Site icon Inspirasi Muslimah

Kisah Mahkluk Penghuni Tanah Jajahan

biawak

Hari itu, untuk kesekian kalinya seekor biawak berukuran kecil lewat depan rumah. Anak-anak kecil yang melihat sudah siap mengejar. Sayang, bayangan suka cita menangkap dan memamerkan makhluk itu ke kawan-kawan mereka nampaknya pupus. Insting menyelamatkan diri dari bahaya milik binatang tersebut lebih unggul, ia lebih dulu masuk ke gorong-gorong.

Bukan hal yang aneh mahkluk yang masih satu keluarga dengan komodo itu berkeliaran di komplek kami. Awalnya saya berpikir mereka hanya numpang lewat atau sekedar nyasar saat mencari makan sebab sekitar perkampungan kami memang masih dikelilingi hutan kecil, rawa, dan danau. Tapi, lama-lama mereka sering tidur di atap rumah warga. Dari sini saya tahu bahwa ada masalah besar yang menimpa habitatnya. Maka mereka harus mencari suaka ke tempat lain. Dan, pilihan paling logis justru mengambil resiko yang tak kalah membahayakan yaitu gorong-gorong, rumah kosong hingga atap rumah warga.

Tapi itu bertahun-tahun lalu. Saat ini mungkin klan mereka dari generasi ke generasi menghuni wilayah ini telah benar-benar habis. Hutan, rawa dan danau itu hampir rata dengan tanah. Sebagian telah berdiri hunian-hunian mewah. Penghuni asli yang terjajah dan eksodus ke kampung warga itu mungkin kini sah musnah.

Dan biawak itu tak sendiri. Terakhir, saya melihat seekor bajing lari di jalan, di antara rumah warga, dan naik ke rimbunan pohon yang tersisa di perumahan saya. Rupanya selama ini ia bersarang di tengah-tengah kami. Ia, mungkin bersama keluarganya, tinggal menunggu waktu saja: entah atau ditangkap dan menjadi tontonan, ditembak lalu disate.

***

Saya bisa menyebut mereka adalah kaum terjajah dan kami adalah penjajahnya. Hukum rimba tak pernah sirna, siapa yang kuat dia yang mendominasi dan tak segan menyingkirkan yang lain. Dan manusia sekali lagi membuktikan hegemoninya. Baik biawak maupun bajing tak memiliki kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk menggugat apalagi memberontak, seperti semut.

Kenapa saya menyebut semut? Selain kedua hewan itu, semut merupakan makhluk indigenous wilayah ini. Semut di perumahan kami bukan dari jenis yang biasa, melainkan semut kayu. Dengan kekuatan konsolidasi dan persatuan yang solid mereka bisa menciptakan pemberontakan-pemberontaan di banyak sudut rumah. Hanya dalam waktu semalam mereka bisa menggerogoti tiang, kusen dan jendela kayu. Semut-semut itu menduduki dengan membuat sarang di sana. Mereka me-reclaim wilayahnya.

Membunuhi mereka dengan obat apapun sia-sia. Pasukan semut itu nampaknya berpegang pada prinsip mati satu tumbuh seribu. Gerakan bawah tanah mereka pun sangat kuat dan tentu tak terlihat. Tapi kami harus bersyukur pada inovasi industri furnitur, cara kami meneguhkan kembali dominasi adalah dengan tak menggunakan unsur kayu pada kusen, tiang dan jendela melainkan besi atau alumunium. Kami pun menang. Meski demikian, konflik wilayah ini tak lantas selesai. Kekuatan mereka masih ada. Sesekali kami harus bentrok, misal saat saya mendapati mereka bersiap menyerang kandang ayam yang baru saya buat.

Baik biawak maupun bajing pun tak mampu melakukan gencatan senjata. Kedua binatang itu tak bisa bersahabat dengan kami, atau kami yang tak mau menerima mereka, tak seperti partai kucing di komplek kami.

***

Kucing pun merupakan hewan liar yang jumlahnya tak terhitung di perumahan kami. Tapi, nasib mereka jauh berbeda dengan biawak dan bajing. Meski sama-sama terpaksa menjadi gelandangan, kucing lebih beruntung. Padahal mungkin mereka pun pendatang, bukan pribumi. Tapi mereka dibiarkan, tak ada yang memburu atau menganggu. Malah seringkali sambutan hangat mereka terima setiap mampir ke rumah-rumah warga. Mereka diberi makan mulai sekadar tulang hingga makanan kucing mahal.

Saya sendiri pun lebih bisa berkompromi menerima kucing.  Dalam kepala saya ada stereotip biawak dan bajing adalah hewan liar, berbahaya, dan khusus biawak, bertampang mengerikan. Mereka tak seperti kucing yang menggemaskan. Meski terhadap kucing liar yang nakal, hati saya tetap bisa luluh. Apalagi kalau istri mengingatkan ketika saya hendak mengguyur atau mengusir mereka, ” Biakan saja, hitung-hitung sedekah, siapa tahu bisa jadi jalan rezeki.”

Saya pilih-pilih dalam memperlakukan makhluk koloni, tanpa sadar selain penjajah kami pun adalah pelaku diskriminasi. Kami berlaku baik dan tak tega pada hewan yang bermuka manis, tapi kejam pada mereka yang nampak garang, liar, dan melawan. Padahal mereka adalah makhluk yang juga korban kolonialisme kami di wilayah ini.

***

Tapi itu hanya secuil masalah saja. Punahnya hewan-hewan itu pun tak akan tercatat di catatan sipil manapun. Penjajahan alam seperti itu memang sudah dilakukan manusia sejak awal peradaban hingga sekarang. Demi kebutuhan kesenangan, kita menggunduli hutan dan bukit lalu jadilah villa-villa yang kita gunakan untuk rekreasi. Untuk memenuhi kebutuhan manusia kota, kita membuka lahan hutan di sekitarnya yang justru sering menyebabkan longsor dan banjir. Hutan pun dibakar demi perluasan lahan perkebunan atau pendirian tambang. Dan saya tak bisa bayangkan berapa fauna yang telah menjadi korban.

Setidaknya, saya hanya bisa doakan makhluk-makhluk yang telah musnah di tanah jajahan kami itu damai di akhirat sana. Atau, mungkin bisa hidup kembali dan dilahirkan sebagai anak-anak pengusaha properti agar bisa menikmati lahan dan hunian mereka tanpa gangguan lagi.

Bagikan
Exit mobile version