluarga

pendidikan

Anam-Kuthut-1

Hampir setiap orang banyak di antara kita mengharapkan memiliki keluarga yang baik-baik saja. Bisa mencapai tujuan dari pernikahan yaitu membangun dan membina rumah tangga menjadi keluarga yang damai. Kedamaian dalam keluarga bisa dicapai bilamana orangtua memiliki pengetahuan yang cukup. Rumah tangga yang diamanahi oleh Allah Swt. berupa seorang anak seakan menjadi kesempuranaan dalam berkeluarga.

Secara psikologis dan sosial, pertumbuhan dan perkembangan seorang anak banyak dibentuk melalui imitasi, yaitu meniru. Berarti meniru kedua orangtuanya baik dalam sikap maupun meniru mereka cara perilaku. Sikap dan perilaku-perilaku yang anak tiru adalah orangtuanya sendiri. Tempat pertama kali sebagai sistem pendidikan bagi seorang anak adalah lingkungan keluarga.

Pendidikan yang tanpa ada kurikulum itu terjadi di dalam lingkungan keluarga. Ada beberapa peraturan yang perlu seorang anak taati dan jalankan atau bahkan harus ia tinggalkan. Ketika orangtua mendidik anak, mentransformasi pengetahuan ke dalam diri seorang anak perlu memerhatikan psikologisnya, jangan sampai si anak malah terkena mentalnya lalu berujung dengan tindakan yang tidak toleran.

Mememilihara Sikap Kekeluargaan

Dalam bertindak terhadap suatu problem di lingkungan keluarga haruslah mengedapankan rasa saling pengertian. Sikap saling mengerti ini berarti rasa saling memahami. Dalam membina rumah tangga, tidak dipungkiri pasti pernah terjadi problem, perbuatan yang dilakukan oleh anggota keluarga baik secara yang disengaja atau pun tidak. Apa lagi jika sudah memiliki anak dengan pola pikir/perilaku yang berbeda, antara anak yang satu dengan yang lainnya, di sinilah peran orangtua untuk memberikan pendidikan toleransi dalam keluarga, tertutama adalah ibu.

Perempuan menjadi peran yang sangat penting dalam lingkungan keluarga. Pendidikan pertama kali yang seorang anak dapatkan yaitu dari seorang ibu. Sejak masih di dalam kandungan hingga tumbuh menjadi anak di bawah usia lima tahun. Ketika masih di dalam kandungan, seorang calon ibu dari anak yang dikandung hal pertama yang perlu diperhatikan adalah pola makan, asupan gizi. Seorang suami pun harus memerhatikan darimana nafkah yang telah ia dapatkan untuk keluarganya tersebut.

Jika nafkah yang didapatkan dengan cara yang tidak baik, seperti mencuri barang kepunyaan tetangga, mencuri uang milik temannya di kantor, menipu atau curang ketika berjualan, apa lagi menafkahi anak dari hasil korupsi. Bisa menjadikan kehidupan keluarga jauh dari keberkahan, lebih-lebih seorang anak ketika beranjak remaja bisa menjadi anak yang pembangkang, suka bertindak kekerasan. Perilaku kekerasan inilah menjadi indikator bahwa anak tersebut menjadi intoleran. Ciri utama sikap intoleransi yaitu suka bertindak dengan kekerasan.

Mendidik dengan Kelembutan Hati

Ketika orangtua mendidik anaknya sendiri tidak seluruhnya seorang anak itu diposisikan sebagai obyek yang dapat dibentuk semaunya orangtua sendiri. Ketika anak sudah mulai beranjak remaja, diajak berpikir secara logis dalam mengambil keputusan. Agar kelak anak terbiasa mengambil keputusan dalam hidupnya tidak tergesa-gesa. Sebab perbuatan atau tindakan yang tergesa-gesa merupakan bagian dari hasutan setan. Mengapa bisa dikatakan hasutan setan?

Coba kita renungkan, ketika kita melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa biasanya akan mudah sekali muncul sikap marah. Semisal ketika hendak berangkat kerja mencari nakfah. Berangkat dengan tergesa-gesa pasti cara kita mengendarai kendaraan juga berbeda. Bisa jadi malah saling adu mulut dengan orang lain yang sama-sama pengguna jalan ketika tersenggol. Sedangkan sikap seorang pemarah, atau mudah marah sangatlah Nabi Muhammad Saw hindari. Bahkan Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda dengan redaksi wa la taghdhob. Nabi mengulangi kalimatnya sampai tiga kali.

Kalau orangtua ketika memberikan pelajaran kehidupan terhadap anaknya disertai dengan sikap kemarahan kemungkinan akan dibarengi dengan kekerasan, semisal main tangan (menampar wajah anak). Anak yang mendapat perlakuan sedemikan rupa ada kemungkinan akan melakukan perlawanan, yaitu dendam. Lagi-lagi sikap dendam terhadap siapa pun terlebih terhadap kedua orangtua sendiri, merupakan hal yang tidak patut dilakukan, dilarang dalam ajaran agama Islam yang penuh rahmah.

Anak dan Pendidikan Humanis

Kita tahu setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda. Sebagai orangtua sekaligus menjadi pembimbing dalam menemukan potensi seorang anak, mereka tidaklah sama. Anak yang satu tidak bisa dituntut agar seperti anak yang lainnya. Orangtua harus melihat anak sebagai manusia seutuhnya. Anak dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiaannya. Bilamana orangtua sudah bisa melihat seorang anak sebagai manusia yang fitrah dengan kamanusiannya, maka dalam keluarga tersebut telah menerapkan pendidikan humanistik. Apa lagi ini sejalan dengan ajaran agama Islam, agama Islam hadir dalam rangka kemanusiaan.

Ajaran Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan terhadap siapa pun, termasuk seorang anak. Agama dipercaya mampu merangkai kehidupan pada ranah kebudayaan dan peradaban menjadi selaras dan serasi. Kehidupan selaras dan serasi inilah yang menciptakan rasa kedamaian dan ketentraman baik di lingkungan masyarakat terkecil yaitu keluarga maupun di lingkungan masyarakat secara luas.

Bagikan
Exit mobile version