Site icon Inspirasi Muslimah

Kita Adalah Dai sebelum Menjadi Apa pun

dai

Febrian-Eka-R-1-1536x1152-1

Seorang ulama Mesir bernama Syekh Umar al-Tilmisani pernah berkata, “Nahnu du’at qobla kulli sya’in” yang artinya “Kita adalah dai sebelum menjadi apa pun”. Ungkapan tersebut mengandung kesadaran bahwa sesungguhnya seorang muslim dengan beragam profesinya seperti pejabat; pengusaha; dokter; penulis; polisi; petani; dan lainnya, perlu memahami bahwa profesi tersebut adalah profesi kedua. Sedangkan profesi pertama ialah sebagai dai. Sebelum menjadi pejabat, pengusaha, dokter, dan sebagainya, setiap muslim sebenarnya sudah memiliki pekerjaan, yaitu sebagai dai.

Dengan begitu, tugas dakwah—mengajak orang lain menuju kebaikan dan meninggalkan keburukan, bukan hanya pekerjaan seorang ustaz, ulama, kiai, ataupun syekh saja; tetapi juga merupakan tugas utama yang setiap individu muslim pikul—dengan segala kemampuan dan sumber daya yang ia miliki. Sehingga segala profesi kedua tadi harus dijalankan dengan semangat mengajak orang lain pada kebaikan, digunakan untuk menuntun orang lain memahami dan mengamalkan ajaran Allah.

Jika menjadi pejabat, jadilah pejabat yang adil dan amanah serta menampilkan akhlak yang baik sehingga pantas untuk dicontoh oleh masyarakat. Jika menjadi penulis, jadilah penulis yang menjadikan tulisannya sebagai sarana berdakwah, tulisan-tulisan yang mengingatkan kepada Allah. Dan jika menjadi pengusaha, jadilah pengusaha yang jujur sehingga orang lain merasa senang bermuamalah dengannya. Semua profesi atau pekerjaan seorang muslim mesti ditujukan untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Ali-Imron ayat 110, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

Tugas untuk mengajak pada yang makruf dan meninggalkan yang mungkar adalah hal yang wajib kita lakukan jika ingin layak disebut sebagai umat yang terbaik. Tugas spesial tersebut Allah berikan kepada umat manusia karena manusia merupakan ciptaan terbaik-Nya. Kita, manusia, telah diberikan banyak kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lain. Kita telah diberikan akal, emosi, dan fisik yang sempurna. Kelebihan-kelebihan itulah yang meski kita pergunakan untuk menjalankan tugas mulia dari Allah tersebut.

Sungguh merupakan sebuah pelanggaran dan pengingkaran apabila kita bersikap tidak peduli terhadap kemaksiatan yang terjadi di sekeliling kita. Jangan sampai kita membiarkan keluarga kita, teman kita, masyarakat kita, atau pun umat Islam secara umum terjerembap dalam perbuatan-perbuatan dosa. Untuk itulah kesadaran sebagai pendakwah, sebagai umat terbaik yang memiliki tugas untuk menyeru pada yang makruf dan menyeru untuk meninggalkan segala kemungkaran sangat diperlukan.

Pentingnya memiliki kesadaran untuk berdakwah juga terdapat pada surah yang lain, yaitu surah Al-Asr. Dalam surah tersebut Allah berfirman supaya seorang muslim saling menasihati untuk menaati kebenaran.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” Q.S. Al-Asr (103): 1-3.

Kunci untuk keluar dari kategori manusia yang merugi ialah dengan beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Jika beriman dan beramal saleh itu berdimensi vertikal—hablun minallah; nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran berdimensi horizontal, hablun minannas. Dalam dimensi hablun minannas itulah terdapat kewajiban berdakwah.

Dakwah jangan kita pahami hanya sebagai aktivitas ceramah atau khutbah di atas mimbar, sebab jika begitu tentu saja dakwah akan terasa berat untuk dilakukan. Padahal dakwah mempunyai ruang lingkup yang luas, di mana setiap muslim bisa berdakwah dengan segala kemampuannya; baik tenaga, kekayaan, keahlian, dan segala potensi yang ia miliki.

Bahkan menasihati sahabat pun adalah dakwah. Mengingatkan sahabat untuk meninggalkan perkara yang tidak baik seperti pacaran misalnya, sudah merupakan dakwah. Mengajak sahabat untuk salat tepat waktu dan berjemaah di masjid juga sudah merupakan dakwah. Sekecil apa pun perbuatan seorang umat muslim, apabila itu ia niatkan untuk mengarahkan orang lain supaya menaati Allah, maka itu adalah dakwah dan bernilai pahala. Seperti yang Rasulullah ﷺ sabdakan bahwa siapa saja yang menunjukkan jalan kebaikan kepada orang lain; maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya.

Begitulah, dakwah mengalir di pori-pori setiap umat muslim. Dakwah tidaklah terbatas hanya untuk profesi tertentu dan tidak pula terbatas oleh ruang, waktu, dan kondisi. Siapa pun, di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun, jika melihat kemungkaran hendaklah ia cegah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaklah ia cegah dengan lisannya; kalau tidak bisa hendaklah ia cegah dengan hatinya. Tidak lupa juga untuk senantiasa menyeru, mengingatkan, mengajak orang untuk berjalan di jalan kebaikan. Sebab segala yang dimiliki di dunia ini akan hilang. Umur akan habis, harta akan lenyap, benda akan hilang, makanan akan busuk; tetapi kebaikan akan kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Bagikan
Exit mobile version