Site icon Inspirasi Muslimah

Memperlakukan Islam sebagai Agama Akar Rumput

agama

Oleh: Sirajuddin Bariqi

Ketika Islam hadir di tengah masyarakat Arab Jahiliyah, ia membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Di satu sisi, ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad dan para sahabat membuat objek dakwahnya tergugah untuk memeluk agama Islam. Namun, di sisi lain, meradang karena pesan ajarannya yang tegas, menyentuh akar persoalan, dan terutama menentang keangkuhan pemuka Quraisy.

Kehadiran Nabi Muhammad dan ajarannya oleh pemuka Quraisy dianggap mengganggu stabilitas sosial, politik, dan ekonomi bangsa Arab. Yang itu berarti mengganggu posisi dan/atau kuasa mereka atas uang dan masyarakat akar rumput. Pemuka Quraisy bukan tidak percaya pada ketuhanan Allah Swt sebagai pencipta langit dan bumi (QS. Al-Mu’minun: 86-87). Mereka hanya tidak ingin dengan keberadaan agama Islam, kedudukan mereka di masyarakat menjadi terganggu.

Penolakan mereka bertujuan untuk menguatkan kedudukannya di dunia, sementara Islam menawarkan kedudukan di dunia dan akhirat. Hal ini ‘ditanggapi’ oleh Allah melalui narasi ayat Al-Quran yang diturunkan pada masa-masa awal kenabian. Ayat tersebut mengandung pesan ketauhidan dan ancaman di kehidupan selanjutnya bagi orang-orang yang menyekutukan Allah dan menyombongkan diri dengan kedudukannya di dunia.

Melegitimasi Kepentingan

Tidak ada yang berubah dengan pesan Al-Quran. Yang berubah adalah pemahaman dan interpretasi umat atasnya, yang sedikit-banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, geografis, ekonomi, termasuk politik. Ketika pesan suci Al-Quran bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan yang didasari atas kondisi tersebut, dimensi sakralnya memudar. Hal ini seringkali dijadikan pembenaran bahwa tidak ada tafsir yang mutlak benar. Hingga yang paling jauh, menjadi semacam legitimasi untuk menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan syarat-syarat yang mesti dipenuhi.

Menjadi sebuah ironi ketika pesan ajaran Islam itu direduksi dan dikemas untuk disesuaikan dengan kepentingan sang ‘mufasir’ (pemuka agama, akademisi Islam). Baik itu untuk meraih kedudukan sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam sejarah peradaban Islam, tidak jarang keadaan seperti ini terjadi. Jika sudah begitu, biasanya akan terjadi perdebatan –untuk tidak mengatakan pertengkaran– antar ulama. Yakni antara ulama yang ‘memegang teguh’ ajaran Islam dengan ulama yang telah ‘menjual’ ajaran Islam dengan harga yang murah.

Di antara yang dirugikan dari perdebatan ini adalah masyarakat Islam akar rumput. Jika pada masa-masa awal kehadiran Islam mereka mendapat perlakuan yang baik dan istimewa. Maka, pada masa-masa selanjutnya, tidak jarang mereka hanya dijadikan ‘alat’ oleh pihak yang mempunyai kepentingan. Pemuka agama dan/atau akademisi Islam tidak jarang mengatasnamakan kepentingan masyarakat akar rumput untuk menyembunyikan kepentingannya yang sebenarnya.

Seringkali, mereka ‘berniat’ membela kepentingan masyarakat dengan cara yang tidak dapat dimengerti apalagi dipahami oleh masyarakat itu sendiri. Dampaknya tentu saja adalah adanya jarak antara apa yang diucapkan atau dilakukan dengan tujuannya (jika benar tujuannya adalah untuk membela). Mereka berteriak, sementara yang diteriakkan tidak sampai maksud, tujuan, dan hasilnya.

Dengan keadaan seperti itu, tidak heran jika dewasa ini masyarakat akar rumput meragukan kredibilitas dan ketulusan mereka sebelum benar-benar melakukan langkah praksis demi kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan Islam. Oleh karenanya, posisi Islam sebagai agama amal (yang dekat dengan masyarakat) lebih didambakan dan dirindukan masyarakat akar rumput, daripada ajaran Islam yang disampaikan dari ‘ketinggian’, yang terlepas dari kehidupan masyarakat dan berpotensi membawa kepentingan di dalamnya.

Kembali kepada Inti Ajaran

Harus diakui, tidak sedikit pihak yang menyerukan narasi kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah yang terkesan sekedar tampilan luar, seperti cara berpakaian dan berpenampilan. Muncul kemudian istilah-istilah baru dengan label syar’i. Dengan tidak bermaksud menyalahkan, hanya mungkin seruan tersebut kurang menyentuh akar persoalan yang tengah dihadapi umat saat ini. Di sisi yang lain, terlalu banyak juga pemuka agama dan/atau akademisi Islam yang menyerukan dakwah Islam dari ketinggian, yang seruannya tidak sampai ke masyarakat akar rumput.

Kemiskinan dan terutama kesenjangan merajalela. Dengan ajaran Islam yang tidak mengenal strata sosial, disertai fakta historis pesan dakwah Nabi pada masa awal kenabian, pemuka agama dan/atau akademisi Islam hendaknya tergerak untuk tidak sekedar menyelesaikan persoalan yang tampak di permukaan. Tetapi juga menyentuh dan memberantas hingga ke akar, dan tidak juga sekedar berteriak dari ketinggian, tetapi turun langsung ke dalam realitas persoalan.

Mengikuti Jejak Idealisme Nabi

Ketika ditawari kedudukan, harta, dan perempuan, Nabi Muhammad dengan tegas memilih untuk tetap menyampaikan ajaran Islam walau di tangan kanan beliau menggenggam matahari dan di tangan kiri menggenggam bulan. Pernyataan tersebut memperteguh niat dan usaha Abu Thalib untuk menjaga keponakannya dari gangguan kaum Quraisy, meski sampai akhir hayatnya ia tidak menjadi bagian dari umat Nabi.

Apa yang dilakukan Nabi menunjukkan bahwa untuk kepentingan dakwah Islam, segala kepentingan yang berpotensi meruntuhkan pondasi kekuatan Islam harus dihindari. Buah dari keteguhan Nabi adalah dengan diterimanya ajaran Islam oleh sebagian besar masyarakat akar rumput dan beberapa pemuka kaum Quraisy saat itu. Kepentingan umat berada di atas segalanya. Begitulah kira-kira idealisme yang dimiliki, dijaga, dan diajarkan Nabi.

Ironisnya, idealisme Nabi kini seperti hanya sekedar pesan moral yang disampaikan tanpa diamalkan. Jika dulu ajaran Islam berhasil menyelamatkan masyarakat akar rumput dari ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan dan harta, maka kini ia seakan dijual dengan harga murah, seharga kedudukan, harta, dan perempuan.

Apakah kondisi ini menunjukkan bahwa umat Islam takut kehilangan kedudukan, kekurangan harta, dan kesulitan mendapat pasangan apabila memegang teguh ajaran Islam? Wallahu A’lam. Yang jelas, umat Islam seharusnya mengikuti jejak idealisme Nabi, di antaranya dengan cara memperlakukan Islam sebagai agama yang peduli terhadap kepentingan masyarakat akar rumput yang berposisi sebagai kaum yang lemah dan dilemahkan agar ia tidak dikesankan sebagai agama kelas penguasa.

Bagikan
Exit mobile version