Site icon Inspirasi Muslimah

Mampukah Kita Sesetia Istri Nabi Ayyub?

istri nabi ayyub

Memiliki pasangan yang saleh salehah dalam hal kesetiaan merupakan idaman setiap insan. Namun tidak semua orang memiliki rezeki seperti ini. Ada kalanya Allah Swt. memberikan ujian kepada manusia dalam hal drama pengkhianatan, perselingkuhan dan ketidaksetiaan pasangan.

Ada berbagai faktor hal-hal di atas dapat terjadi. Di antaranya mulai merasakan bosan ketika diajak “susah” sehingga enggan diajak “susah” dalam berumah tangga. Padahal ketika janji suci itu terucap, atau bahkan sebelum terucap, romantisme menjadi modal penguat niat ke jenjang pernikahan; “iya, kita se-iya sekata, sehidup semati susah senang bersama”.

Kesetiaan dalam menjalin hubungan pernikahan sudah selayaknya dapat dirawat secara masif, intensif dan terus menerus, apapun rupa badai cobaan hidup yang datang. Tafsir Al-Qur’an telah mencontohkan model kesetiaan hubungan melalui kisah Nabi Ayub dan Istrinya yang setia itu.

Ayyub adalah seorang Nabi dari Bani Israil yang Allah beri ujian yang tidak tidak Ia berikan kepada manusia lainnya. Shihab dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa Nabi Ayyub As. menyampaikan risalahnya setelah masa Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa  sekitar abad XV sebelum Masehi atau abad ke 21 sebelum Hijrah bermukim di daerah Hauran yang terletak di sebelah selatan kota Damaskus, wilayah Syiria dewasa ini.

Kisah Nabi Ayyub terdapat dalam QS. Al-Anbiya ayat 83 – 84,

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.”

Pada awal ayat tersebut, Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengingat kisah Nabi Ayyub. Dalam Tafsir Kemenag mengenai ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ayyub pada ayat ini hanya mencurahkan isi hatinya kepada Allah seraya mengagungkan kebesaran Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Beberapa ahli tafsir menyebutkan bahwa Ayub sangat kaya. Ia seorang petani dan pemelihara ternak. Ia sebagai pemimpin kaumnya. Allah lalu ingin menguji ketabahannya dengan menimpakan penyakit kulit yang sangat parah. Begitu berat penyakitnya dan begitu lama ia derita, hingga harta bendanya habis, dan keluarganya bertebaran ke negeri-negeri sekitarnya untuk mencari penghidupan. Di tengah-tengah penderitaannya itu, ia merasa sangat lelah dan menderita.

Imam As-Sa’di dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa Allah menjawab aduannya. Allah melenyapkan penyakit yang Nabi Ayyub derita dengan memerintahkannya menghentakkan kaki. Lalu memancarlah air dingin lalu minum dan mandilah Ayyub dengan air tersebut hingga penyakitnya sembuh. Dalam QS. Shad ayat 42 Allah berfirman; “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”.

Ketika Nabi Ayyub dalam keadaan menderita, sosok kesetiaan istri Nabi Ayyub dapat dijadikan contoh. Asy-Syaqawi menjelaskan bahwa ketika Nabi Ayyub ditinggalkan oleh anak-anak, saudara, kerabat dan sahabat-sahabatnya karena penyakit yang dideritanya, kemudian  Nabi Ayyub diasingkan pada sebuah tempat pembuangan sampah di luar kota di sebuah gua yang jauh dari tempat tinggalnya. Tidak ada yang berani dan sukarela menemaninya kecuali seorang istrinya saja.

Karena keadaan sulit Nabi Ayyub, istrinya pun bekerja kepada orang lain untuk mendapatkan upah guna memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Namun demikian penderitaan bertambah setelah masyarakat di sekitarnya mengetahui bahwa wanita yang bekerja itu adalah istri Ayyub.

Karena hal tersebut, masyarakat takut jika penyakit yang menimpa Nabi Ayyub dapat menulari mereka melalui istri Nabi Ayyub. Karena hal inilah istri nabi Ayyub tidak menemukan seorang pun yang bisa memberinya pekerjaan yang mendatangkan upah. Lalu istri nabi Ayyub pergi menuju orang-orang yang kaya dan menggadaikan kepang rambutnya dengan makanan yang banyak lalu makanan itu dibawanya kepada Ayyub.

Itulah beberapa penderitaan yang Nabi Ayyub alami. Namun demikian Allah menjawab doanya dengan menyembuhkannya bahkan Allah memberinya kenikmatan yang lebih banyak. Dari beberapa pemaparan kisah di atas, ada beberapa hal yang perlu direfleksikan;

Pertama, sudah selayaknya bagi setiap manusia untuk siap menghadapi berbagai takdir kehidupan dan menikmatinya dengan ikhlas. Terutama dalam menerima, menutupi dan memperbaiki segala kekurangan yang ada. Termasuk menerima kekurangan pasangan hidupnya melalui kesetiaan.

Kedua, hendaknya kita meyakini bahwa di setiap keadaan yang menghimpit, akan ada kebahagiaan atau dihadirkannya orang-orang baik. Hal ini sebagaimana dihadirkannya istri nabi Ayub yang baik dan setia dalam keadaan yang tidak mesti semua orang dapat bertahan sebagaimana kondisi berat yang dialami Nabi Ayyub.

Ketiga, hendaknya kita meyakini bahwa kesetiaan kepada pasangan merupakan bentuk dukungan moral bagi pasangan sebagai wujud kesabaran. Sebagaimana yang diketahui, bahwa Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang bersabar. Dan pada akhirnya Allah memberikan rahmatnya kepada Ayyub dan istrinya dengan mengembalikan segala deritanya menjadi bahagia bahkan diberikan kebahagiaan yang lebih. 

Oleh karenanya, mampukah kita sesetia istri Nabi Ayyub? semoga dengan mempelajari kesetiaan Nabi Ayyub, kita dapat lebih menghargai pasangan hidup kita dengan ikhlas mendampingi pasangan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Wallahu a’lam.

Bagikan
Exit mobile version