Site icon Inspirasi Muslimah

Memoar tentang Resiliensi: Menghadapi Tantangan dalam Keluarga yang Kompleks

keluarga

Saya menemukan inspirasi sebagai seorang intelektual di rumah dari ayah saya. Ayah saya adalah inspirasi berpengaruh dalam keluarga saya atas kesadaran akan pentingnya pendidikan. Ia mengatakan kepada kami bahwa menjadi pembaca yang tekun adalah hal yang sangat penting untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan mengasah keterampilan untuk berpikir bebas dan kritisi. Ayah saya menanamkan dalam diri saya kecintaan membaca dan belajar. Itu adalah warisan paling berarti yang dia berikan kepada saya.

Namun, banyak hal berubah, tragedi terjadi, dan ayah saya didiagnosis menderita skizofrenia pada masa remaja saya. Bagi kami, anak-anaknya, yang dibesarkan di bawah asuhan orang tua dengan kondisi psikologis yang sedang terpuruk, kehidupan menjadi terasa rumit dan menyedihkan, sering kali dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Perasaan kurang bermakna dalam hidup saya adalah hal yang wajar dan membentuk cara saya memandang dunia secara permanen.

Hal yang sangat terasa perubahannya adalah kemampuan akademik saya yang hampir selalu tertinggal dengan teman-teman saya. Padahal, saya sempat mencicipi rasanya menjadi urutan 3 di kelas saya. Saya merasa putus asa karena saya tidak dapat berpikir dengan jelas; terasa banyak kabut yang ada di otak saya. Saya teringat, ketika saya di tingkat sekolah dasar, guru-guru saya berharap bahwa saya dapat menjadi siswa yang cemerlang dengan meraih prestasi akademik yang tinggi. Mengingat kondisi yang saya alami, saya tidak pernah mencapai apa yang diharapkan oleh guru saya. Bahkan, saya dianggap sebagai siswa yang low achiever.

Meskipun rasa frustasi begitu meluap-luap karena saya tidak mampu menampilkan ‘kepintaran’ yang saya miliki. Saya tetap bergembira karena dapat melanjutkan sekolah yang notabene dianggap terbaik di kota saya. Pandangan saya terhadap pendidikan mulai muncul saat itu. Saya tidak terlalu memerdulikan saya akan mendapat nilai berapa, yang penting saya sangat bahagia bisa bertemu kawan-kawan saya di kelas. Kami menghabiskan waktu dengan bermain olahraga seperti catur, sepak bola, basket, badminton hingga game online! Namun tetap saja rasa kesal itu masih ada.

Saat itu, tentu saja saya tidak memiliki keterampilan memecahkan masalah secanggih di usia saya saat ini. Hal yang bisa saya lakukan untuk melampiaskan rasa kesal dan marah adalah salah satunya dengan bermusik. Saya sempat memiliki grup musik akustik yang setiap malam kami mengisi waktu kami dengan bermain musik untuk aransemen kelompok teater teman saya maupun hanya sekadar mengisi waktu luang.

Tak lama, waktu untuk seleksi masuk perguruan tinggi dimulai. Saya bingung setengah mati dengan apa yang ingin saya pelajari. Tiba-tiba, saya teringat bahwa sosok ibu selalu menemani saya. Meskipun saat itu dia sedang berjuang setengah mati pula untuk mempertahankan gelar doktornya di bidang psikologi, untuk memilih jurusan apa yang ingin saya pelajari. Banyak sekali daftar yang ingin saya pelajari seperti filsafat, sejarah, hubungan internasional, dan komunikasi. Namun, semua pilihan terasa mengganjal meskipun semua jurusan di atas begitu saya gemari sejak kecil. Saya mulai mengamati dan memahami kondisi diri saya dan keluarga. Sejak saat itu, saya memilih mengambil psikologi untuk mulai memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada diri saya, ayah saya, dan keluarga saya. Saya ingin membantu keluarga saya semampu yang saya lakukan.

Selama saya kuliah hingga setelah kuliah hal pertama yang bisa saya lakukan untuk membantu keluarga saya adalah dengan memaafkan diri sendiri. Saya sendiri terkejut dengan proses ini sebab ternyata butuh waktu yang sangat amat lama untuk mampu memaafkan diri saya sendiri. Saya benar-benar merasa dapat memaafkan diri saya dan keluarga saya setelah saya lulus dari jenjang S1. Saat itu, saya teringat ketika akan mendaftar beasiswa untuk lanjut S2, saya harus menulis esai dan saya menangis tersedu-sedu jika saya harus mengingat masa lalu saya; kepedihan menghadapi keluarga yang mana kami harus menjadi caregiver untuk ayah kami yang menderita schizophrenia. Semua perilaku dan pikirannya yang ‘aneh dan ajaib’ harus kami terima dengan penuh lapang dada dan tanpa pamrih sama sekali. Saya tersadar bahwa apa yang dibutuhkan dalam proses meminta maaf adalah kasih sayang kepada diri sendiri dan orang lain.

Saya beruntung memiliki ibu yang selalu memberikan rasa kasih sayangnya yang tanpa batas dan dukungannya terhadap apa yang anak-anaknya lakukan di tengah situasi keluarga yang carut marut seperti ini. Ditambah lagi dengan kapasitasnya di bidang psikologi terutama terkait dengan kompetensi emosi sangat membantu kami dalam mengekspresikan emosi kami selaku anak-anaknya. Saya terinspirasi dengan hal ini dan berniat mengubah diri saya yang dulu begitu unemphatic menjadi lebih sadar terhadap pentingnya compassion kepada orang di sekitar saya.

Saya juga belajar bahwa perlunya meminta tolong kepada profesional dibidangnya untuk menyelesaikan masalah yang saya hadapi ini. Dengan adanya dukungan dan arahan dari profesional, saya dapat merasa lebih thriving dan positif kepada diri saya. Saya teringat dan ceritakan semua hal yang saya lalui ketika bersama mereka dan saya merasa lebih lega dan bersyukur.

Bersyukur merupakan kata yang sangat mujarab yang membangkitkan resiliensi saya, semangat diri saya yang sempat meredup untuk meraih cita-cita. Saya bersyukur memiliki keluarga yang perfectly imperfect. Sebab, mungkin ini adalah jalan tuhan untuk menempa diri saya menjadi pribadi yang lebih baik. Bayangan masa lalu mungkin tidak pernah hilang, akan tetapi jika kita bisa mencari pembelajarannya, hidup terasa lebih damai.

Sekarang, saya sudah merasa di tahap saya sudah bisa menerima semua kondisi yang menghampiri diri saya. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada diri saya sendiri, baik saat ada di masa lalu dan saat ini, karena sudah begitu kuat menghadapi semuanya. Mungkin saya tidak akan sekuat ini jika tidak ada cobaan hidup yang saya lalui seperti saat ini. Saya belajar bahwa tidak ada keluarga yang sempurna; yang ada adalah keluarga yang memiliki resiliensi yang tinggi dalam menghadapi setiap cobaan.

Bagikan
Exit mobile version