Site icon Inspirasi Muslimah

Kajian Amina Wadud Terhadap Kandungan Al-Qur’an

amina wadud

Biografi Amina Wadud

Amina Wadud lahir pada tahun 1952 di Amerika Serikat, memiliki nama panjang yaitu  Amina Wadud Muhsin yang merupakan warga Amerika Serikat keturunan Afrika dan Amerika. Ayahnya adalah seorang pendeta methodis dan ibunya merupakan keturunan Arab-Afrika. Dari kecil, Amina merupakan seorang Kristen yang taat. Pada tahun 1970 hingga tahun 1975, Amina mengenyam pendidikan kuliah di sebuah Universitas Pennsylvania dengan gelar sarjana sains. Kemudian pada saat usia 20 tahun, Amina mendapat hidayah untuk masuk Agama Islam setelah ketertarikannya pada agama Islam dan mengucapkan kalimat syahadat setelah menikah dengan seorang laki-laki muslim.

Amina merupakan seorang mualaf yang memutuskan untuk mencari ilmu di sebuah kota di Mesir di Universitas Amerika di ibukota Kairo untuk mempelajari bahasa Arab.  Setelah itu, ia melanjutkan mencari ilmu tafsir Al-Qur’an di Universitas Kairo dan Filsafat di Universitas al-Azhar. Pada tahun 1989 hingga tahun 1999 ia menjadi profesor di Universitas al-Azhar dan  menerbitkan desertasinya yang berjudul, “Qur’an dan Perempuan: Membaca Ulang Ayat Suci Dari Pandangan Perempuan”.

Pendekatan Metodologis

Dalam penafsirannya ia menggunakan pendekatan metodologis dengan model hermenutika yang mencakup tiga aspek dalam memperoleh kesimpulan makna pada suatu teks. Menurut Amina Wadud,ia menentang sejumlah penafsiran konvensional. Tentang kata-kata tertentu dalam ayat Al-Qur’an untuk membahas dan memenuhi fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk Al-Qur’an.  Dalam hal lainnya juga, ia membantah semua pembahasan yang bersifat universal. Di dalam artian bisa berlaku kapanpun dan di manapun yang terbatas dengan dasar dan pernyataanya yang khusus tertuju pada masyarakat Arab pada abad ke-7.

***

Dalam penjelasannya ia menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an oleh Fazlul Rahman. Pada kitabnya, Fazlul Rahman berpendapat bahwa semua ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana ketika ayat-ayat itu turun pada waktu tertentu oleh sejarah dengan keadaan yang khusus ataupun umum yang menyertainya dan menggunakan ungkapan yang relatif terhadap peristiwa tersebut. Pembaca maupun penafsir wajib paham pada pernyataan yang ada di Al-Qur’an. Karena makna tersebutlah yang menyampaikan maksud peraturan atau prinsip pada ayat-ayat tertentu.

Pada bukunya, Amina Wadud menanyakan terkait Al-Qur’an yang secara khusus menyebut laki-laki dan wanita pada suatu keadaan tertentu, seperti (laki-laki yang beriman, dan wanita yang yang beriman), bentuk jamak dari maskulin sendiri yaitu (jamak muzakkar), sedangkan bentuk jamak dari feminism yaitu (jamak muannas). Akan tetapi pada situasi yang lain, Al-Qur’an menggunakan istilah,”Hai orang-orang yang beriman..”, dalam istilah tersebut, ia berpendapat bahwa istilah itu bersifat untuk umum. Maksudnya bisa tertuju untuk laki-laki maupun wanita secara setara, dan juga tidak mengandung suatu kata yang khas dalam penunjukkan subjeknya.

Semua ayat yang ada pada Al-Qur’an yang bertentangan dengan wanita dalam keadaan terpisah maupun bersama dengan kaum laki-laki teranalisis dengan metode penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, ia menafsirkan pada setiap ayat dengan menganalisis; konteksnya, konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur’an, tentang bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang menggunakan seluruh bagian Al-Qur’an, menyangkut sikap yang berpegang teguh terhadap prinsip Al-Qur’an, serta memahami konteks Al-Qur’an sebagai Weltanschauung pandangan hidup.

