Site icon Inspirasi Muslimah

Hak-Hak Anak dan Bentuk Kekerasan terhadap Mereka

hak-hak anak

Salah satu bentuk eksploitasi seksual yang masih terjadi di dalam masyarakat adalah menikahkan anak di bawah umur.

(Prof. Dr. Ali Jum’ah, Mufti Republik Arab Mesir 2003-2013)

Pernikahan anak di usia dini masih marak terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Beberapa di antaranya tidak terjadi berdasarkan kehendak murni dari kedua anak, melainkan dijodohkan oleh orangtua mereka. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perjodohan adalah ekonomi. Pernikahan dianggap sebagai salah satu solusi efektif untuk menyelesaikan masalah ekonomi keluarga.

Menurut Syekh Ali Jum’ah, pernikahan anak di bawah usia minimal (pernikahan dini) merupakan salah satu bentuk eksploitasi seksual terhadap anak. Menurut beliau, orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik pelaku, orangtua, pengacara atau pun perantara, harus diberikan sanksi hukum untuk menimbulkan efek jera.

Alasan Syekh Ali Jum’ah untuk memberikan sanksi terkait pernikahan dini berkaitan dengan posisi anak-anak sebagai aset masyarakat masyarakat. Anak-anak, atau fase kanak-kanak, dipandang sebagai fondasi bagi pembentukan kehidupan manusia. Sehingga, fase ini harus dimaksimalkan untuk membentuk mereka seutuhnya.

Definisi dan Batasan Usia Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “anak” dimaknai secara beragam. Di antara maknanya adalah ‘yang lebih kecil daripada yang lain’. Sedangkan secara istilah, menurut Syekh Ali Jum’ah, makna kata “anak” adalah ‘unit terkecil dari masyarakat manusia’. Definisi ini beliau ambil dari al-Qur’an surah al-Nur: 31 yang artinya, “… atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.

Sedangkan fase kanak-kanak dimulai sejak janin terbentuk di dalam rahim hingga ia lahir dan mencapai usia akil balig dan mendapatkan pembebanan syariat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah ‘seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan’.

Kepedulian Islam terhadap Anak dan Hak-haknya

 Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar agar anak-anak mendapatkan hak mereka untuk dapat tumbuh-kembang secara maksimal. Menurut Syekh Ali Jum’ah, legislasi hukum Islam terkait hak-hak anak meliputi empat aspek, yaitu fisik, psikis, finansial, dan pendidikan.

Contoh dari hak anak terkait fisik adalah hak untuk disusui. Beberapa kali al-Qur’an menyinggung masa menyusui yang ideal. Salah satunya dijelaskan dalam surah al-Baqarah: 233 yang artinya, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…

Terkait mental atau psikis anak, Islam juga telah memberikan banyak contoh agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan mental yang baik. Rasulullah sebagai suri tauladan bagi umat seringkali mencium cucunya, yaitu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang dikisahkan oleh al-Aqra bin Habis al-Tamimi.

Ketika bercengkrama dengan Rasulullah saw, al-Aqra pernah berkomentar, “Aku sudah memiliki sepuluh anak, tapi tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Rasulullah pun bersabda, “Barang siapa yang tidak menjadi penyayang, niscaya dia tidak akan mendapatkan kasih sayang”.

Kebiasan mencium anak adalah salah satu bentuk tindakan yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa dan mental seorang anak. Menurut salah seorang psikolog, Ketty Murtini, kebiasan memeluk dan mencium anak akan berdampak bagi psikologi anak. Anak akan memiliki hati yang lembut serta menjadi pribadi penyayang. 

Aspek finansial sebagai hak anak-anak juga diperhatikan oleh Islam, seperti yang terlihat dengan adanya hukum waris. Bahkan, Islam telah memberikan rincian bagian yang akan didapatkan oleh anak-anak dari warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya, seperti yang terlihat dalam surah al-Nisa: 11.

Karena itu pula, maka Islam memberikan batas maksimal bagi seseorang yang ingin memberikan hartanya sebagai wasiat, yaitu tidak melebihi sepertiga harta yang dimilikinya. Ini bertujuan agar anak atau keluarga inti dapat melanjutkan hidup dengan lebih baik.

Hak anak-anak lainnya adalah pendidikan. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, baik dari orangtua atau pun orang lain yang bertanggung jawab dalam hal ini, sesuai dengan minat, urgensi, dan kemampuan mereka.

Syekh Ali Jum’ah mengingatkan bahwa Islam adalah agama pengetahuan sejak pertama kali ia hadir. Hal ini tercermin dari perintah pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad saw, yaitu perintah untuk membaca.    

Kekerasan terhadap Anak

Syekh Ali Jum’ah, dengan berpatokan pada Konvensi tentang Hak-Hak Anak menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran.

Masyarakat sudah maklum dengan bentuk kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Tapi, hanya sedikit yang mengerti atau memiliki pemahaman bahwa penelantaran merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. Contoh dari penelantaran sebagai kekerasan terhadap anak adalah kelalailan dalam memberikan perawatan kesehatan, makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya.

Bagi Syekh Ali Jum’ah, bentuk kekerasan terburuk terhadap anak adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya berdampak pada fisik anak, yang secara biologis belum tumbuh secara matang, tetapi juga akan sangat berdampak pada kondisi mentalnya.

Peran Syariat dalam Mencegah Kekerasan terhadap Anak

Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bagaimana sebenarnya agama Islam telah memberikan sebuah mekanisme pencegahan kekerasan terhadap anak. Menurutnya, agama Islam adalah agama yang mengajarkan sikap lemah lembut. Sikap ini menjadi ciri hukum Ilahi sehingga berinteraksi dengan semua makhluk Tuhan harus dengan sikap lemah lembut.

Cara pencegahan lainnya adalah bahwa dalam Islam terdapat mekanisme hukum ta’dzir, penetapan sanksi yang di dalam al-Qur’an dan hadis tidak dirinci dengan jelas sehingga hakim atau orang/lembaga yang berwenang dapat menentukan sendiri sanksi yang akan dilaksanakan. Terkait dengan masalah perlindungan anak, maka hukum ta’dzir dapat diatur sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang ingin dicapai.

Sumber bacaan:
Jum’ah, Ali. 2022. “Fenomena Kekerasan Terhadap Anak: Perlindungan Serta Hak-hak Anak dalam Islam.” Dalam Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam, 38–56. Jakarta: UNICEF Indonesia.

Bagikan
Exit mobile version