Site icon Inspirasi Muslimah

‘Defisit’ Perdamaian di Tengah Pandemi Covid-19? (2)

Oleh: Nurwanto*

Indikator ketiga adalah aktivitas bisnis. Sektor bisnis merupakan sektor yang paling terpukul karena pandemi covid-19 ini. Di pusat belanja rakyat, sebut saja mal, pasar, pertokoan, kaki-lima, dan jasa katering tentu mengalami defisit pesanan dan permintaan. Bila ukurannya tatap-muka penjual dan pembeli, interaksi bisnis berkurang drastis.

Namun demikian, bisnis online mau-tidak-mau semakin menjamur. Peralihan kepada layanan bisnis online tentu semakin kuat sejak pandemi covid. Di sisi yang lain, ada proses ‘perampingan’ pengeluaran anggaran juga di sektor jasa. Misalnya, pengalihan kepada online meeting atau webinar (seminar berbasis web), tentu memangkas mata anggaran seminar yang biasanya dilaksanakan secara tatap-muka. Pendek kata, bisnis barang dan jasa, termasuk pendidikan, mengalami ketidakpastian.

Keempat, sekiranya perlu ditelaah apakah korupsi memiliki momentumnya di saat pandemi ini. Hal ini tentu jelas bahwa kasus mega-korupsi maupun korupsi lainnya telah ‘bertebaran’ sebelum pandemi, dan KPK misalnya, mengalami ‘overloaded’ pekerjaan, kasus mana yang hendak ditebang.

Dalam hal skala prioritas, hal yang penting untuk dilakukan oleh Pemerintah adalah menebang ‘korupsi mental’ (sebagai metafor) berupa pilihan politik untuk menunda proyek-proyek mercusuar seperti pemindahan ibukota dan pemangkasan anggaran sektor yang tidak efektif jika anggaran untuk penanganan dampak covid-19 terhitung sangat besar.

Kelima, kualitas sumber daya manusia. Indeks pembangunan manusia (Human Development Index) di antaranya menyertakan pencapaian taraf kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Begitu pandemi ini menerjang Indonesia, skenario Pemerintah tidak berlangsung mulus karena diawali dari ‘kegalauan sikap’ (political uncertainty). Kapasitas kita sebagai ‘manusia Indonesia’ secara nyata diuji.

Dalam konteks literasi publik (pendidikan), social distancing dan menahan diri untuk ‘tidak mudik’ tidak direspons secara positif secara merata. Namun, sebagian pihak juga mempertanyakan kapasitas Pemerintah untuk meng-cover kebutuhan ekonomi warga. Pendek kata, protokoler pencegahan penyebaran melalui stay at home tidak berbanding lurus dengan formula keamanan ekonomi rumah tangga (economic safety net).

Sebagai pembanding, kita bisa menengok Australia saat menerapkan lockdown tahap 3 (mulai awal Maret 2020). Ketika sebagian besar pekerja ‘dirumahkan’ atau working from home, warganegara dan permanent residents (PR) memperoleh tunjangan hidup melalui Centerlink mereka. Di samping itu, para pekerja dari ‘kantoran’ sampai cleaning service juga dapat mengakses superannuation (jaminan hari tua/asuransi) sekali di tahun ini hingga maksimal AUD 10,000. Dengan demikian, jaminan ekonomi dan tingkat kepatuhan publik terhadap social distancing berjalan dengan baik.

Keenam, arus informasi. Sejak penyebaran covid-19 ini terjadi di berbagai negara, pemerintah Indonesia dinilai cukup ‘tertutup’ dan ‘agak mengabaikan’ hak publik atas kebenaran informasi mengenai sebaran virus ini. Sejumlah peneliti/pengamat asing memperkirakan virus ini ‘sudah menjangkau’ Indonesia, tetapi pemerintah menyanggahnya.

Untungnya, saat ini, telah dibentuk Gugus Penanganan Covid-19 yang selalu memberi informasi luas tentang peta sebaran dan meng-update jumlah orang yang terpapar dan yang sembuh. Berbagai sinergi penanganan Covid-19 antara Pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan, tampaknya menunjukkan perkembangan yang semakin positif.

Indikator yang terakhir adalah pemenuhan hak-hak orang lain dan hubungan bertetangga. Kebutuhan yang paling nyata di saat stay at home adalah terpenuhinya kebutuhan makan, kesehatan, dan pendidikan (anak). Jaring pengaman ekonomi dari Negara agaknya tidak menjanjikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, terutama bagi kelompok miskin dan rentan.

Untungnya, saat ini, telah dibentuk Gugus Penanganan Covid-19 yang selalu memberi informasi luas tentang peta sebaran dan meng-update jumlah orang yang terpapar dan yang sembuh. Berbagai sinergi penanganan Covid-19 antara Pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan, tampaknya menunjukkan perkembangan yang semakin positif.

Indikator yang terakhir adalah pemenuhan hak-hak orang lain dan hubungan bertetangga. Kebutuhan yang paling nyata di saat stay at home adalah terpenuhinya kebutuhan makan, kesehatan, dan pendidikan (anak). Jaring pengaman ekonomi dari Negara agaknya tidak menjanjikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, terutama bagi kelompok miskin dan rentan.

Namun demikian, sekali lagi, Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, harus fokus pada hal satu ini: jaminan ekonomi dan kesehatan. Pada saat yang sama, sebagaimana disinyalir Profesor Hilman Latief (Ketua LazisMU Pusat), Indonesia cukup memiliki modal kepedulian antara satu dengan yang lain untuk saling membantu di tengah kesulitan pangan. Lebih dari itu, menurut saya, keberadaan lembaga-lembaga zakat, infaq dan sodaqah akan terus menjadi ‘harapan alternatif’ bagi publik untuk dapat mengakses bantuan sosial di tengah pandemi ini.

Sebagai pamungkas, Indonesia tampaknya sedang mengalami ‘defisit’ hidup damai di tengah pandemi covid-19 apabila tujuh atau delapan indikator positive peace di atas digunakan. Tentu saja, dalam sejumlah kasus, dijumpai pencapaian yang positif. Ke depan, pandemi covid-19 ini akan menjadi ujian nyata baik bagi pemerintah maupun elemen masyarakat lainnya, tentang upaya pencapaian taraf hidup bersama yang lebih terurus dan berkeadilan.

*staff pengajar di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan mahasiswa Doktoral di Western Sydney University, Australia.

Bagikan
Exit mobile version