Site icon Inspirasi Muslimah

Meliterasikan Zakat Sejak Dini

Oleh: Arin Setiyowati*

Rahmania, di hari penghujung Ramadan ini, mari kita ulas dan refleksikan kembali tentang zakat.

Zakat berasal dari kata “zaka” yang bermakna suci, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Dinamakan zakat karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebaikan (Sayyid Sabiq :5). Secara etimologi, zakat merupakan harta tertentu yang dikeluarkan apabila telah mencapai syarat jumlah (nishab) maupun waktu (haul) yang harus dibayarkan oleh muzakki kepada 8 asnaf penerima zakat. Adapun ragam zakat dibagi menjadi dua jenis, yakni zakat fitrah (jiwa) dan zakat Maal (harta) meliputi pendapatan, emas dan perak, perdagangan, pertanian dan peternakan, perdagangan dan lain sebagainya.

Urgensi Literasi Zakat

Zakat merupakan satu-satunya rukun Islam yang memiliki dua aspek ketauhidan, baik Tauhid ukhrawi maupun tauhid sosial. Adapun fungsi sosial dari zakat diorientasikan untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Sehingga saking besarnya dampak zakat dalam pengelolaan keuangan publik, zakat dinobatkan sebagai soko guru perekonomian dalam Islam.

Seperti yang dipraktekkan semasa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin, bahwa pengelolaan dana zakat melalui Baitul Maal mampu menjadi sumber pendanaan untuk kepentingan umat dan Negara saat itu. Dalam konteks kekinian, statemen tersebut didukung dengan riset BAZNAS bahwa zakat mampu mempersempit income gap mustahik sebesar 78%. Namun, sudahkah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi terselesaikan di Indonesia? Yang merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mengalahkan India dan Pakistan.

Subyektif penulis, pengelolaan zakat hari ini belum mampu menunjukkan taji dari zakat sebagai solusi optimum dalam upaya pengentasan kemiskinan dan keadilan distribusi harta.

Berangkat dari hasil penelitian, dijelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang menyebabkan rendahnya penghimpunan zakat disebabkan rendahnya kesadaran warga muslim akan kewajiban zakat, masih terkonsentrasi zakat fitrah, dan rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat (Istikhomah dan Asrori, 2019). Ketiga faktor tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya tingkat literasi zakat masyarakat kita. Meskipun hampir 87% penduduk Indonesia adalah Muslim. Ini pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, Lembaga Amil Zakat, Da’i, akadmeisi hingga tingkat paling kecil dalam masyarakat adalah keluarga (orangtua).

Literasi zakat adalah pola hidup seorang Muslim yang tahu, paham dan mau dengan kesadaran untuk membayarkan zakatnya ke lembaga amil zakat resmi dengan harapan zakat yang terkumpul mampu dikelola dengan profesional, penyalurannya melalui program-program kreatif, produktif dan berdampak untuk pemberdayaan hingga meningkatkan level mustahik naik menjadi muzakki serta bersifat sustainable.

Hal ini tidak akan terjadi jika seorang Muslim masih ngotot untuk membayarkan zakatnya langsung ke mustahik, karena sebagian besar akan habis pakai (konsumtif), keterbatasan akses ke mustahik lain yang mungkin jauh lebih membutuhkan serta tidak berdampak. Sebagai Muslim berkemajuan, pasti kita tidak ingin zakat kita ‘sia-sia’.

Mengapa (Harus) Sejak Dini?

Saya percaya semua orang Muslim tahu tantang zakat, sebagai bagian dari rukun Islam. Doktrin ini kita dapatkan sejak kecil baik melalui orangtua maupun guru TK dan TPA kita. Namun dokrin bahwa zakat juga bagian dari kepedulian kita terhadap sesama dan berdampak untuk ekonomi, maupun zakat sebagai soko guru perekonomian Islam, saya rasa belum. Salah satu elemen yang penting dalam menggelorakan literasi zakat adalah subyek (edukator), siapa saja? Salah satunya adalah orangtua (keluarga).

Sebagai orangtua (kolaborasi ayah dan ibu) yang bertanggungjawab atas kurikulum pendidikan anak-anak kita, maka sudah seharusnya kita perlu meng-update muatan edukasi kita tentang zakat. Mulai kapan? Sejak 2 tahun, melalui doktrin-doktrin keagamaan, khususnya tentang bab zakat. Se-dini itu kah? Iya, karena momen-momen golden age dalam menanamkan aqidah dan akhlak itu dari keluarga. Termasuk cara pandang atas beragama.

