Site icon Inspirasi Muslimah

Membicarakan Patriarki dan Pelaku-Pelakunya yang Masih Bertebaran di Mana-Mana

patriarki

Awal bulan lalu, nama Denny Caknan mencuat di jagad internet dan menjadi perbincangan hangat antar netizen sesama pengguna sosial media. Namanya bahkan sempat menjadi trending twitter beberapa waktu. Bukan tanpa alasan, hal ini diperkarai oleh beberapa celetukannya yang terkesan tak menghargai dan menyudutkan keberadaan istrinya saat sesi podcast youtube bersama Deddy Corbizier. Denny sesumbar menyebut bahwa semenjak menikah ia memecat beberapa asisten rumah tangganya karena telah beristri. Biar irit, katanya. Ia juga menyebut bahwa tugas pengasuhan anak hanya dibebankan kepada sang istri dan melarangnya memiliki baby sitter, dengan alasan agar di rumah terus dan tidak ngintilin dia saat manggung. Pemberitaan Denny Caknan ini “diperparah” oleh video instastory-nya yang viral di mana ia berujar kalau fungsi istri adalah melayani suaminya dalam kondisi apapun. Publik yang geram lantas menilai Denny sebagai laki-laki patriarki.

Teman, kasus Denny awal bulan lalu seakan membangunkan sadar kita dengan kejut ironi betapa masih patriarkinya Indonesia bahkan ketika kaki kita telah menjejak masa serba bisa seperti sekarang ini. Kira-kira begitulah potret realitas masyarakat kita dalam memperlakukan perempuan yang tak lebih hanya sebagai ‘pelayan’ laki-laki. Bagi saya, penerapan sistem kuno ini sudah habis bensinnya untuk melaju di masa sekarang. Sudah barang tentu tak lagi relevan dengan perkembangan pola pikir masyarakat modern yang terus menumbuh sadar kesetaraan hak, dan mungkin juga akumulasi rasa muak atas segala bentuk timpang yang bertahun-tahun dijalankan dan diaminkan bersama. Bertahun-tahun itu pula kaum perempuan terus termarjinalisasi dengan tersistemisasi alus nan rapi. Mulai dari kapasitasnya yang diredam paksa, suaranya yang tak menggema, dan geliatnya yang hanya sebatas di ranah-ranah domestik semata.

Kasus Denny awal bulan lalu hanyalah satu dari sekian lipat kasus praktik patriarki yang kebetulan “apesnya” mencuat ke permukaan, lantas memberi penjelasan gamblang betapa melestarinya praktik timpang adil ini di sekitar kita. Pelanggengan sistem ini tentu saja disokong melalui banyak hal dan pihak. Dalam buku Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy,sistem struktur dan hubungan sosial budaya ini terletak pada beberapa faktor yaitu: pekerjaan, pekerjaan rumah tangga, budaya, seksualitas, kekerasan, dan kenegaraan. Keenam faktor ini kemudian berinteraksi dan saling mempengaruhi untuk nantinya membentuk sistem patriarki dalam hubungan pribadi, kemasyarakatan dan sistem kenegaraan.

Ideologi Kejantanan dan Segala Pertanggungjawabannya

Perjalanan panjang patriarki diwarnai oleh suatu kepahaman absolut yang terus diacu dan dianut. Ialah ideologi kejantanan. Ideologi kejantanan menjadikan nilai maskulinitas sebagai tolak ukur dalam berbagai lini kehidupan. Paham ini menerangkan bahwa serba-serbi maskulinitas adalah suatu yang agung, dan lawannya (femininitas) bernilai sebaliknya. Maka dalam ideologi ini, jelas sudah kalau laki-laki adalah si superior, dan perempuan si inferior. Laki-laki si penakluk dan penunduk, sedang perempuan adalah objek yang ditakluk dan tundukkan.

Ideologi kejantanan memberikan otoritas “cuma-cuma” kepada laki-laki, menyuguhi mereka setumpuk privilese, berkuasa atas banyak hal, termasuk memiliki segenap tubuh dan hidup perempuan—sebagai kaum yang ditindas olehnya. Perempuan yang karena dianggap sebagai makhluk inferior, diinternalisasi sejak kecil bahwa mereka adalah manusia kelas dua setelah laki-laki. Laki-laki yang utama, perempuan nanti-nanti saja. Laki-laki dikonstruksikan sebagai raja karena kejantanannya, dan perempuan, hanyalah makhluk lemah yang (mau tak mau) menjalankan kepatuhan maskulinitas agar hidupnya berjalan “normal” sesuai norma patriarkal yang berlakudaripada dicap pembangkang kala melanggar.         

Gelimang keistimewaan inilah yang menjadikan laki-laki bermental superior ini memandang seluruh perempuan di muka bumi layak diatur-atur semau mereka. Maka kembali pada contoh yang sedari awal kita bahas. Denny Caknan, contohnya. Padahal, alih-alih mengedepankan konsep mubadalah (kesalingan) dalam hubungan suami-istri yang jauh lebih agung diterapkan, Denny dan jutaan laki-laki Nusantara lain memilih jalur opresi tersebut dalam menjalin hubungan suci dengan perempuan yang merupakan pasangan hidupnya, bukan pelayan hidupnya.

