Site icon Inspirasi Muslimah

Kado dari Ibu

kado dari ibu

“Selamat ulang tahun, Nak. Ini kado dari ibu.” Demikian kalimat yang selalu kudengar setiap tanggal 27 Mei; tanggal lahirku. Dan seperti biasa, ibu memberiku kado. Aku tersenyum, mengangguk hormat pada sosok paruh baya di hadapanku.

Aku tak pernah tahu berapa usia ibu persisnya. Tapi kerutan halus di sudut mata, serta helaian uban di kepalanya mengindikasikan usianya. Ibu tak pernah menutupinya; mengecat rambut, atau merawat wajahnya supaya terlihat awat muda.

Aku menduga, usia ibu mendekati lima puluh. Biasanya, kalangan seusianya sudah mulai lupa beberapa hal. Termasuk ibu sebenarnya. Kadang ibu juga suka lupa mengunci pintu rumah, atau lupa meminum obat gulanya.

Tapi, sejak menemukan KTP-ku yang tercecer, ibu selalu ingat hari ulang tahunku. Padahal tanggal lahirku pun bisa dibilang bukan nomor cantik. Dua puluh tujuh Mei. Agak sulit untuk mengingatnya, bukan?

Aku pun bukan anak kandungnya. Ibu tidak punya keturunan. Suaminya meninggal tak lama setelah aku mengontrak rumah milik Pak Lurah, tepat di seberang rumah ibu. Sejak itu, aku dan istriku memang menjadi lebih dekat dengannya.

Aku kasihan melihat kondisinya yang sebatang kara. Sehari-hari ibu hidup sederhana, mengandalkan uang pensiunan PNS-nya yang tak seberapa. Tapi masih saja ibu membelikan kado setiap aku berulang tahun.

Sambil merasa tidak enak (aku benar-benar merasa tidak enak), kuulurkan tanganku menerima bungkusan itu; bungkusan segi empat bersampul coklat. Kurasakan permukaannya yang lunak. Seketika aku mengenali isinya. Paling tidak aku bisa menebaknya (dan aku yakin tebakanku benar).

Sepertinya aku perlu membuat lemari baru. Batinku berucap, sambil membayangkan kado ibu kali ini mau aku simpan di mana lagi. Setahun belakangan ini, lemari yang kumiliki semakin sesak dengan daster-daster jualan istriku yang tak laku.

Di antara tumpukan daster yang menjejali lemari itu, ada tumpukan kain yang lain; tumpukan kain batik pemberian ibu. Ya, setiap aku berulang tahun, ibu selalu memberiku kado yang sama yaitu kain batik.

Beberapa di antaranya sudah berubah wujud menjadi kemeja. Kupakai beberapa kali ketika mendorong gerobak bakso; ladang periuk keluargaku. Kali lain, kupakai ketika mengatur parkir ketika ada kendurian di balai desa.

Tapi, masih ada lima atau enam potong lagi (mungkin lebih) yang belum sempat (mungkin belum kuprioritaskan) untuk kubawa ke Pakde Joko; penjahit di pasar. Aku benar-benar harus berhemat. Selama ini, hidup kami sungguh pas-pas-an.

Sebenarnya, Pakde Joko hanya meminta lima puluh ribu saja untuk menjahitkan kain-kain itu. Tapi lima puluh ribu bagiku sangat berarti. Lima puluh ribu, cukup untuk makan aku dan istriku selama tiga hari. Wajar kan jika aku tidak pernah terpikir mengalokasikannya untuk menjahit baju.

Kadang aku merasa, bukankah kado seharusnya memberi kesenangan bagi penerimanya? Maksudku, bukannya aku tidak senang diberikan kado oleh ibu. Ya aku senanglah. Seumur hidupku, hanya ibu yang memberi kado ulang tahun.

Bude yang merawatku sejak kecil, tak pernah menganggap istimewa hari lahirku. Tidak ada ucapan selamat. Tidak ada doa bahagia. Apalagi kado. Setelah menikah, baru istriku yang mulai memberikan selamat dan doa bahagia. Tanpa kado, tentu saja.

”Halah. Eman-eman.” Demikian jawabnya sambil tertawa setiap kali kugoda meminta kado. Aku rasa, itu hanya alasannya saja. Aku yakin, ia sebenarnya tak tahu mau memberiku kado apa. Memberi kado tidak pernah menjadi budaya di keluarga kami.

