Site icon Inspirasi Muslimah

Faqihuddin Abdul Kodir dan Teori Qira’ah Mubaadalah untuk Relasi Kesalingan

faqihuddin

Wacana keadilan gender dalam agama pada era post-modern ini semakin menunjukkan kekuatannya. Bagaimana tidak, pada era ini banyak cendekiawan muslim yang mencoba merumuskan metodologi untuk membaca teks sumber Islalm yang masih sering diinterpretasi secara kurang tepat, atau bahkan mendiskriminasikan perempuan. Faqihudin Abdul Kodir, merupakan salah satu nama cendekiawan muslim Indonesia yang turut memberikan andil dalam hal ini

Faqihuddin Berasal dari Cirebon, Jawa Barat.  Mengawali rihlah menjadi  santri di Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon (1983-1989).  Pendidikan Sarjananya ia tempuh di Damaskus-Syiria dengan mengambil double degree Fakultas Dakwah Abu Nur (1989-1995) dan Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus (1990-1996). Jenjang Master secara resmi ia tempuh di International Islamic University Malaysia pada bidang pengembangan fiqih zakat (1996-1999). Sepuluh tahun kemudian, ia melanjutkan studi doktor di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), UGM Yogyakarta (2009-2015).

Semasa menjadi pelajar, ia aktif dalam berbagai organisasi  seperti perhimpunan pelajar Indonesia (PPI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) orsat Damaskus, sekertaris PCI-NU Malaysia dan lain sebagainya. Untuk saat ini, beliau aktif mengajar di IAIN Syekh Nurjati Cirebon untuk jenjang Sarjana; magister di ISIF Cirebon dan mengajar di Ponpes Kebon Jambu al-Islam Babakan Ciwaringin Cirebon. Ia juga ditunjuk sebagai Wakil Direktur Ma’had Aly Kebon Jambu, takhashshush fiqh ushul fiqh, konsentrasi perspektif keadilan relasi laki-laki dan perempuan.  

Sejak tahun 2000, Faqihuddin aktif menulis tentang isu pendidikan dan perempuan di rubrik Swara Rahima, yang menjadi cikal bakal ditulisnya buku Qira’ah Mubaadalah. Beberapa karya yang telah dibukukan di antaranya: Shalawat Keadilan: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Teladan Nabi (2003), Memilih Monogami, Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadis (2005), 60 Hadis tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam (2017), Hadith and Gender Justice: Understanding the Prophetic Traditions (2007), Qira’ah Mubaadalah (2020) serta masih banyak lagi karyanya, baik yang ia tulis sendiri maupun bersama.

***

Salah satu masterpiece dari Faqihuddin adalah Qira’ah Mubaadalah. Menurutnya, Islam telah sempurna dengan Al-Qur’an dan hadis, akan tetapi pembacaannya lebih sering mengakomodasi kepentingan laki-laki. Padahal, tujuan diturunkannya Al-Qur’an sebagai rahmat seluruh manusia tanpa melihat jenis kelamin, namun kenapa kemudian terkesan hanya untuk laki-laki saja.

Realitas ini  kita temui misal dalam isu bidadari, fitnah perempuan, nusyuz dan masih banyak aktualisasi tafsir keagamaan lain yang timpang. Hal demikian yang membuatnya gelisah untuk menghadirkan landasan teologis dan sosial untuk pembacaan teks-teks agama, yakni Qira’ah mubaadalah.

Qira’ah mubaadalah dapat didefinisikan sebagai sebuah pembacaan terhadap teks-teks sumber yang berlandaskan pada perspektif resiprokal yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek manusia yang utuh dan setara. Tujuannya untuk mewujudkan relasi dari yang hirearkis menuju egaliter, kerja sama dan kesalingan. Implementasi konkret dari gagasan ini dalam tafsir keagamaan adalah cara pandang yang memanusiakan perempuan, cara membaca teks sumber dengan menempatkan keduanya sebagai subjek dan pengelompokan simpul-simpul keagamaan dan hukum kesalingan sama antara laki-laki dan perempuan.