Maka terlampau jelas, kalau lah ideologi kejantanan benar-benar patut dimintai pertanggungjawaban atas segala carut-marut ketidakadilan gender dari berbagai lintas masa di muka bumi ini. Betapa menyedihkan.

Perempuan Turut Menjadi Pelaku Patriarki

Apakah hanya laki-laki yang menjadi villain dalam sistem patriarki? Oh tentu saja tidak, teman. Tak perlu ragu menyebut sistem ini kejam. Karena toh cara kerja sistem ini memang selicik itu. Patriarki menjadikan perempuan sebagai mitra kerjanya, menjadikan ini sebagai strategi unggulan yang membuatnya terus mulus melaju melenggang, eksis di berbagai zaman.

Beratus-ratus tahun, perempuan dilatih untuk saling menjadi musuh. Patriarki membangun aturan standarisasi yang mereka ingini sendiri dari diri seorang perempuan, berdasar imajinasi bengis yang dapat memuaskan daya pikat seksual mereka. Standarisasi ini yang kemudian diaminkan oleh setiap perempuan sejak kedatangan pertama mereka ke muka bumi. Perempuan menjadi polisi yang lazim menghukum perempuan lain yang tak patuh aturan standar. Perempuan akan mengolok-olok, mengucilkan, menginjak-injak sesamanya akibat ketidaktaatannya. Maka bagi saya, perempuan menjadi pelaku misogini paling sadis (dalam penerapannya). Hinaan yang terlontar dari mulut perempuan, yang diperuntukkan bagi perempuan lain seakan dihinggapi atmosfer kepuasan. Tentu hal tersebut karena ia merasa telah lebih baik dari si perempuan itu. Sebuah “kemenangan” yang diperoleh dengan cara yang begitu menyakitkan.

Patriarki pula yang mendidik perempuan untuk menjadikan laki-laki sebagai pusat dunianya. Persaingan antar perempuan terjadi tak lain akibat  pemahaman yang dipupuk sedari dini bahwa hidup sebagai sesama perempuan adalah ajang kompetisi demi meraih atensi laki-laki. Perempuan mula-mula adalah korban, lalu seiring berjalannya waktu, perempuan pula lah yang menginternalisasi paham-paham maskulin yang hanya menseksualisasi dan mengobjektifikasi mereka. Maka mereka menjelma menjadi pelaku yang berkontribusi kian mengekalkannya. Sungguh, betapa ironis.

Mendefinisi Ulang Konsep Maskulinitas dan Menjemput Masa Depan Kesetaraan

Menurutmu, sampai kapan perempuan berhenti ditindas dan laki-laki berhenti menjadi penindas? Sampai perempuan dan laki-laki sama-sama bahu-membahu mengawal perubahan yang lebih berkeadilan. Mendefinisi ulang konsep maskulinitas contohnya. Sejatinya, ideologi kejantanan tak selamanya menguntungkan laki-laki. Justru, ia yang awalnya bertujuan mendominasi perempuan, malah “buas” menyerang kaumnya sendiri (laki-laki). Patriarki menyeragamkan laki-laki pada bentuk sempurna manusia. Ia gagah, pelindung, tak mengeluh, dan bentuk-bentuk khayal keperkasaan lainnya. Padahal, sebagaimana perempuan, laki-laki hanyalah manusia biasa dengan ragam emosi yang sungguh manusiawi dirasakan dan terjadi. Sayangnya, ideologi kejantanan tak pernah paham akan hal itu. Maka di sinilah toxic masculinity tiba.

Sudah saatnya laki-laki sadar dominasi maskulin beserta segenap privilesenya begitu membenamkan perempuan dalam kubang-kubang kesengsaraan. Sudah saatnya laki-laki membunuh sifat keotoriterannya. Merontokkan seluruh hak-hak istimewa yang selama ini melekat di hidupnya, lantas memulai untuk adil sejak dalam pikiran. Memulai untuk memandang perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang setara. Menumbuh yakin bahwa perempuan dan laki-laki adalah hamba yang sama-sama dikaruniai setumpuk potensi yang mampu jadi manfaat bagi seisi alam semesta.

Masa depan berkeadilan tiada teraih tanpa kerja sama dua belah pihak. Maka, perlu penumbuhan kesadaran mengenai redefinisi konsep maskulinitas bagi laki-laki, agar tak seenak jidat melakukan penundukan-penundukan kepada perempuan tersebab sisi kejantanannya. Pun juga edukasi tiada henti bagi perempuan mengenai macam-macam penundukkan yang barangkali—dan tentu saja—masih banyak dari mereka yang tak sadar bahwa ia diposisi timpang dan terbungkam.

Pada akhirnya, seperti kata Ester Lianawati dalam bukunya “Akhir Penjantanan Dunia” yang banyak menjadi referensi dari tulisan ini, bahwa semua yang dikonstruksi dapat diruntuhkan (re:patriarki). Selamat menjemput masa depan yang lebih berkeadilan, selamat memulai untuk menjalani hari-hari penuh prinsip adil sejak dalam pikiran.

Bagikan
Exit mobile version