Site icon Inspirasi Muslimah

Laki-Laki juga Korban Sistem Patriarki, Benarkah?

sistem patriarki

Istilah sistem patriarki seringkali dikaitkan dengan keberadaan dominasi laki-laki atas perempuan. Namun, dalam kenyataannya sistem patriarki juga dapat berdampak negatif pada laki-laki. Ternyata laki-laki juga dapat menjadi korban dari sistem patriarki dalam hal situasi, kondisi dan cara yang berbeda.

Sebagai suatu sistem, patriarki tentu saja bisa membatasi peran dan ekspektasi dari laki-laki. Menurut pandangan patriarki, laki-laki perlu menjadi pengambil keputusan yang tangguh, kuat, dan sebagai pencari nafkah utama demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Oleh karena itu, laki-laki yang memilih untuk tidak mengikuti ekspektasi patriarki sering kali mendapat label “lemah” atau bahkan “tidak layak” menjadi laki-laki. Hal ini dapat menyebabkan laki-laki merasa terkekang dalam melaksanakan peranannya, dan tidak jarang terlihat “cemen” ketika mengungkapkan emosi atau perasaannya.

Memang, sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan ketidaksetaraan gender, bahkan mempengaruhi hingga ke berbagai aspek aktivitas kehidupan manusia. Dalam pandangan Alfian Rokhmansyah (Pengantar Gender dan Feminisme, 2013), menyebutkan patriarki berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Sistem Patriarki dan Kontrolnya terhadap Peran Gender

Jika diperhatikan secara jernih, sistem patriarki juga dapat menyebabkan laki-laki mengalami kekerasan dan pelecehan. Patriarki menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan (kontrol), dan dalam beberapa kasus, ini dapat menyebabkan laki-laki menjadi “agresif” atau melakukan kekerasan. Namun, kekuasaan yang tidak terbatas ini juga dapat membuat laki-laki menjadi korban kekerasan dari pihak lain, terutama yang memiliki kekuasaan lebih besar. Laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual oleh identitas gender lainnya.

Atau misalnya begini. Tanpa disadari-karena ketidaktahuan terhadap isu gender setiap orang telah menjadi bagian yang mengamini terhadap konstruksi patriarki. Perempuan “berkewajiban” untuk pandai memasak, pandai melayani, pandai bersolek, bersikap lembut, teliti, halus dalam bertutur kata dan label lain yang ada pada perempuan. Sebaliknya, laki-laki juga mengalami hal yang sama. Harus gagah, jantan, berotot, melindungi, pemberani dan stereotip lain yang kerap terbebankan pada laki-laki.

Hemat penulis, bahwa menormalkan sistem patriarki juga dapat mempengaruhi kesehatan mental laki-laki. Patriarki menuntut laki-laki menekan emosi, selalu “kuat” ketika menghadapi tekanan atau dalam situasi sulit. Namun, hal ini ternyata dapat menyebabkan laki-laki menutup diri. Tidak bersedia mengungkapkan perasaan, bahkan rentan memicu gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

Sistem patriarki juga dapat mempengaruhi hubungan laki-laki dengan perempuan. Patriarki menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan membatasi peran mereka dalam masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan laki-laki melihat perempuan sebagai objek seksual atau meremehkan keahlian dan kemampuan mereka. Ini dapat merusak hubungan antara laki-laki dan perempuan dan bahkan memperburuk ketidaksetaraan gender.

Laki-laki, Stigma dan Kekerasan

Dalam asumsi sistem patriarki, laki-laki kerap kali dipandang sebagai pelaku kekerasan. Pada kenyataannya khalayak mengetahui laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan. Baik di ranah rumah tangga, lingkungan kerja, atau di tempat umum. Namun, pelabelan sosial bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat dan tangguh, membuat laki-laki yang menjadi korban kekerasan merasa enggan meskipun sekedar bersuara. Alih-alih melaporkan tindak kekerasan yang dialami kepada kepolisian dan lembaga negara untuk penanganan isu yang dimaksud.

Jumlah laki-laki korban kekerasan sulit untuk dihitung secara akurat, karena banyak dari mereka tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa jumlah laki-laki korban kekerasan cukup besar.

Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2013, 1 dari 7 laki-laki dewasa di dunia pernah mengalami kekerasan fisik sepanjang hidup mereka. Sedangkan, menurut laporan dari Komisi Eropa pada tahun 2014, 1 dari 6 laki-laki di Uni Eropa mengalami kekerasan fisik sepanjang hidup mereka.

Adapun di Indonesia, berdasarkan kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2020, laki-laki korban kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 1.925 orang.

Kekerasan dan Label Gender

Beberapa bentuk kekerasan yang laki-laki alami antara lain kekerasan fisik, seksual, dan psikologis. Kekerasan fisik dapat berupa pukulan, tendangan, atau penganiayaan lainnya yang menyebabkan luka atau cedera pada korban. Kekerasan seksual bisa berupa pemerkosaan, pelecehan seksual, atau eksploitasi seksual. Sementara itu, kekerasan psikologis dapat berupa penghinaan, pemaksaan untuk melakukan hal-hal tertentu, atau perlakuan buruk lainnya yang dapat menyebabkan trauma psikologis pada korban

Dalam pembahasan istilah patriarki, masih ada asumsi yang menyetujui jika sistem patriarki diidentifikasikan dengan jenis kelamin. Hemat saya, pandangan ini justru sebagai bentuk perlakuan tidak adil pada laki-laki karena mengasumsikan identitas gender seseorang hanya berdasarkan jenis kelamin biologis atau cis normatif yang biasanya ditentukan pada saat lahir.

Alhasil, asumsi tersebut menyebabkan tindakan diskriminatif dan mendiskreditkan individu yang memiliki identitas gender berbeda, seperti transgender dan genderqueer. Cis Normatif juga cenderung memandang bahwa identitas gender yang berbeda dari jenis kelamin biologis sebagai sesuatu yang tidak wajar atau bahkan salah.

Meminjam istilah Sosiolog dari Amerika Serikat Erving Goffman menyebut bahwa tindakan mendiskreditkan orang lain merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sebagaimana dikupas oleh Indra Martias (Gerakan Melawan Stigmatisasi Pada Masa Pandemi Covid- 19, 2020).

Alangkah enaknya jika pada momentum hari perempuan internasional bisa mengajak setiap orang untuk mengeliminasi bias atau pandangan “satu sisi” di lingkungan sekitar. Seperti di dalam diri sendiri, di rumah tangga, komunitas, tempat kerja, dan institusi. Harapannya, agar tercapai kesetaraan dan keadilan inklusif.

Sehingga dunia menjadi lebih menghargai kemajemukan, tercipta keadilan, terbebas dari segala bentuk kekerasan, terhindar bias, stereotip, dan terbebas tindakan diskriminatif. Dan, akhirnya menjadi kesadaran kolektif jika sistem patriarki juga merugikan laki-laki. 

Editor: Fitria Salsabila

Bagikan
Exit mobile version