Site icon Inspirasi Muslimah

Cilaka Mama Papa yang Abai Bahasa Anak

tega

Meminjam istilah Mohamad Sobary, sesunguhnya problematikan pokok dunia pendidikan kita, sejak di rumah hingga pendidikan formal terletak pada Bahasa. Anak-anak selalu dididik dalam bahasa orang tua. Ungkapan anak sehari-hari adalah cerminan ungkapan orang tua. Orang tua menggunakan Bahasa orang tua kepada anak.

Ada kesalahan praktik yang dilumrahkan di sini. Bahwa anak adalah orang tua mini atau orang dewasa bertubuh kecil. Padahal anak ya anak, dia memilki Bahasa sendiri. Bahasa anak yang harus kita maklumi, pahami, dan selami. Anak memiliki dunianya sendiri. Dunia gaib yang selalu mengasyikkan bagi mereka.

Orang tua kadung enak berbahasa dengan anak pakai Bahasa orang tua. Padahal itu tak diharapakan anak-anak. Di rumah anak-anak dibentak habis-habisan karena sedikit abai atau tak nurut instruksi orang tua. Responsnya, anak akan menangis atau cuek. Lalu menyimpulkan orang tuanya tak sayang. Di sekolah kepala sekolah dan guru berpidato saat upacara sangat lama. Mereka pikir anak memperhatikannya.

Memang orang tua perlu menyadari problematika ini dengan hati jernih. Bahwa anak-anak bukan orang tua bertubuh mini. Mereka ingin menikmati dunia dengan caranya, melihat dunia yang penuh warna, imajinatif, alamiah, dan cerah.

Menjadi Rumah yang Menyenangkan Bagi Anak

Persoalan lain adalah jika anak tak memahami orang tua, itu jadi kegagalan anak. Bukan kegagalan orang tua. Di sekolah anak yang demikian itu disebut anak bermasalah. Guru memanggil orang tuanya lalu menyampaikan kabar buruk: anak Anda gaduh. Di rumah anak dimarahi habis-habisan. Mestinya rumah dibuat untuk anak, bukan anak dibuat untuk menyesuaikan rumah.

Pun dengan sekolahan. Mestinya rumah dan sekolah didesain untuk anak. Yaitu tempat mentransfer ilmu dan kegembiraan untuk mewaraskan otak, badan, dan hati anak. Rumah dan sekolah ramah menyenangkan, pembelajaran ramah dan asyik, semua tidak menakutkan sehingga membunuh triliunan potensi anak.

Jika rumah dan sekolah sudah ramah menyenangkan bagi anak, maka apa yang disebut Saratri Wilonoyudho sebagai pendidikan tuntas akan terealisasi.

 Yaitu 1) mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; 2) mendukung diseminasi nilai keunggulan; 3) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan keagamaan; dan 4) menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Semoga bermanfaat.

Bagikan
Exit mobile version