Kusampaikan dukaku
Duka pada perempuan tanah air
Makin hari makin menyayat hati
Keadilan tak mampu diraih
Kebebasan hanyalah mimpi-mimpi
Di manapun kaki berdiri
Harga diri seakan tertembak mati
Kusampaikan dukaku
Pada perempuan yang berjuang demi nama keluarga
Keluarga katamu?
Bagaimana bisa mereka disebut keluarga
Lantas mereka pun menjadi pelaku
Beramai-ramai menghabisi dirimu
Habis harga dirimu
Habis pula ragamu
“harta yang paling berharga adalah keluarga”
Sumpah serapah!
Malangnya kalimat itu dalam kamus hidupmu
Bahkan mereka tidak ada di akhir sisa nafasmu
Kusampaikan dukaku,
Duka perempuan yang sedang belajar menjadi Shalehah di masa depan
Kau jalankan salah satu syariat
Menutup lekuk badanmu demi membungkam syahwat
Kau amat percaya dengan itu harga dirimu akan selamat
Sayangnya, serapat apa kau menjaga
Ada sekelompok hewan berakal yang bertindak bejat
Hewan berakal? Sepertinya masih halus untuk diucap
Akal tidak terisi, hati nurani pun mati
Kusampaikan dukaku,
Duka perempuan yang sedang bahagia merawat darah daging kesayangan
Perih, menjadi ibu yang harus melawan kerabat sendiri
Untuk melindungi anak terkasih
Sakit sekali, menjadi ibu yang melihat anak kesayangannya tumbuh dengan trauma
Harus merawat luka yang entah kapan sembuhnya
Hampa, menjadi ibu yang harus merelakan anaknya bersama Sang Pencipta kembali
Tabahlah bu, barangkali ini cara Tuhan selamatkan dari pahitnya dunia
Kusampaikan dukaku,
Duka perempuan yang sedang berjuang atas nama KEADILAN
Mencari tempat teraman, keluarga
Nyata tidak lagi aman, yang ada “Rumahku adalah Neraka-ku”
Mencari tempat belajar, mencari makna damai dan tentram
Nyata tidak lagi tentram, berkali-kali dipaksa dengan janji manis
Akhirnya, damai dalam diri tidak lagi ada
Mencari tempat teradil di negri ini,
Hasilnya? We never know
“Viral dulu, diusut kemudian”
Adalah kalimat paling pantas diucap
Ketika hendak mencari keadilan di pengadilan