Site icon Inspirasi Muslimah

Ibu Karlina dan Masyarakat Akal Sehat

Oleh: A.S. Rosyid*

Rahmania, kemarin saya menulis di Rahma.ID sekilas tentang ‘sikap semaunya’ teori konspirasi, kemudian mengaitkannya dengan hasil dari proses pendidikan kita yang tidak membangun nalar ilmiah. Saya juga mengaitkannya dengan perempuan, di ujung tulisan.

Sebetulnya, bagian perempuan itu banyak yang protes. Ada yang bilang sub-topik itu dimasukkan dengan terlalu memaksa (terasa tidak nyambung). Ada yang bilang bias gender, karena sebetulnya banyak perempuan yang galak dalam hal membela teori konspirasi.

Padahal, saya menggunakan perempuan sebagai perlambang saja. Perlambang bagi sikap bijak untuk tidak menghabiskan energi meladeni bualan teori konspirasi, sampai-sampai turut berpusar di arus rusuh media sosial (yang akhirnya viral kemudian adalah orang lain).

Tulisan saya kali ini akan melengkapi tulisan pertama. Lewat tulisan ini, saya ingin mengurai lebih jauh tentang apa itu tradisi ilmiah, yang sesungguhnya bukan melulu tentang membaca buku atau melakukan riset. Tapi, saya ingin mengulasnya dengan memperkenalkan salah satu perempuan hebat yang saya kagumi, yakni Prof. Karlina Supelli.

Perempuan yang Ilmuan, Ilmuan yang Filsuf

Namanya Karlina Leksono Supelli, atau sering disingkat Karlina Supelli saja, atau dalam artikel ini saya ingin menyebut beliau Ibu Karlina saja. Lahir tahun 1958, Ibu Karlina adalah anak ke-11 dari pasangan Sunda-Belanda. Masa kecil Ibu Karlina banyak dihabiskan dengan membaca buku di rumah bersama ibunya. Minatnya pada sains muncul situ.

Setelah SMA, Ibu Karlina menekuni studi astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Selama menjadi mahasiswa, Ibu Karlina aktif berorganisasi. Ia pernah memimpin sebuah himpunan mahasiswa astronomi. Di kemudian hari ia kuliah di University College of London, Inggris. Gelar magister dan doktoralnya diperolehnya di sana.

Namun, Ibu Karlina masih belum puas. Ia pulang ke Indonesia dengan gundah karena ada pertanyaan-pertanyaan dasar dalam sains yang belum terjawab. Sampai pernah, Ibu Karlina menggantikan suaminya yang berhalangan hadir kuliah filsafat di Filsafat UI. Saat itulah Ibu Karlina seperti menemukan jalan untuk menjawab kegundahannya. Filsafat, nama jalan itu.

Akhirnya, Ibu Karlina kembali studi magister dan doktoral di bidang filsafat. Dengan filsafat, cara berpikir Ibu Karlina terhadap sains semakin kompleks. Ia mulai melihat sains sebagai konstruksi pemikiran manusia yang selalu berubah. Dalam sains, menurutnya, tidak ada temuan final, tapi setiap temuan wajib diteroka lewat prosedur ilmiah secara ketat.

Kehati-hatian Saintifik

Dalam sebuah kuliah umum di Salihara Ibu Karlina Supeli berpendapat bahwa, sekali pun dalam sains terdapat belantara perdebatan yang membuktikan bahwa tak ada pengetahuan yang bersifat final, sains tetap menuntut kehati-hatian dalam mengambil kesimpulan. Itulah yang disebut dengan prosedur ilmiah yang ketat.

Ibu Karlina mencontohkan beberapa penelitian tentang pengaruh kuat lantunan al-Qur’an pada pertumbuhan tanaman, dibandingkan dengan musik-musik lain. “Ini data faktual. Diuji oleh banyak pihak dan positif. Tentu ini kabar gembira,” katanya. Hanya saja, penelitian itu bermasalah ketika berusaha menjawab the why question.

Setelah ditemukan fakta bahwa lantunan al-Qur’an berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, penelitian itu kemudian berusaha menjelaskan mengapa tanaman merespon al-Qur’an. Kesimpulan riset-riset itu adalah: “Tanaman memiliki kecerdasan spiritual.” Kesimpulan ini kemudian diterima sebagai data faktual-teruji. Padahal belum diuji.

Bagi Ibu Karlina, kesimpulan itu sangat buru-buru dan bias-iman. Memang banyak dalil mengenai spiritualitas alam semesta. Namun sains harus hati-hati dalam mengambil kesimpulan. “Sains harus membuktikan fenomena empiris dengan fenomena empiris pula. Penjelasan tentang alam dicari dari alam itu sendiri, bukan dari kitab suci.”

Kenapa harus begitu?

Sebab, bagi Ibu Karlina, sains tidak menyamai agama. Sains digarap oleh manusia yang rentan salah, sehingga prosedur ketat penelitian dibutuhkan. Saya bisa bayangkan bila etos itu tak ada. Suatu pengetahuan diproduksi dan dipakai untuk menjustifikasi iman; di hari lain, pengetahuan itu dibantah data-data baru. Mau ditaruh di mana wajah iman?

Cukup Membangun Masyarakat Masuk-Akal

Ibu Karlina berwejang bahwa upaya mengembangkan tradisi riset dan prosedur ilmiah serba ketat seperti di atas memang bukan tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia. Itu adalah tanggungjawab ilmuan. Tapi masyarakat Indonesia, menurutnya, tetap penting membiasakan “cara berpikir masuk akal.”

Masuk akal adalah padanan kata reasonable. Sesuatu dianggap masuk akal ketika ia benar secara faktual atau sekurang-kurangnya benar secara nalar, sehingga layak ditelusuri. Maka bisalah dikatakan, berpikir masuk akal artinya: (1) berpegang teguh pada data faktual yang telah teruji, dan (2) bersedia menguji dan memverifikasi suatu narasi.

Rahmania, berpikir masuk akal itu harus, karena bila diingat-ingat lagi, beberapa tahun terakhir, kita menemukan betapa mudahnya masyarakat kita digebah narasi-narasi yang menimbulkan curiga dan bahkan rasa tega. Masyarakat kita mudah diadu-domba dan dibakar amarah karena tidak disiplin melakukan verifikasi dan membaca kepentingan narasi. Seruan “berpikir masuk akal” sudah sejak lama didominasi oleh laki-laki. Di tengah dominannya perempuan dianggap sebagai “makhluk yang dipengaruhi oleh emosi, bukan nalar” (saya heran sebab banyak pula perempuan yang mengamini itu), seruan Ibu Karlina menjadi koreksi segar. Bahkan figur Ibu Karlina itu sendiri merupakan koreksi segar. [M]

*) AS. Rosyid, penulis dan pustakawan

Bagikan
Exit mobile version