Analisa Ayat

Dalam Al-Qur’an tidak ada pengkhususan jika melahirkan adalah tugas utama seorang wanita. Masalah yang berkaitan dengan keibuan itu merupakan peran eksklusif dan dalam hal ini juga tidak semua wanita mampu melahirkan anak.  Fungsi tersebut hanya sebagai kelangsungan hidup sebagai manusia agar lebih berkembang dalam memiliki keturunan. Hal ini  secara tidak langsung, memiiliki stigma bahwa hanya wanita yang hanya bisa melahirkan anak, dan hal ini merupakan hal penting serta tugas utama.

Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada pembatasan untuk wanita dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu. Di sisi lain Al-Qur’an memberi ketegasan terhadap kaum perempuan dengan sebuah penghormatan. Dan juga menghormati wanita sebagai manusia yang bisa ber-reproduksi. Hal tersebut terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 1:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dari dirinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Betakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Ayat di atas memiliki tafsir sebagai penghormatan untuk wanita secara umum dan untuk penghormatan terhadap kapasitas wanita untuk menghasilkan keturunan. Menurut Amina Wadud, dalam perspektif Al-Qur’an fungsi untuk melahirkan anak hanya terkhusus kepada wanita secara eksklusif. Sedangkan dalam Al-Qur’an secara eksplisit laki-laki fungsinya untuk menciptakan keseimbangan dalam berhubungan dengan manusia. Selain memiliki fungsi masing-masing antara laki-laki dan wanita. Keduanya juga memiliki peran penting untuk berpastisipasi secara nyata dan memiliki potensi dalam melakukan fungsi-fungsi lainnya.

***

Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang digunakan untuk setuju terhadap superioritas kaum laki-laki terhadap wanita yang mengandung dua istilah untuk menunjukkan perbedaan  nilai dan kedudukan pada keduanya. Dalam hal ini ia meninjau beberapa istilah yang ada dalam Al-Qur’an.

Pertama yaitu darajah atau derajat yaitu tingkat atau peringkat. Istilah derajat tidak hanya di antara manusia di bumi melainkan juga manusia yang ada di akhirat kelak. Yang kedua yaitu fadhdhala, ini juga seperti halnya dengan darajah. Secara eksplisit, fadhdhala yaitu melebihkan, maksudnya yaitu Allah telah melebihkan makhluknya daripada dengan yang lain. Dalam persoalan jenis kelamin, masyarakat Arab pada Abad ke-7 jauh dari kata ideal dan reformasi Qur’ani tidak terjalankan dengan baik. Berikut ini beberapa reformasi sosial dalam pengamatan modern:

  1. Perceraian, merupakan keputusan antara pasangan yang telah menikah. Hal ini biasanya karena tidak adanya kecocokan yang bisa menyatukan antara keduanya. Pada pembahasan sebelumnya tersebut bahwa laki-laki memiliki darajah (kelebihan) atas wanita,
  2. Patriarki, pada zaman dahulu semasa turunnya Al-Qur’an, kota jazirah Arab memiliki sistem patriarki atau bisa disebut kebapakan. Patriarki merupakan budaya purbasangka jika laki-laki adalah utama (androsentrik), di mana laki-laki dengan pengalaman yang dimilikinya dipandang sebagai norma. Budaya androsentrik (mengutamakan laki-laki), memandang wanita dari segi nilai kegunaan bagi kaum laki-laki, terutama dalam kemampuan reproduksinya
  3. Merawat anak, secara umum sistem yang diterapakan oleh masyarakat dalam merawat anak lebih tepa dilakukan oleh wanita. Sehingga hal ini menimbulkan kecenderungan keluarga dan wanita memiliki sifat feminim dan lebih suka mengasuh, serta kewajiban mendidik anak oleh wanita itu merupakan hal yang sudah melekat pada diri wanita.
Bagikan
Exit mobile version