Jadi jujur saja, aku pun tak pernah tahu bagaimana kado ulang tahun itu seharusnya. Tapi kupikir, bukankah kado ulang tahun itu seharusnya adalah sesuatu yang berguna bagi penerimanya? Mungkin ibu berpikir aku perlu kain untuk mengganti baju-bajuku yang sudah usang.

Tapi, membeli baju bukan prioritasku. Toh hanya warnanya saja yang pudar. Aku merasa baju-bajuku itu masih layak pakai kok. Jadi ketika aku mendapat kado kain dari ibu, sebenarnya aku sempat merasa agak kecewa.

Lalu, salahkah aku berkeluh kesah? Jika hidupku tidak sesulit ini, mungkin aku juga tidak akan merasa berat untuk menerima kado ibu; kado yang baru bisa berguna jika dijahitkan. Dan melihat kondisi ekonomiku, jelas itu memberatkanku. Bukankah kado itu tidak seharusnya membebani penerimanya?

“Sudahlah, Mas. Jahitkan saja kain-kain itu. Nggak enak juga sama ibu. Sudah dikasih, tapi nggak pernah dipakai satu pun.” Demikian anjuran istriku setelah kado ketiga kuterima. “Sayang uangnya, Dik,” jawabku.

“Ya nggak usah dijahitkan langsung semuanya kan. Satu dulu saja. Nanti kalau ada lebihan uang, bisa dijahitkan lagi yang lain,” ujarnya sambil tersenyum; merasa menemukan jalan keluar untuk kegundahan hatiku.

Aku mengangguk. Ibu sudah kami anggap orang tua kandung kami semenjak dulu. Aku sendiri tak pernah mengenal orang tuaku sejak diasuh Bude. Sementara, kedua orang tua istriku juga sudah lama meninggal.

Mungkin, Tuhan memang menunjuk ibu sebagai ladang bakti pengganti orang tua kami. Kalau aku bisa menyenangkan hati ibu dengan memakai kain batiknya, ya apa salahnya aku mengusahakan hal itu? Aku yakin Tuhan akan membantuku mewujudkan itu.

Begitulah. Akhirnya kami pun bertekad menabung untuk bisa menjahitkan kain ibu satu per satu. Aku masih ingat ketika aku memakai kemeja dari kain pemberian ibu pertama kali. Saat itu aku sedang mengeluarkan gerobak ketika ibu mendekatiku.

“Nak Farid, bagus kan kainnya. Warnanya juga cocok sekali loh dengan kulit Nak Farid.” Matanya berbinar. Senyumnya mengembang. Senyum yang memperjelas kerutan-kerutan di parasnya. Senyum khas ibu yang menenangkan.

Aku merekam senyum itu; di benakku, di hatiku. Saat ini, senyum itu hadir lagi di hadapanku. Membingkai wajahnya yang terbujur kaku. Pagi tadi, istriku hendak mengantarkan goreng pisang untuk ibu, ketika ia masuk melalui pintu belakang dan melihat ibu terbaring di lantai dapurnya. Ibu memang mempercayakan kunci pintu belakangnya pada kami.

Teriakan histeris istriku membuat aku dan warga lain tergopoh-gopoh menuju rumah ibu. Tapi semua sudah terlambat. Pagi itu, kami berduka. Entah sudah berapa lama ibu meninggal; entah mengapa ibu meninggal. Bisa jadi karena penyakit gulanya yang tak terobati.

Aku tersadar kalau sudah lama juga ibu tidak ke Puskesmas. Aku mengutuk diriku sendiri. Kalau aku memang menganggapnya sebagai ibu kandung, mengapa aku tidak peduli dengan kesehatannya? Mengapa aku tidak berpikir untuk membujuknya supaya mau kembali berobat ke Puskesmas?

Tapi yang kupikirkan hanyalah bagaimana membuat baju dari kain batik pemberiannya; baju untukku! Ah, mengapa aku bisa begitu abai, begitu egois? Tiba-tiba aku teringat tumpukan kain batik yang menyesaki lemariku. Baru tiga potong saja yang sudah dijahit. Masih perlukah aku selesaikan semua?

Bagikan
Exit mobile version