Nah, dengan meliterasikan anak sejak dini, di usia golden age, maka ketika sang anak menapaki usia dewasa, pemahaman dan lifestyle yang terbentuk sudah well literate dengan zakat. Mulai dari keluarga sudah dibekali muatan zakat sebagai instrumen kegamaan dan sosial ekonomi. Mulai dari pengetahuan dasar hingga pengetahuan lanjutan tentang zakat meliputi pembayaran zakat ke lembaga amil zakat.

Capaiannya bukan hafalan tentang definisi atau ragam zakat, namun lebih pada aspek substansi dari zakat, baik segi kepedulian, cinta kasih sesama manusia hingga bentuk syukur atas nikmat Allah SWT yang ditindaklanjuti dalam aksi nyata sadar zakat melalui lembaga amil zakat.

Strategi Literasi Zakat Sejak Dini

Orang tua menjadi role model bagi anak-anaknya, maka keluarga (dalam hal ini orangtua) memiliki peranan penting dalam internalisasi rukun Islam khususnya zakat di rumah sejak dini. Menurut penulis, mulai usia 2 tahun anak sudah mulai dikenalkan dengan muatan zakat melalui beberapa cara sebagai berikut;

Pertama, berkisah dan membacakan buku kepada anak-anak yang memiliki muatan zakat. Sejengkal pengetahuan penulis, beberapa tahun terakhir mulai banyak buku bacaan untuk anak-anak yang mempunyai konten tentang ajakan peduli dan berbagi terhadap sesama. Materi tersebut bisa menjadi pintu masuk dari sisi sosial ekonomi dalam meliterasi sekaligus mendoktrin anak-anak tentang the power of zakat dalam ekonomi.

Sedangkan untuk buku-buku bacaan anak yang fokus membahas tentang zakat sudah ada beberapa, walau belum banyak. Namun, dari yang sudah ada pun masih pada tataran zakat sebagai piranti keagamaan. Qadarullah, penulis menemukan buku yang materinya komprehensif dan penyampaiannyapun mudah untuk diterima usia anak-anak. Sekaligus bisa menjadi stimulus bagi orangtua dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang zakat secara detail, mulai definisi, perbedaan antara shadaqah, infaq dan zakat, dilanjutkan simulasi perhitungan zakat fitrah dan mal, hingga pembayaran zakat ke lembaga amil zakat.

Dalam berkisah, bisa diambilkan dari sirah Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan sahabat dalam menegakkan zakat, mengelolanya melalui Baitul Maal, hingga mendistribusikannya kepada para mustahik saat itu. Selain itu, sirah tentang zakat yang menjadi sumber pendanaan negara, hingga pengelolaan zakat yang berhasil pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis sehingga susah ditemukan mustahik yang berhak menerima zakat. Dan banyak kisah-kisah lainnya.

Kedua, menggunakan media edukasi yang kreatif sesuai usia anak, bisa homemade maupun instan. Misal media busybook zakat yang bisa dibuat mandiri dari bahan flanel, selain itu mainan edukasi ulartangga, kartu zakat maupun permainan role play yang bisa dimainkan bersama antara orangtua dan anak. Selanjutnya game online zakat (namun penulis tidak berani merekom) dan bisa juga media edukasi lainnya.

Ketiga, pengenalan dan pembiasaan berbagi ke panti asuhan, selanjutnya praktek membayar zakat ke lembaga amil zakat. Tentu saja tahapan ini dilakukan setelah setelah dipahamkan tentang substansi peduli dan berbagi kepada sesama muslim.

Singkat kata, bahwa doktrinasi sejak dini dari dalam rumah tentang zakat mampu menjadi benteng utama anak-anak sehingga kelak ketika sang anak tumbuh dewasa, dia menjadi pribadi Muslim terbiasa peduli dan berbagi melalui zakat dengan level yang well literate dengan pola berzakat yang profesional. Wallau’alam. Semoga Bermanfaat!

*Dosen Perbankan Syariah, Fakultas Agama Islam UMSurabaya

Bagikan
Exit mobile version