Landasan dasar mubaadalah diambil dari ayat Al-Qur’an, seperti redaksi umum ta’arafu (saling mengenal) dalam Qs. al-Hujurat [49): 13, ta’awanu (saling tolong menolong) Qs. al-Maidah [5]: 2, tasa’alun (kerja sama antar dua pihak) Qs. al-Nisa’ [4]: 1; ba’dhuhum awliya’ ba’dh (satu sama lain adalah penolong) Qs. al-Anfal [8]:72. Tidak hanya secara umum, secara eksplisit perspektif mubaadalah tertera dalam Qs. al-Taubah [9]: 71 tentang kesalingan antara laki-laki dan perempuan; Qs. Ali Imron [3]: 195 tentang tidak dibedakannya amal antara laki-laki dan perempuan serta kesederajatan di antara keduanya. Adapun ayat lain seperti Qs. al-Nisa’ [4]: 19 tentang timba balik prilaku baik dalam rumah tangga, juga sebagaimana Qs. al-Rum [30]: 21, Qs. al-Baqarah [2]: 187 dan masih banyak lagi.

*

Dalam hadis pun menurut Faqihudin dijelaskan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Seperti hadis nabi yang berbunyi; “ tidaklah sempurna iman seorang di antara kamu sehingga mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari no. 13).  Selain teks al-Qur’an dan hadis, landasan mubaadalah adalah tauhid, artinya Tuhan lah sebagai tempat tertinggi, sementara laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang sama.

Baginya, setidaknya terdapat tiga premis dasar yang menjadi landasan Qira’ah Mubaadalah yakni pertama, bahwa Islam hadir untuk laki-laki maupun perempuan sehingga teks keagamaan turun untuk memberi rahmat bagi keduanya. Kedua, prinsip kesalingan, kerja sama bukan hegemoni. Ketiga, teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang.

Cara kerja dari Qira’ah Mubaadalah terhadap teks agama Islam dirumuskan menjadi tiga langkah yang bersifat kronologis. Pertama, menemukan dan menegaskan prinsip-prinsip ajaran islam dari teks-teks yang bersifat universal sebagai pondasi pemaknaan suatu teks. Prinsip ini baik yang bersifat umum maupun khusus. misalnya prinsip keimanan sebagai pondasi mengerjakan kebaikan tanpa melihat jenis kelamin.

Langkah kedua, yakni menemukan gagasan utama yang terekam dalam teks yang akan diinterpretasikan, khususnya teks relasional. Dalam hal ini biasanya teks yang bersifat implementatif, parsial dan sebagai gambaran ruang dan waktu tertentu bagi prinsip Islam. Langkah ini dapat dilakukan dengan menghilangkan subjek dan objek pada teks.

Selanjutnya predikat dalam teks tersebut akan menjadi gagasan yang akan di mubaadalah-kan untuk dua jenis kelamin. Langkah ketiga, menurunkan gagasan yang telah ditemukan dalam langkah sebelumnya kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dalam teks. Dengan pembacaan yang demikian, makna dari sebuah teks tidak berhenti pada satu jenis kelamin saja akan tetapi mencakup jenis kelamin yang lain.

*

Sebagai contoh tentang nusyuz, nusyuz suami ke istri  Qs. an-Nisa’ [4]: 128 dan istri ke suami Qs. al-Nisa’ [4]: 34. Menurut Faqihuddin, selama ini nusyuz lebih populer dengan pembangkangan istri terhadap suami. Implikasi dari hal tersebut adalah kesan satu arah bahwa istri yang membangkang pada komitmen dalam berumah tangga. Padahal prinsip utama ajaran Islam, khusunya dalam relasi pasutri adalah tentang kesalingan, kerja sama menghadirkan kebaikan dan menghidarkan keburukan menuju keluarga sakinah, mawadah wa rahmah. Nusyuz sendiri berarti berpaling, enggan dan tidak perhatian.

Substansinya adalah mengenai kekhawatiran sebuah relasi pasutri di mana ada pihak yang mulai tidak nyaman. Maka menurut mubaadalah, nusyuz dapat terjadi pada suami atau istri, dan Qs. al-Nisa [4]: 128 ini menganjurkan untuk berdamai, agar kembali pada komitmen awal sebagai pasangan yang saling mencintai. Sedangkan nusyuz pada Qs. al-Nisa’ [4]: 34, suami tidak boleh serta merta memukul istri ketika nusyuz, akan tetapi mengembalikan inti pengelolaan nusyuz yakni mengembalikan relasi semula seperti berkomunikasi yang baik. Adapun Memukul justru jauh dari inti substansi relasi yang dianjurkan.

Sumber:

Kodir, Faqihuddin Abdul. 2019. Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta: IRCiSoD

Bagikan
Exit mobile version