Site icon Inspirasi Muslimah

Mencegah Perkawinan Anak, Memutus Rantai Kemiskinan

mencegah perkawinan anak
Perkawinan Anak di Indonesia Masih Tinggi

Saat ini, Indonesia berada di urutan ketujuh tertinggi di dunia sebagai negara dengan jumlah kasus perkawinan anak. Prevalensi perkawinan anak di Indonesia sempat mengalami kenaikan dari 11,1 pada 2016 menjadi 11,2 pada 2018. Merespon hal tersebut, pemerintah menetapkan target penurunan perkawinan anak hingga 8,74% pada 2024. Namun ikhtiar tersebut memiliki tantangan karena situasi pandemi yang terjadi tiga tahun belakangan turut berkontribusi menjadi salah satu penyebab perkawinan anak.

Melalui program Inklusi, ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan berkemajuan di Indonesia, berfokus pada isu ini. Dalam Workshop “Analisis Kebijakan dan Implementasi Pencegahan Perkawinan Anak dalam Perspektif GEDSI” yang digelar pada 19/07 kemarin; ‘Aisyiyah bersama Kementerian Agama RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, serta DP3AP2KB Kabupaten Moros membedah kebijakan dan best practise yang telah dilakukan terkait pencegahan perkawinan anak.

Analisis dan Implementasi Pencegahan Perkawinan Anak ini dinilai dalam perspektif GEDSI. Adapun GEDSI adalah sebuah perspektif yang mengarusutamakan nilai-nilai Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial dalam sebuah penelitian dan advokasi sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah dalam program Inklusi ini.

Sebab Akibat Perkawinan Anak

Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris PP ‘Aisyiyah, menyampaikan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab perkawinan anak. Kemiskinan menjadi penyebab yang kerap menjadi alasan karena sebagian besar orang tua menganggap dengan menikahkan anak, terutama anak perempuan; maka akan mengurangi beban hidup keluarga. Faktor budaya dan pemahaman agama yang keliru dalam memaknai perkawinan anak juga menjadi latar belakang maraknya perkawinan anak.

Tidak mengherankan jika pasangan usia dini justru melanggengkan lingkaran rantai kemiskinan; sebab rata-rata pasangan-pasangan ini menikah di usia yang belum bekerja. Dampak tersebut juga diamini oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diwakili oleh Rohika Kurniadi Sari, bahwa perkawinan anak tidak hanya menimbulkan kemiskinan; namun juga melahirkan para pekerja anak dengan upah rendah dan hal tersebut menciderai hak anak.

Dampak domino selanjutnya ialah lost generation yang menjadi ancaman nyata bagi Indonesia di masa depan. Perkawinan anak melahirkan rentetan permasalahan karena terjadi di usia yang belum matang, seperti memicu stunting, perceraian, KDRT, serta meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Oleh karena itulah upaya pencegahan perkawinan anak menjadi penting untuk dilakukan.

Rohika melanjutkan, bahwa upaya tersebut memiliki banyak sekali tantangan. Masih banyak dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan tokoh masyarakat belum memahami hak dan perlindungan anak. Tidak hanya mengenai hak dan perlindungan anak, namun juga tentang regulasi perkawinan anak yang sebenarnya telah secara tegas mengatur batas minimal menikah.

Pemahaman yang belum baik turut melanggengkan praktik perkawinan anak, pada akhirnya dianggap sebagai bagian dari tradisi dalam masyarakat terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Tafsir agama yang keliru seperti ‘lebih baik menikah daripada berzina’ menjadi senjata pembenaran orang tua untuk menikahkan anak-anaknya yang masih remaja.

Sebenarnya Kementerian Agama melalui KUA sudah melakukan sosialisasi mengenai usia pernikahan yang ideal. Kemenag melakukan intervensi terhadap si anak untuk membangun self awareness. Layanan tersebut seperti layanan bimbingan bagi remaja, bimbingan pra nikah pemuda/pemudi yang belum menikah, bimbingan pra nikah bagi calon pengantin, bimbingan bagi keluarga muda dan bimbingan bagi pasangan suami istri. 

Layanan mengenai kesehatan reproduksi juga telah dilakukan, namun sinergi program antar pemerintah dan lembaga non-pemerintah belum terjadi secara optimal. Sinergi koordinasi program dan layanan antar pemangku kepentingan harus menjadi komitmen bersama.

Best Practise Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah

Fitri Adhecahya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Kabupaten Maros berbagi mengenai best practise pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Maros. Misalnya, dengan membentuk Koalisi Pencegahan Perkawinan Anak yang melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, tokoh agama, hingga forum anak.

Selain melalui koalisi dan regulasi, Kabupaten Maros juga menerapkan sanksi. Sanksi tersebut berupa sanksi administratif dan sosial. Sanksi administratif misalnya tidak diperbolehkan mengadakan pesta perkawinan; sementara sanksi sosial misalnya pemerintah desa dan agama setempat tidak akan menghadiri acara perkawinan tersebut. Kebijakan yang diterapkan telah menekan angka perkawinan anak di Kabupaten Maros; namun tentu usaha ini perlu ditingkatkan seiring dengan munculnya tantangan-tantangan baru dalam pencegahan perkawinan anak di daerah.

‘Aisyiyah memiliki komitmen yang tinggi untuk mencegah perkawinan anak. ‘Aisyiyah mendorong adanya peraturan-peraturan turunan seperti di tingkat desa untuk mencegah perkawinan anak. Ini menjadi strategi yang baik untuk mencegah adanya perkawinan anak. Dengan kerja sama dan komitmen semua pihak, maka perkawinan anak dapat ditekan dan menurunkan angka kemiskinan. Harapan ke depannya, dapat menciptakan generasi yang berkualitas. 

Bagikan
Exit mobile version