Site icon Inspirasi Muslimah

Falsafah Ibadah Kurban

ibadah kurban

Ahmad Affan Haris

Hari Raya Iduladha merupakan salah satu momen berharga yang dimiliki umat muslim di seluruh penjuru dunia. Di mana pada momen tersebut seluruh umat muslim diharapkan merasakan suka cita yang sama; sebab pada hari itu Allah mensyariatkan untuk melaksanakan salah satu ibadah mulia, yaitu udhiyah atau penyembelihan hewan kurban bagi yang mampu; untuk kemudian seluruh hasil penyembelihannya dibagikan rata kepada seluruh masyarakat muslim.

Tidak hanya itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Dawud bahwa sahabat Anas berkata, pada suatu waktu Nabi datang ke Madinah; di sana para penduduk sedang bersuka cita selama dua hari. Rasulullah menjelaskan bahwasannya suka cita yang terjadi di jaman jahiliyah tersebut telah diganti oleh Allah dengan dua hari yang lebih mulia, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Oleh karenanya, merayakan hari raya dengan rasa suka cita bukanlah sebuah kesalahan.

Akan tetapi, momen bahagia ini jangan sampai menggeser esensi sebenarnya dari ibadah kurban. Jangan sampai momen suci ini ternodai dengan sifat ‘bangga’ kita dalam memamerkan besarnya hewan yang kita kurbankan atau memamerkan berbagai olahan daging kurban yang kita hidangkan secara virtual.

Sebab, esensi dari Iduladha itu bukan untuk dirayakan secara seremonial dengan menyembelih hewan kurban saja, ataupun ajang untuk pamer tusuk sate di lini masa sosial media. Tapi ada esensi spiritual mendalam yang patut kita renungkan bersama.

Sebelum menggali esensi spiritual dari ibadah kurban, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu sejarahnya.

Sejarah Ibadah Kurban

Sejarah ibadah kurban memang tidak pernah lepas dari kisah Nabi Ibrahim As. dan anaknya, Ismail As. Sebab, kisah merekalah yang menjadi salah satu landasan utamanya. Sebagaimana yang termaktub dalam surat Ash-Shaffat 101-110.

Di mana pada saat itu Nabi Ibrahim yang sangat mengharapkan karunia Allah berupa keturunan; siang dan malam bermunajat kepada Allah agar diberi keturunan yang shaleh. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya Allah memberikan keturunan yang diberi nama Ismail.

Lalu, ketika Nabi Ibrahim lagi sayang-sayangnya kepada buah hatinya, Ismail; tiba-tiba Allah mengisyaratkan beliau untuk menyembelih putra kesayangannya tersebut. Nabi Ibrahim bermimpi diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih Nabi Ismail. Kemudian, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpi tersebut dan dijawab dengan gagah berani oleh anaknya, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. Lalu, dengan penuh keyakinan Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah tersebut.

Sebelum penyembelihan dilaksanakan, Nabi Ismail meminta ayahnya untuk mengikatnya dengan tali dan menajamkan pisau yang digunakan. Namun, sesaat sebelum penyembelihan, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Pada akhirnya, selamatlah Nabi Ismail dari peristiwa penyembelihan tersebut.

Penyembelihan tersebut memang tidak terjadi, tapi ada pelajaran spiritual besar yang perlu kita pelajari, yaitu rasa cinta Nabi Ibrahim kepada Allah Swt. yang begitu besar; sehingga mampu mengalahkan cintanya terhadap putra kesayangannya.

Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini juga merupakan salah satu bentuk pelepasan ‘rasa kepemilikan’ terhadap sesuatu yang memang bukan haknya, yang dalam hal ini adalah putra kesayangannya.

Berkurban untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

Pelajaran melepaskan ini erat kaitannya dengan ketulusan dan ketidaktulusan. Seperti halnya Nabi Ibrahim, kita semua mempunyai ‘Ismail’ kita masing-masing, baik itu berupa harta kekayaan, maupun jabatan. Tetapi apakah kita mampu melepaskan rasa kepemilikan dengan tulus seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim?

Sebab, seperti yang kita ketahui bersama bahwa Allah tidak pernah menilai hamba-Nya secara materiil. Jadi dalam hal berkurban pun, Allah tidak akan memandang hewan apa yang kita kurbankan atau seberapa berat bobot hewannya. Tapi seberapa tulus kita dalam mengorbankan harta yang kita miliki. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hajj : 37, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”

Dalam hal ini, kemurnian iman dan ketakwaan merupakan kunci agar kita bisa mendatangkan keikhlasan dalam melepaskan. Dan keikhlasan dalam berkurban yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim dan Ismail As. merupakan gambaran bagi kita semua bahwa ketulusan dalam berkurban-lah yang akan mengantarkan kita ke jalan yang tepat untuk bertaqarrub kepada Allah.

Maka, yang dimaksud falsafah kurban itu esensinya adalah ‘mendekatkan diri kepada Allah Swt.’,sesuai dengan asal katanya yaitu taqarraba-yataqarrabu-taqarruban yang mempunyai arti mendekatkan. Sedangkan yang menjadi pembangkit niatnya adalah keimanan dan ketakwaan.

Dalam momen Hari Raya Iduladha ini, sah-sah saja kita menyambutnya dengan suka cinta dan hati yang riang gembira. Bahkan menyambut hari raya dengan sukacita itu ada anjurannya. Akan tetapi, jangan sampai sukacita ini hanya melahirkan euforia dalam beragama saja, tetapi lupa falsafah utamanya, yaitu untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Sang Pemilik semesta dan segala isinya.

Bagikan
Exit mobile version