Site icon Inspirasi Muslimah

Demonstrasi Mahasiswa dan Fenomena Poster Seksis

mahasiswa

Mahdiya-Az-Zahra

Demo mahasiswa tanggal 11 April 2022 kemarin diwarnai dengan poster bernarasi seksual (seksis). Contohnya lebih baik bercinta 3 ronde, daripada harus 3 periode; cukup perawan aja yang langka, minyak jangan; stop peras rakyat, sesekali peras adek pak; daripada BBM naik, mending ayank yang naik.

Kemudian muncul klarifikasi dari salah satu pembuat poster. Alasannya adalah asonansi dengan menggunakan kata ronde yang berakhiran sama dengan periode. Seorang mahasiswa juga menulis pembelaan terhadap poster tersebut. Baginya segala bentuk kalimat memang menimbulkan persepsi. Namun persepi itu tergantung manusia, bisa baik bisa buruk. Sedangkan kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, sehingga kita tidak boleh menjustifikasi kalimat tersebut.

Apalagi jika kita membahas tentang kebebasan bersuara ditambah masyarakat modern yang memandang seks bukan hal tabu, maka seolah hal seperti itu sudah wajar. Masyarakat yang menentangnya sama dengan katrok, terbelakang, dan tidak mendukung kebebasan bersuara. Setidaknya saya punya 5 hal yang ingin saya paparkan terkait poster tersebut.  

1. Tujuan demo

Perlu diketahui terlebih dahulu, saya mendukung aksi demo mahasiswa. Bagi saya demo itu salah satu cara menyuarakan aspirasi rakyat. Demo kemarin memiliki 6 tuntutan yang rasional. Tapi jika ada poster seperti saya sebut di atas, hal ini menjadi bias. Yang menjadi tuntutan itu apa? Mereka ingin bercinta kah? Apa hubungannya dengan 3 periode?

Kalau mau demo terkait wacana 3 periode ya sampaikan saja ketidak setujuannya. Mau lucu dan viral? Main tiktok sudah cukup kok. Jadi tujuan demo apa? Ingin lucu atau menyampaikan aspirasi? Selain itu apakah diksi yang memiliki asonansi dengan periode hanya bercinta 3 ronde kah?

Sebagai mahasiswa sastra tidak ada kah diksi lain yang lebih menarik? Yang bisa memperkaya kosa kata masyarakat. Atau mungkin yang lucu dan menarik di kalangan mahasiswa saat ini memang seperti itu?

2. Persepsi

Sebagai orang yang suka nulis di media, sebisa mungkin saya menulis dengan diksi dan kalimat yang efektif serta mudah dipahami. Agar apa? Agar tulisan saya bisa dipahami dengan baik, agar pesan yang saya sampaikan benar-benar diterima sebagaimana yang saya harapkan, agar pemikiran saya bisa sampai pada banyak orang.

Meski sudah berjuang sekuat tenaga untuk menuliskan dengan sangat hati-hati tentang tulisan saya, tetap saja ada yang tidak paham dan memiliki persepsi yang bertolak belakang. Boleh tidak setuju, masalahnya terkadang bukan tidak setuju tapi tidak dipahami. Akibatnya pesan yang ingin saya sampaikan tidak bisa diterima.

Seringkali saya kemudian melakukan evaluasi dan bertanya pada pihak lain, apakah tulisan saya memang sulit dipahami? Persepsi memang tidak bisa kita kendalikan, setiap orang memiliki persepsinya sendiri.

Jangankan tulisan kita, tulisan ulama saja seringkali disalahpahami. Kitab tentang agama yang ditulis dengan sangat hati-hati terkadang dipahami dengan berbagai macam persepsi tergantung tingkat pemahaman pembaca.

Apalagi tulisan yang sudah jelas mengandung banyak makna? Bukankah kita juga harus berhati-hati dan menggunakan kata yang tepat agar aspirasi kita benar-benar dipahami?

3. Tempat

Lantas apakah mahasiswa tidak boleh bicara seks? Yang pertama saya sebagai seorang yang sudah menikah saja perlu menempatkan diri untuk bicara seks. Saya bicara seks ketika membahas isu perempuan dan gender.

Kemudian, saya bicara seks ketika membahas pra nikah, memelihara pernikahan, juga terkait tata cara berhubungan yang baik. Saya bicara seks untuk pembahasan edukasi; tentang spiritualitas dan kaitannya dengan penciptaan manusia di dalam rahim.

Saya bicara seks terkait kesehatan reproduksi dan pelajaran terkait proses reproduksi. Saya bicara seks ketika membahas UU TPKS, kekerasan dan pelecehan seksual. Artinya bicara seks itu boleh dan sah. Saya sendiri pernah menuliskan tentang spiritualitas seks di media. Tidak ada masalah.

Tapi membahas seks saat demo bukanlah hal yang tepat. Demo tentang situasi kesejahteraan masyarakat tidak seharusnya disampaikan dengan kalimat bernada seksual. Yang pertama gak nyambung, yang kedua gak pantas. Seks boleh dibicarakan di forum yang tepat dengan tujuan yang baik.

4. Merendahkan nilai seks

Membahas seks sebagai bahan candaan justru merendahkan nilai seks dan manusia. Seks adalah hal sakral dan suci. Ia bukan hanya tentang nafsu dan jumlah rondenya. Seks bukan tentang naik dan dinaikin. Tapi seks itu tentang relasi halal, thayyib, dan ma’ruf.

Kalau seks dituliskan dengan naik dan dinaikin, keperawanan, berapa ronde, maka seks hanya terkait nafsu belaka. Ingin melakukan berapa ronde atau menaiki untuk menghilangkan keperawanan.

Padahal seks adalah hal suci yang harus diawali dengan niat dan doa serta menautkan pikiran kita pada sang Maha Cinta. Oleh karenanya seks harus dilakukan oleh orang yang mencintai karena dari kegiatan itulah akan muncul buah cinta yang ditiupkan ruhNya.

5. Teladan

Mahasiswa adalah teladan bagi siswa SD, SMP, SMA. Bicara persepsi tadi, apa jadinya jika adik-adik ini membaca poster itu? Apakah nilai yang akan ditangkap oleh adik-adik ketika melihat mahasiswa berdemo dengan tulisan itu?

Oh jadi mahasiswa itu banyak yang gak perawan. Atau, oh jadi mahasiswa itu nanti gampang bercinta; oh jadi mahasiswa itu kegiatan naik-naikin ya.

Jadi pilihannya ada pada kita. Persepsi memang tak bisa kita kendalikan. Tapi kita bisa memilih kata yang baik agar persepsi yang muncul pun baik.  

Bagikan
Exit mobile version